Balada Orang-Orang Kurang Beruntung
Penulis: Arther Panther Olii
Judul Buku : Orang Kalah
Kumpulan cerpen
Penulis : I Wayan Suardika
Penerbit : Pustaka Suardi, Bali
ISBN : 978-979-18471-0-6
“Suratan nasib adalah alasan paling keji untuk membenarkan ketidakberdayaan.”
Kalimat pembuka di atas merupakan ucapan Guru Raka dari cerpen berjudul “Lidah Belati”, satu dari lima belas cerpen yang ada dalam kumcer ini. Membaca “Orang Kalah” kumcer dari salah satu penulis terkemuka Bali, I Wayan Suardika, kita seakan berpetualang dalam suatu dinamika kehidupan manusia-manusia bernasib kurang baik berlatar belakang Bali lengkap dengan kebudayaannya.Penulis : I Wayan Suardika
Penerbit : Pustaka Suardi, Bali
ISBN : 978-979-18471-0-6
“Suratan nasib adalah alasan paling keji untuk membenarkan ketidakberdayaan.”
Dengan memakai sudut pandang orang pertama sebagai subyek utama narasi, Bli Wayan, sapaan karib sang penulis dengan ringannya menuturkan kisah-kisah kurang beruntung anak manusia. Di cerpen pembuka dari kumcer ini, “Pada Batas Terali” kekurangberuntungan menimpa dua anak manusia, Ayah dan Anak. Perbedaan ideologi dan pandangan hidup mengharuskan mereka menjalani kehidupan dengan takdir yang sungguh berbeda. Bli Wayan cukup berhasil mengharu birukan perasaan lewat dialog-dialog yang terbangun antara Pak Karsa, Sang Ayah dan Barnata, anaknya. Ada pelajaran kasih yang dapat kita tuai dari kalimat Pak Karsa, seorang anggota dewan kepada Barnata anaknya yang merupakan seorang aktivis. Dari balik terali, Barnata dibuat terpana dengan ucapan Ayahnya, “Jika ada satu-satunya yang Ayah miliki dan banggakan kepada orang lain, kaulah itu, nak!”
Di empat cerpen berturut-turut setelah cerpen “Pada Batas Terali”, Bli Wayan menyuguhkan kekurangberuntungan lewat pelakon yang kesemuanya merupakan lelaki. Ada lelaki penuh lara disebabkan kemalangan hidup anaknya yang maling di cerpen “Lelaki di Kedai”, ada lelaki malang yang menunggui istrinya yang pelacur di cerpen “Lelaki Menunggu”, ada lelaki dengan tatapan penuh dendam di cerpen “Mata Dendam” dan ada lelaki yang luar biasa kurang beruntung nasibnya, lelaki yang harus menjadi korban amuk massa di kala mencari pinjaman untuk persalinan istrinya di cerpen “Yang datang dan Yang Pergi”. Di empat cerpen ini, kita bisa menarik sebuah garis kesimpulan yang menarik, bahwasanya sebuah pengorbanan tidak hanya menitikberatkan pada fisik luar semata, tetapi jauh lebih tereksplorasi adalah pengorbanan hati dan perasaan. Terutama apa yang mendera meraka sebagai yang ditinggalkan. Di empat cerpen ini, Bli Wayan menyuguhkan kemirisan yang kompleks.
“Duka Abadi Me Made”, “Perempuan Kecil Berwajah Seperti Bulan” dan “Ni Karti Masih Menanti I Sadu Terus Menunggu” adalah tiga cerpen yang menokohkan perempuan sebagai subyek utama cerita. Dan kekurang beruntungan hadir bersayap di ketiga cerita ini, sayap yang terus mengibaskan duka dan derita berlapis. Pun di cerpen “Wayan Gila”, Bli Wayan mampu meninggalkan jejak makna tersirat secara jelas. Kita dibuat tidak berapriori instan bagi hal-hal yang absurd di pandangan mata. Apa yang menampak tentu disebabkan adanya hukum sebab-akibat.
Saya pribadi mengunggulkan dua cerpen di antara lima belas cerpen di kumcer ini. Dua cerpen tersebut adalah “Lidah Belati” hal-50 dan “Orang Kalah” hal-78 yang menjadi judul kumcer ini. Tak salah jika “Orang Kalah” terpilih menjadi judul kumcer ini. Di cerita yang nyaris sangat pendek ini, Bli Wayan mampu menggugah naluri sedemikian dalam. Saya sedikit curiga, jika Bli Wayan hendak menceritakan dirinya sendiri di cerpen ini. Tapi, ini hanya berupa praduga yang presentase kebenarannya rendah mengingat sentilan Bli Wayan di cerpen ini jauh melampaui batas ketidakberuntungan itu sendiri. Sungguh saya terpesona pada kalimat ending di cerpen ini, “pecundang itu orang kalah yang gagah”. Tak jauh beda dengan kalimat pernyataan luar biasa menarik dan cerdas di cerpen “Lidah Belati” yang sudah saya tuliskan di awal catatan ini.
Kekurangberuntungan berbalut ketegaran yang sangar dan tak tergoyahkan disajikan Bli Wayan di tiga cerpennya yang lain melengkapi keseluruhan cerpen di kumcer ini. “Peminta-Minta”, “Wajah yang Tak Berhenti Menyeringai” dan “Tali Penjerat”. Dan selaku pembaca kita tak akan kesulitan mencerna kalimat demi kalimat pun paragraf demi paragraf yang di susun Bli Wayan dalam tiap cerpennya. Bahasanya sederhana, mudah dimengerti dan cenderung lugas apa adanya. Ranah kehidupan sosial manusia dan segala interaksinya dengan sesamanya dinarasikan tanpa banyak menyisakan tanya berkepanjangan. Pembaca bisa sesekali menikmati camilan kecilnya yang mendampingi dalam membaca kumcer ini. Makna yang humanis dan dinamis akan sampai ke benak kita dengan begitu manis.
Di dunia kepenulisan, khususnya penulisan cerpen, “setting” cerita yang diusung para penulis tak akan pernah bisa lari dari unsur lokalitas penulis itu sendiri. Ini bukan hal yang klise, tetapi lebih kepada garis “real” yang mengaminkan kekayaan intelektual penulis itu sendiri. Lokalitas bahasa dan budaya sungguh memperkaya serta menambah daya gugah yang asik dan luar biasa bagi pembaca dalam menikmati sebuah cerita. Bli Wayan, dengan lokalitasnya yang kental, mampu membangun interaksi yang menarik dengan pembaca karyanya. Bli Wayan tidak perlu melebarkan bahasanya hingga ke pencitraan yang global untuk mendapatkan kesan positif dari pembaca. Saya, selaku salah satu pembacanya justru merasa beruntung disajikan ragam cerpen tentang ketidakberuntungan ini. Ah, sepertinya ini sebuah paradoks. Tapi memang begitulah kenyataannya. Sekali lagi saya katakan, saya merasa beruntung bisa memiliki dan membaca kumcer “Orang Kalah” yang total halamannya sebanyak 91 halaman ini. Dan saya akan melanjutkan berkata tanpa keraguan bahwa anda pun akan mengalami opini paradoks yang sama jika sudah membaca kumcer ini. Silahkan butktikan sendiri.
Manado, 17052011.
No comments:
Post a Comment