Kami memiliki dua blog khusus untuk buku sastra, terutama buku-buku sastra yang tak ada di toko buku:

1. http://pustakapelabuhan.blogspot.com/ -berisi info2 buku sastra yang bisa dipesan langsung ke penulisnya. Anda bisa memberikan info buku2 sastra yang sedang terbit lewat dinding Indrian Koto atau Jualan Buku Sastra.

2. http://jualbukusastra.blogspot.com/. Berisi daftar buku yang bisa dipesan kepada kami secara langsung. Anda bisa bekerjasama dengan kami dalam distribusi kecil-kecilan.

Friday, April 6, 2012

Gendang Pengembara Kumpulan Puisi Leon Agusta


kumpulan puisi “Gendang Pengembara” karya Leon Agusta

Penerbit : Pustaka Eidos, Jakarta 2012
ISBN : 978-979-1442-53-4
Dimensi : 140 x 210 mm
Tebal : 235 + v halaman
Harga : Rp. 40.000 (soft cover)

Tersedia pula dalam edisi hard-cover (stok terbatas)
dengan harga Rp. 55.000


Dapat diperoleh di toko-toko buku terdekat kota Anda. Atau pemesanan langsung (dengan discount khusus, tentunya) ke 021 7869883 (bain, acep), atau inbox saya di akun fb ini.

...................

Leon menguasai teknik pantun untuk mendorong ungkapan menjadi pesan sebagai kesatuan pengucapan. Sebagian besar puisinya memperlihatkan reinteriorisasi pantun, membuat kesatuan pengucapannya menghasilkan puisi seperti sebuah patung yang monumental. Konstruksi dan strukturnya seperti berlangsung dalam satu ikatan dan satu tarikan napas. Memainkan paradoks melalui konstruksi dan arsitektur puisi yang massif dan minimalis itu, kadang mengingatkan saya akan permainan batu yang dilempar ke telaga dengan permukaan yang tenang. Tetapi juga seperti sebuah permainan bola yang dilakukan tanpa sarang gawang untuk menggolkan bola. Karena bola yang ditendang memang bukan untuk mengoyak gawang lawan, melainkan untuk mengoyak kognisi kita. Permainan paradoks ini seperti sebuah dialektika yang dilakukan justru untuk menghasilkan rima dalam pikiran. Bola-bola premis ditendang, bola-bola hipotesa juga ditendang. Pikiran menjadi sebuah lapangan bola, yang tujuannya justru berada di luar lapangan itu.
Afrizal Malna
Penyair


Pada awal kepenyairannya, Leon banyak sekali menggambarkan potret kepedihan. Melankolisme sangat terasa. Trauma tetap terbawa di sepanjang pengembaraan penyair, baik di tanah air maupun ketika ia berada di luar negeri. Di dalam trauma serta kepedihannya, penyair masih mencoba berdamai dengan keadaan. Lirik-liriknya lahir dari kedalaman renungan yang didendangkan dengan suara lirih seperti suara napas dalam bisikan. Cara menciptakan suasana puitik dengan gaya yang demikian merupakan suatu motif baru yang bukan tak mungkin akan mempengaruhi gaya ekspresi puisi Indonesia masa mendatang.
Suhardjo MA
Pengajar sastra di Wladiwostok University, Rusia


Dalam pengembaraan Leon, ia nyaris menemukan dekapan cinta, tak ada anatomi cinta dan dekapan hangat meninggalkan jejak kata atau insinuasi, yang ada adalah hukla dan hukla adalah suatu kata purba, awal segala baginya.
Prof. Dr.Toeti Heraty
Penyair, guru besar filsafat Universitas Indonesia



Leon Agusta bukan penyair pamflet dan demo akal-akalan politik untuk meraih massa (binatang aneh yang bisa buas!). Oleh karena itu, Leon kurang dikenal oleh massa yang luas. Boleh dikatakan ia seorang loner, pengembara sunyi bermodal energi spiritual alias intuitive pulsion yang tangguh.
Gerson Poyk
Novelis


Seperti umumnya penyair Indonesia, Leon juga tidak bebas dari godaan untuk menulis sajak-sajak protes atau kritik sosial. Banyaknya ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia sejak awal Orde Baru dan kian menjadi-jadi pada masa berikutnya, tidak luput dari sasaran kegeramannya. Sub-antologinya yang diberi judul Hukla sepenuhnya adalah serangkaian sajak protes sosial yang ditulis pada akhir 1970-an dan awal 1980-an. Leon menamakan sajak-sajaknya itu sebagai puisi auditorium, yaitu sajak di mana “kata-kata berumah dalam ruang dengan audiens yang ramai.” Sajak-sajaknya bersuasana teater, di antaranya terdapat sajak-sajak berisi pernyataan yang diteriakkan secara langsung di hadapan khalayak.
Abdul Hadi WM
Penyair, profesor kajian sastra


Dalam keseharian, ia jauh dari riuh mimbar-mimbar perbincangan sastra, tidak kerap tampil di forum-forum diskusi puisi, apalagi muncul membacakan sajak-sajak yang didramatisir dengan tangis pura-pura di layar televisi. Di usia 74 tahun, sahabat saya ini masih sanggup bepergian sendiri, menghadiri obrolan-obrolan ringan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, dan sesekali bermain catur. Lantaran asma yang dideritanya, setiap bepergian ia selalu menenteng alat pengencer dahak yang sewaktu-waktu diperlukan. Ia tak punya sopir, apalagi mobil pribadi. Namun, dalam setiap diskusi santai yang sempat saya singgahi, setiap kali berbicara, entah kenapa saya selalu ingin mencatatnya sebagai puisi. Cara ia menggeser posisi duduk, menatap lawan bicara, bahkan caranya mengatur napas tatkala sesak itu kambuh, bagi saya adalah puisi. Mungkin karena ia begitu kokoh bertahan di jalan puisi, berpegang-teguh pada puisi, terus-menerus bergelimang puisi. Live in art. “Abang bahagia sebagai penyair?” begitu saya bertanya suatu kali. Ia hanya diam sembari menengadah seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu untuk dibahasakan. Bagi saya, diamnya itu sudah berarti jawaban. Di kurun yang penuh-sesak oleh kekeruhan yang tak terpermanai ini, rasanya kejernihan hanya dapat dipandang dari jendela puisi. Di jaman ketika kemunafikan dibela mati-matian dan kejujuran dianggap aib, raut-muka kewarasan hanya bisa diungkapkan oleh puisi. Dan, ketika fotografer amatir seperti saya dipercayainya membuat foto-profil guna dipasang di sampul belakang buku ini, lensa kamera saya menangkap aura yang bersinar dari raut mukanya. Ekspresinya dingin, namun begitu tajam, seperti Charles Bronson. Lembut, tapi sedemikian tangguh, seperti Robert de Niro. Ia bernama Leon Agusta. Kebergelimangannya dengan kesadaran puitik telah membuat hidupnya diselamatkan oleh puisi.

No comments: