Kami memiliki dua blog khusus untuk buku sastra, terutama buku-buku sastra yang tak ada di toko buku:

1. http://pustakapelabuhan.blogspot.com/ -berisi info2 buku sastra yang bisa dipesan langsung ke penulisnya. Anda bisa memberikan info buku2 sastra yang sedang terbit lewat dinding Indrian Koto atau Jualan Buku Sastra.

2. http://jualbukusastra.blogspot.com/. Berisi daftar buku yang bisa dipesan kepada kami secara langsung. Anda bisa bekerjasama dengan kami dalam distribusi kecil-kecilan.

Tuesday, November 4, 2008

ibumi


Sastra: "Aku" Dalam Dongeng dan Mitos

KONON, puisi Indonesia modern meniscayakan kehadirannya sebagai pergulatan ihwal bagaimana Aku merumuskan dirinya. Di situ, puisi dipercaya sebagai Aku yang hendak mengurai dirinya, keluar menyatakan kehadirannya sebagai individu yang otonom.

Dalam pertumbuhan perpuisian Indonesia modern, pergulatan merumuskan Aku ditempuh dengan berbagai strategi kesadaran. Termasuk ketika penyair menghadapkan Aku ke dalam berbagai tradisi kisahan yang hidup dalam masyarakat primordialnya. Tak hanya folklor (legenda, cerita rakyat, dongeng, mitos), tetapi juga berbagai kisahan dalam kitab suci, kerap menjadi ruang tempat penyair melakukan epistemologi estetik dan epistemologi kesadaran untuk menghadirkan Aku.

Aku di situ adalah upaya penyair yang menafsir, mencari, dan menemukan kesadaran personalnya sebagai sebuah subjek otonom. Sejak masa Hamzah Fansuri, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Rendra, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, Saini KM, hingga beberapa generasi kepenyairan terkini, puisi Indonesia modern mencirikan salah satu kehadirannya pada pergulatan ihwal Aku yang mengambil inspirasi dari berbagai tradisi kisahan yang hidup dalam suatu masyarakat primodialnya.

Di lain sisi, menulis puisi demi menafsir sebuah tradisi kisahan yang ada di ranah folklor adalah ihwal bagaimana penyair bekerja mengolah kembali imajinasi yang telah tersedia sehingga seluruh simbolisasi dan metafora di dalamnya menghadirkan Aku yang otonom. Kerja menafsir menjadi peristiwa yang menarik dan menantang. Aku berada di antara pergulatan tarik-menarik antara ruang personal dan impersonal. Kematangan penyair dalam menafsir sebuah dongeng amat menentukan intensitas sampai sejauh mana Aku hadir dan merebut dirinya.

Kematangan seperti inilah yang dipertaruhkan oleh 19 penyair dalam 100 puisi yang termaktub dalam antologi Ibumi Kisah-kisah dari Tanah di Bawah Pelangi (I:boekoe: 2008). Antologi ini agaknya antologi tempat seluruh puisi di dalamnya ditulis mendasar pada tradisi kisahan yang ada di berbagai daerah di Indonesia, dari Aceh sampai Papua. Di situ, penyair bekerja dengan sejumlah batasan yang mesti patuh pada dongeng yang menjadi rujukannya. Setiap puisi merupakan tafsir penyair atas sebuah dongeng. Antologi ini lahir dari program penulisan "Puisi Kisah Nusantara" yang berlangsung sejak Januari 2007.

Membaca 100 dongeng yang telah menjelma menjadi puisi dalam antologi ini adalah membaca puisi itu sendiri, seraya diam-diam berupaya menatap sampai sejauh mana penyair mencari dan menemukan Aku di dalamnya. Aku yang menafsir dan memadatkan seluruh kisahan itu untuk menghadapkannya ke dalam gagasan kesadaran ihwal realitas hari ini, seraya dibayangi oleh semacam kecemasan bahwa puisi-puisi itu sesungguhnya tak bertutur apa pun selain hanya melakukan tekstualisasi seluruh keajaiban dan ketakjuban dari berbagai dongeng tersebut.

Penjelajahan

Tetapi, dengan dua puisi, "Rahim Darah" dan "Toba: Sepenggal Kesunyian" penyair Indrian Koto seolah menjanjikan bahwa antologi ini tidaklah dibayangi oleh kecemasan semacam itu. Menafsir cerita rakyat Aceh "Pocut Muhammad" dan membaurkannya dengan syair lagu yang dikutip dari album Krak yang diproduksi oleh Aceh Music, juga dialog yang dipungut dari film Tjoet Nyak Din, puisinya hadir dalam suasana heroisme yang tak terjebak menjadi perulangan-perulangan yang klise dan artifisial. Penyair ini mampu menemukan atau meletakkan sejumlah ungkapan dalam fokus yang diarahkan ke dalam realitas hari ini: waktu adalah dunia yang mengubur banyak siasat/.../dan Tuhan/untuk kebenaran siapa dia berpihak, sebenarnya?/ ("Rahim Darah"); cinta dan kesakitan mengembalikanku/kepada danau dan puncak gunung./kepada kesunyian yang paling murung ("Toba: Sepenggal Kesunyian").

Seterusnya antologi ini menghidangkan berbagai penjelajahan para penyair dalam khazanah folklor yang ada di Nusantara. Dalam penjelajahan itulah mereka sesungguhnya berada dalam relasi-relasi ketegangan dalam upaya mencari, merebut, dan menemukan Aku dalam ruang folklor yang komunal. Dongeng, legenda, dan cerita rakyat yang di sana-sini berhubungan dengan asal-muasal sebuah tempat, diperlakukan dengan berbagai kemungkinan eksplorasi tematiknya.

Satu hal yang menjadi pertanyaan adalah, sampai sejauh mana sesungguhnya penyair memasuki dan menenggelamkan dirinya ke dalam jagat pandangan dunia yang termaktub di balik berbagai tradisi kisahan masyarakat etnis lokal tersebut? Apakah folklor melulu hanya diperlakukan sebagai setting atau latar di mana Aku menyatakan dirinya tanpa berkorelasi dengan semua itu?

Umumnya kesadaran ihwal Aku dalam antologi ini bergerak di antara dua kemungkinan tersebut. Pada yang pertama, tafsir bekerja dengan intensitas yang diarahkan atau diinterpretasikan pada sudut tematik tertentu, seraya menegaskan sebuah sikap tafsir. Sebutlah "Pledoi Malinkundang" (Indrian Koto), "Pengakuan Suto" (AN Ismanto), beberapa sajak lainnya yang "merevitalisasi" kisahan-kisahan tradisional tersebut dengan strategi kesadaran yang berbeda.

Dalam "Pledoi Malinkundang" dan "Pengakuan Suto" kedua penyair meletakkan sudut dan fokus tematiknya dengan interpretasi dan sikap tafsir yang menyaran ke dalam konteks kekinian. Jika dalam "Pledoi Malin Kundang" Koto mengusung spirit tafsir ihwal makna kedurhakaan pada masa lalu dan pemaknaan waktu yang dimetaforakan pada sosok Ibu, maka pada "Pengakuan Suto" AN Ismanto yang merupakan tafsir atas legenda Kangjeng Ratu Kidul, gagasan yang mengemuka bertutur tentang hasrat kekuasaan dan realitas yang kaos. Sikap tafsir semacam ini juga terasa mengemuka dalam sajak "Di Hilir, Sajakku Menjelma Gadis Mimpi" (Komang Ira Puspitaningsih).

Sedangkan pada yang kedua, tafsir bekerja dengan membiarkan seluruh kisah terangkum, bahkan dalam beberapa sajak, ia nyaris menjadi naratif, tanpa sudut dan fokus yang dibidiknya. Sajak menghadirkan Aku yang nyaris hanya menjadi bagian dari narasi dan kisahan tradisi, tanpa lebih jauh menjadi Aku yang memandang dan menafsir dari konteks empiris yang berbeda.

Aku yang dirumuskan penyair dari berbagai khazanah lokal itu adalah Aku yang senantiasa memandang realitas, ketimbang Aku yang dipandang oleh realitas. Agaknya hal ini terjadi karena berbagai bentuk tradisi kisahan tersebut diperlakukan nyaris sebagai objek, benda mati yang dibedah penyair untuk mencari dan menemukan Aku. Kehadiran Aku bahkan terkesan lahir karena direbut, bukan ditemukan. (Ahda Imran)

diambil dari:
http://cabiklunik.blogspot.com/2008/05/sastra-aku-dalam-dongeng-dan-mitos.html