Kami memiliki dua blog khusus untuk buku sastra, terutama buku-buku sastra yang tak ada di toko buku:

1. http://pustakapelabuhan.blogspot.com/ -berisi info2 buku sastra yang bisa dipesan langsung ke penulisnya. Anda bisa memberikan info buku2 sastra yang sedang terbit lewat dinding Indrian Koto atau Jualan Buku Sastra.

2. http://jualbukusastra.blogspot.com/. Berisi daftar buku yang bisa dipesan kepada kami secara langsung. Anda bisa bekerjasama dengan kami dalam distribusi kecil-kecilan.

Saturday, May 14, 2011

Dongeng-dongeng Tua Kumpulan sajak Iyut Fitra

Judul Buku : Dongeng-dongeng Tua
Pengarang : Iyut Fitra
Penerbit : AKAR Indonesia
Cetakan : Pertama, Januari 2009
Tebal : 138 hal, 14 x 21




Dongeng-dongeng Tua, yang diambil dari satu judul puisi dalam kumpulan tersebut mengembalikan ingatan saya kepada Musim Retak, sehingga saya berusaha memaknai kembali kumpulan puisi pertamanya sebelum membaca kumpulan puisi terbarunya. Ternyata memang benar, beberapa pecahan ‘catatan’ yang sebelumnya diserakkan dalam kumpulan puisi pertamanya saya temukan dalam puisi terbarunya. Puisi dengan judul Lagu Pagi yang Aneh 4 dan 6, dalam Dongeng-dongeng Tua pastinya bagian dari Lagu Pagi yang Aneh 8 yang dimuat sebelumnya dalam Musim Retak, begitu juga dengan Wajah 4 yang di buku pertamanya dimuat Wajah 6 dan 8, juga Bunga Putri Lembayung. Tentang struktur bahasa, suasana, dan metafor yang membagun puisi-puisi dalam kumpulan tersebut tetap memerlihatkan style kepenulisannya.

“Sebagaimana proses kreatif saya, biarlah puisi-puisi ini sekarang yang mengembara. Apakah ia akan mengungjungi pembaca atau hanya menjadi bagian yang akan tersimpan di rak buku, tentu ia punya retak nasib sendiri. Ia telah lahir. Dan ia akan melayari kehidupan. Saya tak berhak lagi untk menentukan jalannya”, ungkap Iyut tentang buku yang berisikan 70 judul puisi di catatan pembuka (salam penyair) buku tersebut. Beberapa puisi di dalam buku tersebut saya temukan diksi-diksi (pilihan kata) yang menandakan ciri khas puisinya, seperti ungkapan Afrizal Malna di catatan Musim Retak. Terlihat dari kegemaran Iyut memakai kata, cermin, kota, negri, perempuan, ibu, perang, yang dituliskan dalam sublimitas yang berbeda dengan penyair-penyair lain. Segalanya menguap dan mengembun di kepala pembaca, ‘catatan’ yang menjadi milik (kisah) pembaca seketika dibaca. Kadangkala susunan kata dalam puisinya terkesan seperti lantunan, alunan, atau susunan lirik bernada; bergaung dan berdengung; ini tentulah hasil dari letupan kalimat padu yang ditulisnya. Jadilah semacam ruang usaha, dari penyairnya, untuk membuka puisi menjadi ruang dialogis dan mendekatkan puisi pada pengalaman puitik pembacanya.

http://kandangpadati.wordpress.com/2009/02/28/jamila-di-akhir-dongeng/

No comments: