Buton, Ibu dan Sekantong Luka
Antologi Puisi Irianto Ibrahim
Penerbit Frame Publishing
Cetakan pertama, 2010
harga: 28.000
Pemesanan via penulis http://www.facebook.com/nozqa#!/irianto.ibrahim
Mencari Puisi yang Hilang dari “Buton, Ibu dan Sekantong Luka” Karya Irianto Ibrahim
1
Apa yang akan kuceritakan lebih dulu padamu, penyair? Tentang angka lahir yang nyaris sama barangkali? Atau kisah colo-colo di sebuah pulau kecil yang berulang kali memanggil petani ubi dalam celah karang: Lakudo.Kisah masih terbayang, seperti ikan seperahu yang kita bakar sore itu.Lalu sebuah buku datang dari tanganmu di Kedai Arus. Malam itu, sepuluh tahun terasa lebih dekat. Aku yakin, buku itulah yang pertama kau berikan pada seseorang di Kendari: padaku.
Sangat membahagiakan bukan? Apalagi kau memintaku membicarakan buku itu.Nah, melalui catatan sederhana ini, aku akan menulis dari hati saja. Menulis sebelum puisi-puisi dalam bukumu lahir. Ketika kita masih satu meja di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unhalu. Bukankah yang lain telah banyak menulis tentangmu sewaktu bedah buku di tiga kota: Yogakarta, Tasikmalaya, dan Jakarta?
Aku akan memelukmu sambil membisikkan sebuah tabloid Podium Pers Mahasiswa Unhalu tentang “Darah Itu Merah Jenderal”. Di sinilah puisi dalam bukumu bermula meskipun aku lebih memilih, bukumu lebih dominan tentang ibu. Bukankah puisi pembuka “Bunda, Kirimkan Nanda Doa-doa” adalah puisi pertama meskipun tak tercantum sebagai halaman pembuka puisi? Lalu lihatlah tahun-tahun setelahnya, ibu begitu bertenaga di sana. “Kelak Kau akan Mengerti” meskipun rumah dan kenangan sama-sama telah usang, tapi aku masih ingat “Sajak Botol” tahun 1996. Kukira, ini puisi yang luput setelah Nanga-Nanga malam itu, kita bermain api di bawah terpal.
2
Ada 53 puisi dalam antologi “Buton, Ibu dan Sekantong Luka”. Ditulis dalam rentang tahun 2000-2010 (meralat pernyataan Sarabunis Mubarok sebelumnya,2007-2010). Kurun sebelas tahun itu, terdapat satu puisi yang terbit pada tahun 2000 (Bunda, Kirimkan Nanda Doa-doa) dan 2001 (Pantai Katembe). Puisi terbanyak ditulis tahun 2007 (22 puisi) lalu menyusul tiga tahun berikutnya.Bicara tentang Anto, sebenarnya kita tidak saja diajak membaca sejarah Butuni 1969 tetapi bagaimana mencintai ibu dan seseorang yang kelak menjadi ibu untuk anak-anakmu (Suatu Ketika di Kamar Kontrakan). Tentu saja pembacaan lain dari konteks puisi yang telah ia paparkan sebelumnya akan lebih terang (Sebuah Cerita dari Dua Gelas Kopi, Peminang Sepi, Pada Sebuah Pesta, Sungai Sajak, Hawa Semedi, Perahu Kanak-kanak). Keenam puisi tersebut disuguhkan kepada kawan-kawan yang mencintainya. Anto begitu paham, pada siapa puisi itu ditujukan sebelum ia benar-benar menulisnya. Kelak kau akan mengerti, begitulah.
Ada satu hal yang tak bisa lepas dari kepenyairan Anto selain potret sosial yang dekat dari dirinya dan sangat kuat dalam buku antologi puisi ini, yakni romantisme kebebasan. Anto tetap satu arah memotret keseharian: ada doa ibu yang tak pernah lepas. Ibulah yang membuat sosok penyair ini begitu kuat dalam metafor maupun proses penulisan lainnya.
3
Irianto Ibrahim telah berhasil membukukan karya puisinya. Kita patut bangga sebab ini yang pertama sebuah buku antologi puisi terbit di Kendari. Realitas sosial begitu bertenaga. Kita bisa membaca sejarah berdarah tahun 1969 itu melalui buku kecil ini. Dan, Anto memang tak main-main, sejarah itu memang kelam tapi laras memang tak perlu datang untuk sekadar mencatat buku kecil Saleh Hanan, “Buton, Basis PKI” dengan buku puisi. Maka, buku ini memang wajib dibaca.Mungkin buku berikut akan kita temukan puisi Anto yang hilang itu. Bukankah tahun 2002-2006 tak satu pun puisinya hadir di sini?
Kendari, 2010
No comments:
Post a Comment