Kami memiliki dua blog khusus untuk buku sastra, terutama buku-buku sastra yang tak ada di toko buku:

1. http://pustakapelabuhan.blogspot.com/ -berisi info2 buku sastra yang bisa dipesan langsung ke penulisnya. Anda bisa memberikan info buku2 sastra yang sedang terbit lewat dinding Indrian Koto atau Jualan Buku Sastra.

2. http://jualbukusastra.blogspot.com/. Berisi daftar buku yang bisa dipesan kepada kami secara langsung. Anda bisa bekerjasama dengan kami dalam distribusi kecil-kecilan.

Tuesday, January 29, 2008

Bacaan Kawan: Kitab yang Berdusta

Kisah Penghuni Surga yang Bosan

Judul Buku: Kitab Dusta dari Surga
Penulis: Aguk Irawan MN
Penerbit: Pilar Media, Yogyakarta
Cetakan: I, 2007
Tebal Buku: xx + 384 halaman


Mengimajinasikan surga, lalu menuangkannya menjadi karya fiksi bukanlah pekerjaan gampang. Bagaimanapun surga merupakan alam yang masih miteri yang diyakini keberadaannya berdasarkan oleh kaum beragama, khususnya Kristen dan Islam. Kitab Dusta dari Surga—yang oleh Gonawan Mohammad dianggap sebagai sebuah buku alegori, seperti Divina Comedia karya Dante—mencoba menyingkap alam surga yang misteri itu dengan cerita yang nakal dan berani. Jika Dante, menggambarkan surga adalah suci dan tertib, Aguk menggambarkan surga sebagai tempat yang membosankan bagi sebagian penghuninya, khususnya bagi Farisi, tokoh utama kisah ini.

Buku ini dibuka dengan suasana musim gugur di Mesopotamia, di mana para pengelana justru bertandang ke kota itu, salah satunya Abdul Hafidz al-Farisi, lelaki tua yang sudah puluhan tahun menjadi pengelana sunyi. Suatu ketika, di tengah zikirnya, Farisi kedatangan lelaki gagah dan berwibawa yang kemudian mengaku sebagai Izrail yang diutus Tuhan mencabut nyawanya. Mendengar pengakuannya Farisi malah bersuka cita, sebab sudah lama ia menantikan kematiannya.

Dengan imajinasi yang liar, selanjutnya Aguk menggambarkan alam setelah kematian, hari kebangkitan di Padang Mashar di mana semua manusia kembali dihidupkan untuk kemudian dihitung amalnya. Saat itu, Farisi berdiri di atas bukit bersama jiwa-jiwa agung, para Rasul, Nabi, Khalifah, Sahabat, Syuhada’ dan para mukminin yang shaleh. Di bawah bukit tempatnya bediri Farisi menyaksikan bumi serupa panci di bawah unggu api yang tak henti-henti menyala. Pekik tangis manusia memohon ampunan membahana. Dalam keriuhan itu, Muhammad SAW bersujud. Namun Allah mencegahnya. Karena tak dibolehkan bersujud Muhammad lalu memohon agar segera menghitung amalan mereka. Seketika langit menjadi terang. Lautan manusia itu kemudian digiring oleh Malaikat menuju tempat penghitungan amal (mizan), tapi tidak bagi Farisi. Ia tetap berjalan santai bersama jiwa-jiwa agung di atas puncak bukit.

Farisi merupakan pribadi yang unik, yang selalu membantah pertanyaan-pertanyaan Malaikat. Dalam perjalanannya melintasi shirat al-mustaqim, jembatan yang hanya bisa dilalui kekasih Tuhan, berkali-kali Farisi membentak Malaikat yang menanyai keimanan, tauhid, dan ibadahnya. Setiap kali ditanya Malaikat, Farisi hanya menyodorkan buku catatan amalnya dan kemudian segera meniti shirat al-mustaqim hingga tiba di Surga.

Di dalam surga Farisi menjumpai deretan istana yang sangat besar dan mewah, Istana Firdaus, Al-Ma’wa, Darul Khulud, ‘Aden, Darunnaim, Darussalam, dan Dalul Muqamah. Namun Farisi sama sekali tidak tergoda dengan kemewahan itu. Ia justeru berbelok langkah, menyusuri lorang gelap yang panjang, menuju Neraka Jahanam. Malaikat Zabaniah yang bertugas menjaga neraka, tak mengijinkan Farisi masuk. Tapi Farisi mendebatnya dengan mengatakan, segala yang diinginkan para penghuni surga niscaya akan terpenuhi. Akhirnya Farisi diijinkan masuk. Dalam neraka itu Farisi mendapati golongan raja-raja, orang-orang durhaka, dan iblis. Bertolak dari neraka Jahanam, Farisi kemudian mengunjungi neraka lainnya, seperti Sa’ir, Hawiyah sampai neraka Wail. Menggemaskan sekali, membaca bagian ketika Farisi menyaksikan para penghuni neraka tengah menyusun strategi agar bisa bebas dari siksa, termasuk di antara mereka, Karl Marx dan Lenin. Mereka berdua mengajak Farisi untuk bergabung mempersiapkan revolusi akhirat, demi persamaan derajat para makhluk dan menghilangkan kelas, tetapi Farisi menolak.

Aguk seolah-olah tak merasa kerepotan dan terbebani ketika menggambarkan suasana orang-orang yang berada di neraka, begitu pun ketika ia menggambarkan kondisi-situasi dan nama orang-orang yang bernaung di surga. Mirip dengan yang digambarkan Al-Qur’an, surga dalam buku ini digambarkan sebagai tempat yang dipenuhi kemewahan dan keindahan. Ada sungai dan telaga yang jernih dan indah, buah-buahan ranum, aroma wangi minyak misk, dan tak lupa bidadari. Ada bangunan rumah yang setiap dindingnya terbuat dari bata merah bersepuh emas dengan pintu berlapis intan dan mutiara. Terlihat orang-orang berpesta pora, bercinta, dan meminum arak. Tetapi Farisi tidak tertarik untuk bergabung bersama mereka. Ia justeru merasa bosan tinggal di tempat yang dipenuhi dengan kemewahan itu. Ia tak suka meminum arak, gadis-gadis, emas, intan dan perak, sebab ketika di dunia ia telah berhasil membunuh hawa nafsunya. Berbeda dengan para penghuni surga yang begitu betah, Farisi ingin kembali ke dunia. Sebab baginya, dunia adalah kehidupan yang sesungguhnya.

Aguk berusaha membangun ketegangan cerita ketika Farisi mencari jalan agar bisa keluar dari surga. Farisi menyampaikan niatnya itu kepada setiap orang yang ia temui, seperti Nabi Adam, Nabi Idris, Nabi Nuh, Ibnu Sina, Ghazali, Ibnu Rusyd, Aristoteles, Plato, Phytagoras, Malaikat Jibril dan para penghuni surga yang lain. Tetapi mereka tak bisa membantu keinginan Farisi. Farisi tidak patah semangat, ia terus melalang surga, hingga tiba di Jabal Quddus di mana ia bertemu Rabi’ah al-Adawiyah, Assyibili, Jalaludin Rumi, Hasan Bashri, Mansur al-Hallaj, dan puluhan sufi lain yang ternyata memiliki kegelisahan serupa dirinya. Setelah berembug, Farisi dan para sufi itu kemudian bergegas mencari Muhammad untuk mengajukan protes tentang alam surga yang ternyata membosankan, hanya dipenuhi nafsu dan kemewahan.

Alur cerita yang lambat dan banyaknya pengulangan di sana-sini menjadi kelemahan tersendiri buku ini. Juga, keliaran imajinasi penulis yang kadang tak terkontrol membuat beberapa bagian tak terkondisikan. Selain itu, konsep surga yang Aguk gambarkan juga perlu dikaji ulang. Sependapat dengan apa yang dinyatakan Goenawan Mohammad, surga adalah sebuah kehidupan yang tak terbayangkan, tak bertempat (utopia) dan berwaktu. Maka sebuah kontradisi jika Aguk mebayangkan surga sebagai sebuah tempat yang kekal (surga) tapi pada saat yang sama juga dihuni bidadari dan dialiri sungai susu untuk memenuhi syahwat dan lapar, sebab yang semacam itu masih merupakan keadaan kurang, yang ingin dipenuhi dan dengan demikian mengandung jarak dan gerak waktu. Apa pun itu, upaya Pilar Media menerbitkan buku ini sangat patut mendapat apresiasi.



Jusuf AN, Lahir di Wonosobo 2 Mei 1984. Menyelesaikan Studi di Fakultas Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Januari 2007, ia bertahan hidup dari menulis. Hidupnya berpindah-pindah dari Wonosobo-Jogjakarta. Ia juga mengajar di sebuah SMP swasta di kampugnnya, mengajar drama, sastra, dan mengelola rumah baca Kampung Raya. Belajar menulis bersama beberapa sanggar kesenian di Jogjakarta dan kota kelahirannya. Tulisannya berupa Puisi dan Cerpen pernah termuat dalam beberapa media, dan dalam antologi, Novelnya yang akan terbit, Kisah Cinta Orang Gila. HP: 085643576644. email: jusufan@yahoo.com

Wednesday, January 23, 2008


Temu Sastra Tiga Kota, Lebih Dari Sekedar Silaturahmi


Sastra pada dasarnya tidak mengenal tempat untuk lahir. Ia bisa hadir di tengah hingar-bingar kota, di antara rutinitas kerja manusia. Sastra juga bisa lahir dari ruang paling ‘pinggiran’ sekalipun. Kegiatan sastra yang diadakan di wilayah yang jauh dari keriuhan wacana pun kadangkala terasa lebih menarik dan berkesan. Hal ini terlihat dari acara Temu Sastra Tiga Kota (Purworejo – Kulon Progo – Yogyakarta) yang berlangsung pada hari Minggu 13 Januari 2008 di Gedung PCNU, km 1 Wates Kulon Progo. Acara yang diselenggarakan oleh Komunitas Lumbung Aksara bekerjasama dengan Sangsisaku ini berlangsung dari pagi hingga sore hari.

Marwanto dalam tulisannya di halaman koran ini (KR, Minggu 13 Januari 2008) mengatakan, acara tersebut tercetus dari obrolan ringan di sebuah sore, pada bulan ramadhan tahun lalu. Dlontarkan oleh salah seorang ‘sesepuh’ penyair Kulon Progo, Papi Sadewa. Menurut Marwanto rencana itu langsung mereka sepakati mengingat perlunya kebangkitan regenerasi sastra di Kulon Progo sendiri. Selain itu, acara ini juga merupakan ruang silaturahmi antar penyair lintas daerah. Mengingat Kulon Progo terletak di tengah-tengah kota Yogyakarta dan Purworejo. Karenanya, lanjut Marwanto, hubungan yang dulu pernah terjalin, perlu kembali dipertautkan agar muncul gairah kesastraan yang lebih ramai juga sebuah mediasi antar sastrawan.

Lumbung Aksara, sebagai penyelenggara merupakan salah satu komunitas sastra di antara salah dua —atau lebih— komunitas sastra di Kulon Progo. Agenda pasti mereka adalah menerbitkan buletin bulanan bernama Lontar. Buletin gratis yang tampil delapan halaman yang memuat cerpen, puisi dan agenda sastra di Kulon Progo, khususnya.

Dalam acara ini, mereka juga menerbitkan sebuah Antologi yang berisi puisi, geguritan dan cerpen dari para peserta yang diberi judul Antariksa Dada. Skitar 41 peserta yang tercatat, 5 dari Purworejo, sembilan dari Yogya, selebihnya berasal dari Kulon Progo sendiri. Ini belum termasuk peserta yang tidak tercatat dalam antologi ini, disebabkan naskah mereka belum masuk sampai deadline yang ditetapkan.

Peserta yang diundang berasal dari beragam usia. Mulai dari mereka yang memiliki jam terbang tinggi hingga yang masih aktif di bangku sekolah. Menurut panitia, hal ini diharapkan bisa memberi dinamika, sebuah momen di mana ada interaksi, komunikasi, sharing dan belajar. Acara dan antologi semacam ini tentu sangat membantu kawan-kawan sastrawan muda –usia dan pengalaman– untuk ikut terlibat dan ter‘peta’kan di jagad kepenyairan yang besar ini.

Acara yang berlangsung sampai sore ini, diselingi dengan diskusi singkat dengan pembicara Joko Sumantri dan Siho, peneliti dari Jepang. Apresiasi peserta asyik. Terbukti dari pagi sampai sore mereka masih terus mengikuti acara, meski dengan energi yang sudah nyaris habis. Kejenuhan ini tentu disebabkan waktu yang panjang. Selama acara berlangsung panggung terlihat lebih banyak kosong. Tak direspon. Belum lagi acaranya berlangsung dalam satu hari yang otomatis banyak jadwal yang terpaksa dipadatkan. Panitia saya kira, sudah dipertimbangkannya dengan matang. Acara ‘terpaksa’ dilakukan sekali jalan. Kita bisa maklumi ini. Acara sastra nyaris jauh dari bantuan dan sponsor.

Banyaknya penyair muda –usia dan pengalaman– yang terlibat memperlihatkan bahwa Kulon Progo memiliki embrio sastra yang luar biasa. Kesadaran semacam ini tentu tak lepas dari peran Lumbung Aksara sebagai ruang apresiatif dan Lontar sebagai wadah penampung karya. Kita selalu berharap acara sastra semacam ini tak berhenti di jalan. Sebenarnya, kawan-kawan yang masih dalam tahap ‘belajar’ untuk sementara lebih baik berada di posisi penikmat. Mereka bukan tak boleh tampil, tapi harus melewati tahap penyeleksian, agar terasa adanya semacam ‘persaingan’ bagi mereka. Ini akan memicu mereka untuk berkarya dan terus belajar. Siasat lainnya, mereka yang tampil bisa mewakili komunitas atau kelompok tertentu. Penyeleksian ini tentu tak tertutup kemungkinan bagi peserta dari Yogyakarta maupun Purworejo agar bisa memancing animo dan apresiasi yang lebih. Tapi lagi-lagi saya pikir panitia sudah sampai pula pada pemikiran ini, dengan segala kemungkinannya.

Persoalan selanjutnya tentu saja what nexs? Apa setelah ini? kita tentu tak ingin acara semacam ini, setelah kemunculannya segera mati, bukan? Setidaknya ada kemungkinan peristiwa berikutnya. Kita tentu berharap setelah ini akan ada respon kreatif yang tak kalah ‘gagahnya’. Kulon Proga sudah saatnya memiliki acara semacam ini. Atau setidaknya, ini menjadi agenda rutin Lumbung Aksara, misalnya atau memang harus saling di‘lempar’ ke masing-masing kota agar semangat totalitas dan rasa memilikinya lebih terasa. Tugas Marwanto dan Lumbung Aksara (LA), Papi Sadewa dan komunitas Sangsisaku untuk terus menemukan, mengaah dan mendidik regenerasi ini.

Lalu satu hal yang tak kalah pentingnya adalah rumusan acara yang rasanya masih belum matang. Mestinya ada kosentrasi yang lebih jelas dan fokus. Jika temu sastra, mestinya cerpen juga mendapat porsi yang besar. Tidak menjadi berdosa mendudukan penyair, cerpenis dalam satu ruang yang sama, bukan? Begitu juga dengan geguritan sebagai salah satu warisan kebudayaan Jawa. Dan sastra bukan hanya melulu puisi. Tetapi, yang awal tak selalu sempurna, bukan? Selalu ada waktu untuk memperbaikinya.

Di luar itu semua, acara ini merupakan kejutan yang luar biasa. Kegiatan konkrit yang bisa dirasakan langsung, nitibang kita mesti bertualang jauh ke belakang. Tidakkah saat ini kita bisa menciptakan sebuah iklim baru dalam bersastra dan bukan tidak mungkin akan menjadi luar biasa. Dan soal ingatan, biarlah sejarah yang mencatat. Bukankah hari ini pun akan menjadi masa lampau? Di sini akan lahir kemungkinan baru, sebuah energi baru dan ruang kreatif baru yang lebih dasyat. Sebagai pembuka, acara semacam ini perlu diacungi jempol.

Bagaimana pun, acara yang sudah berlangsung ini harus diapresiasi dan dicatat. Ini merupakan sebuah mediasi yang kita harap akan selalu ada dan terus ada di tengah kondisi kusustraan yang semerawut ini. acara sastra tak hanya milik orang ‘kota’. Ia tak melulu hadir di lembaga-lembaga resmi, diadakan oleh komunitas besar dan mapan. Tetapi ia bisa juga lahir dari sebuah ‘tempat sepi’, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk, jauh dari ‘pesta’ dan diselenggarakan komunitas ‘lokal’ pula.

Sastra lahir dari mana saja dan bisa hadir di mana saja. Temu Sastra Tiga Kota yang berlangsung di Kulon Progo ini telah membuktikannya. Selebihnya kita serahkan kepada waktu.

15 Januari 2008

catatan seorang kawan:Alangkah Tololnya Patung Ini



Puisi sebagai Diskursus Minor

Judul Buku : (Antologi Puisi)”Alangkah Tolol Patung Ini”
Pengarang : Faisal Kamandobat
Penerbit :Olongia-Yogyakarta
Cetakan : I, Agustus 2007
Tebal : 134 halaman.
Peresensi : Ridwan Munawwar*)


Menulis ulasan tentang antologi puisi “Alangkah Tolol Patung Ini” (Olongia-Yogyakarta, September 2007) yang dikarang penyair muda Faisal Kamandobat ini saya awali dengan hambatan; saya kenal akrab dengan penyairnya. Hambatan yang sederhana kelihatannya, namun sesungguhnya menjadi kesulitan yang cukup serius ketika kita masuk pada tindak penafsiran secara utuh. Keakraban intim dengan sang pengarang, yang berarti itu sedikit banyak mengetahui detail kesehariannya, mengetahui latar belakang fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa yang menjadi inspirator puisi-puisinya, ternyata memberikan batasan yang amat menyempitkan dalam pembacaan dan penafsiran atas puisi-puisi karangannya.
Dengan mengenal pengarang, secara tidak sengaja saya melakukan kekerasan semiotik terhadap teks dimana setiap kali imajinasi penafsiran saya hendak memulai terbang mencari kemungkinan paling baru dari penemuan makna, ia selalu tersedot kembali kepada ingatan yang profan dan banal tentang keseharian sang pengarang. Walhasil, teks puisi kehilangan keliarannya, kehilangan keluasan multi-interpretasi yang mana merupakan watak paling hakiki dari puisi itu sendiri. Reduksi makna semacam itu jelas merupakan suatu hal yang tak terampunkan dan melanggar etos dan etika penafsiran karya sastra.
Maka dari itu, mati-matian saya berusaha “membunuh sang pengarang” yang kehadirannya selalu membayang dalam ingatan. Dengan memutuskan pergaulan dengan sang pengarang untuk sementara waktu, lama-kelamaan akhirnya tak urung berhasil juga. Kemudian saya memilah dengan hati-hati, sisi mana saja dari ingatan terhadap sang pengarang yang layak untuk saya pakai dalam menafsirkan puisinya. Lalu, puisi-puisi itu pun kembali hadir dalam kemurniannya yang asing dan dalam keasingannya yang murni dalam pembacaan saya.
Ternyata, menjadi pembaca yang dekat dengan pengarang memerlukan suatu “keahlian melupakan” dan bahwa “kematian pengarang” bukan saja suatu hal yang alamiah, namun juga menjadi prasayarat utama dari proses penafsiran yang optimal.


***
Prinsip puitika yang khas dari Faisal Kamandobat adalah disiplin olah semantik yang ketat. Ini tampak dari nuansa kelugasan kata, kesederhanaan imaji dan nuansa filosofis yang mendalam yang akan segera membawa pembaca pada kenikmatan kognitif yang estetis.
Bila puisi Faisal ada yang ‘sulit dimengerti’, itu bukan lantaran bahasanya yang gelap, atau imajinasinya yang super-aneh, melainkan karena energi filosofis yang menyihir di balik kata-kata. Pembaca diajak berfikir dengan detail dan subtil terhadap masalah-masalah mendasar dalam kehidupan, dan bukannya diajak menyusuri labirin kata-kata yang gelap dan absurd.
Faisal lebih menekankan bahasa puisi pada unsur metonimi yang merupakan dimensi logis dari bahasa. Namun meski demikian itu tidak berarti estetika visual dan estetika musikal dari puisinya hilang begitu saja, bahkan pada beberapa puisi yang ia tulis pada periode tahun 2003-2004 musikalitas dari puisi-puisinya nampak terjaga apik.
Dilihat dari hubungannya dengan struktur bahasa umum, Faisal tampak menjaga hubungan itu dengan mempertahankan nilai komunikatif dalam bahasa puisinya. Namun pada saat yang sama, energi estetika telah membuat bahasa puisi menciptakan kekhasan linguistik pada dirinya sendiri. Suatu langue (aksiomatika bahasa) personal yang tak ada duanya. Puisi pun menjadi bahasa soliter yang imanen di tengah struktur bahasa umum. Soliter karena ia menjaga jarak ontologis dengan struktur bahasa umum, imanen karena ia tidak sepenuhnya terlepas darinya, tetapi bergerak dalam irama dialektis dengan laju sejarah dan kebudayaan yang melingkupinya.
Puisi pembukaan dari antologi ini berjudul Bahasa Alam Benda” yang berisi tentang refleksi atas hubungan paling misterius antara manusia dengan alam benda yang bermoduskan bahasa;

kita lahir menetaskan suara
di bumi yang sunyi
menggaung abadi
pada sungai dan pohonan
senyap terdengar bahasa samaran hati
(“Bahasa Alam Benda” hlm. 11, 2004)

Pada mulanya, alam semesta adalah kenyataan yang sunyi, sepi dan tak terpermanai. Dunia manusia datang tercipta utuk membahasakannya, menandainya. Kata demi kata, warna demi warna hingga dalam skala dan level dan tatanan yang besar dan masif, bahasa manusia mewujud dalam bentuk peradaban dan kebudayaan.
Dan bahasa, yang pada mulanya begitu liar dan semena-mena dalam menandai, sedikit demi sedikit menata serta membentuk dirinya menjadi struktur konvensional yang mengikat kesadaran setiap subjek yang hidup di dunia. Bahasa merupakan formula fundamental dari sistem nilai, pengetahuan dan muatan ideologi dari suatu kebudayaan. Melalui bahasa itu pula domain-domain kebudayaan tadi bergerak secara serentak dan masif dan menterakan dirinya sebagai bagian dari sejarah dunia.
Masifitas nilai-nilai kebudayaan dapat ditemukan dalam progresi sistem diskurus ilmu pengetahuan. Sistem pengetahuan pada akhirnya menjadi suatu nilai mayoritas (grand value) ketika masyarakat mengakuinya sebagai bagian paling mendasar dari hidup setiap individu. Ketika sampai pada level ini, ilmu pengetahuan akhirnya menjadi suatu norma—bahkan mungkin dogma—yang lengkap dengan konsekuensi-konsekuensi tertentu ketika seseorang mulai ‘melanggar’ batasan-batasannya. Kuasa pengetahuan telah menjadi hegemoni yang mengikat setiap subjek untuk tunduk padanya.
Penyair, dengan puisinya yang tak lain adalah bahasa estetis personal yang dimilikinya, berdiri di pinggir semua gerak kolektif dan kolosal dari peradaban dalam suatu pembacaan kritis yang tak hentinya merefleksikan dan mempertanyakan dari semua kemapanan sistem-sistem tersebut. Di sini puisi pun bukan sekedar estetika bahasa, tapi menjadi epistemologi alternatif yang melakukan penjelajahan lebih luas dan membawakan sudut pandang yang berbeda atas batasan-batasan kemungkinan dari tindak dan diskursus pengetahuan umum. Puisi menjadi diskursus minor yang mempertanyakan ulang seluruh kemapanan diskursus mayor.
Faisal melakukan pembacaan kritis lewat puisi ini antara lain terhadap kemapanan ingatan sejarah serta pelbagai diskursus historiografi yang berdiri di belakangnya.

darah dari garis ras
yang dikuduskan
mengangkat impian terkubur
dan berlayar ke benua jauh
demi mencari surga
yang dijanjikan
kitab-kitab junjungan
....
ketika para laut bertolak
dari pulau yang poranda
dunia tampak begitu polos
seakan sejarah baru saja di mulai
(“Penemuan Dunia” hlm. 36-38, 2004)\

Kita bisa langsung membayangkan ketika bangsa-bangsa Eropa Tengah pada sekitar tahun 1492 M, masa-masa ketika mereka mulai melancarkan ekspansi kolonial ke berbagai penjuru dunia. Ketika benua-benua dengan masyarakat arkaik-primitif yang diklaim sebagai benua baru yang polos oleh orang-orang Eropa. Dan peradaban arkaik hancur serta bungkam oleh tindak kolonialisme itu.
Kebudayaan Eropa selanjutnya melakukan klaim historis yang cenderung hegemonik dengan mengukuhkan wacana dirinya sebagai suatu narasi utama (grand narrative) atas pembacaan sejarah. Ingatan kita tentang sejarah suku-suku arkaik di pedalaman Amerika misalnya, lebih ditentukan wacana historiografi versi kolonial-Eropa (bahkan, kita tidak tahu nama asli dari suku asli Amerika yang ditaklukan Columbus).
Secara implisit, puisi ini membawa kita pada suatu kesadaran kritis akan pembacaan sejarah; tidakkah sejarah adalah suatu hal yang terlampau kompleks untuk sekedar ‘diikat’ oleh satu versi wacana? Tidakkah begitu mungkin ada banyak narasi sejarah yang lain, yang minor, yang mungkin diberangus oleh tangan-tangan kekuasaan kolonial karena dianggap subversi terhadap kekuasaan itu?
Selain kritik radikal terhadap diskursus mayor, puisi pun bisa menjadi semacam media apresiasi ilmu pengetahuan yang bersifat interpretatif-konstruktif dan afirmatif. Puisi Faisal diantaranya merefleksikan pengetahuan sistematis dalam pengalaman dan penghayatan keseharian yang menghasilkan suatu interpretasi yang unik atas hukum-hukum baku diskursus pengetahuan mayor. Puisi yang berjudul “Sajak Oedipus Kepada Ibunya” (hlm.51), contohnya, adalah suatu interpretasi puitik akan mitologi Oedipus dari Yunani yang kelak menjadi dasar filosofis dari ilmu psikoanalisis. Karena ditulis dalam pergesekan dengan kosmos ke-indonesiaan, faham psikoanalisis yang datang dari kultur yang berbeda itu menjadi dekat dengan karakter manusia Indonesia.
Setiap ilmu pengetahuan terlahir dari suatu kondisi eksistensial tertentu (Hans Albert,”Risalah Pemikiran Kritis”, hlm. Pustaka Pelajar Jogjakarta, 2003) antara lain seperti kondisi sejarah, latar psikologis dan sosio-kultural yang menjadi konteksnya, bahkan pada sisi tertentu sejarah mengkonstitusi suatu paradigma dengan kadar determinasi tertentu. Maka seiring dengan perubahan alamiah yang misterius dari zaman dunia, setiap diskursus ilmu pengetahuan sesungguhnya memiliki keniscayaan untuk berbagai pergeseran paradigmatik dan perubahan dekonstruktif, baik yang datang secara internal maupun secara eksternal dari diskursus tersebut. Maka puisi memiliki keleluasaan untuk menghadirkan diri pada retakan pergeseran paradigmatik ini dengan ide dan kemungkinan dasar filosofi baru yang dibawanya.
Puisi sebagai teks pembawa ide memiliki kekuatan pada sisi ke-mantra-an-nya. Mantra adalah minimalitas bahasa yang menyedot perenungan pada relung paling sublim dan esoteris dalam unsur paling atomik dari bahasa, yakni kata. Bila ilmu filsafat akademis ditulis dalam suatu metodologi dan sistematika yang baku, ketat dan ‘prosaik’, maka puisi dengan ke-mantra-an-nya mengembalikan cakrawala filosofi kepada sifatnya yang murni, intiutif, spontan, eksperiental, jernih sekaligus kelabu.
Puisi di bawah ini justru membawakan jawaban kritis bagi salah satu filsafat yang paling menjadi rujukan dalam tradisi filsafat Barat;


dunia ini rumah
untuk hidup dan mati
kata-kata ini rumah
untuk hidup dan mati
(“Rumah Untuk Hidup dan Mati”, hlm.27, 2004)

Adalah filsuf Jerman, Martin Heidegger yang menuliskan tesis bahwa ‘bahasa merupakan rumah meng-ada’, dimana melalui dan dalam bahasa-lah manusia mengenali dunia, menghayati eksistensinya dan merasakan pertemuan dengan yang-lain. Dan bahkan bahasa menjadi jalan bagi aletheia (transendensi) sang subjek. Bahasa bergerak secara kongruen dengan gerak keberlangsungan eksistensi subjek yang tak lain adalah kehidupannya sendiri.
Dalam filsafat Heideggerian, sejarah dan riwayat eksistensi/pengada (being) ada akan berakhir ketika kematian menjemput subjek. Namun, puisi di atas memberikan sudut pandang lain; bahwa kematian merupakan bagian tak terpisahkan dari eksistensi subjek, yang dalam psikoanalisis disebut energi thanatos. Ada pencerahan eskatologis dalam puisi ini; bahwa kematian pun adalah salah satu jalan eksistensial yang lain lagi, yang memiliki karakteristik dan aturan-aturan kosmik yang berbeda dengan kehidupan. Dan mungkin kematian memiliki bahasanya tersendiri. Sesunyi puisi.
***

Ridwan Munawwar, adalah penggiat sastra, aktif di Rumah Poetika Jogjakarta dan I;boekoe (Indonesia Buku) di kota yang sama. esainya yang berjudul “Sastra dan Imajinasi Saintifik” menjadi nominator Lomba Cipta Esai Bulan Bahasa Oktober 2006 yang diadakan Bale Bahasa Yogyakarta. Karya Tulis Ilmiahnya, “Memajukan Universitas dengan Perpustakaan bertaraf Internasional” menjadi nominator Lomba Karya Tulis Ilmiah dalam rangka HUT Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Desember 2006.
CP: 08170418187
e-mail: ridwanmunawwar@yahoo.co.id