Kami memiliki dua blog khusus untuk buku sastra, terutama buku-buku sastra yang tak ada di toko buku:

1. http://pustakapelabuhan.blogspot.com/ -berisi info2 buku sastra yang bisa dipesan langsung ke penulisnya. Anda bisa memberikan info buku2 sastra yang sedang terbit lewat dinding Indrian Koto atau Jualan Buku Sastra.

2. http://jualbukusastra.blogspot.com/. Berisi daftar buku yang bisa dipesan kepada kami secara langsung. Anda bisa bekerjasama dengan kami dalam distribusi kecil-kecilan.

Tuesday, November 4, 2008

ibumi


Sastra: "Aku" Dalam Dongeng dan Mitos

KONON, puisi Indonesia modern meniscayakan kehadirannya sebagai pergulatan ihwal bagaimana Aku merumuskan dirinya. Di situ, puisi dipercaya sebagai Aku yang hendak mengurai dirinya, keluar menyatakan kehadirannya sebagai individu yang otonom.

Dalam pertumbuhan perpuisian Indonesia modern, pergulatan merumuskan Aku ditempuh dengan berbagai strategi kesadaran. Termasuk ketika penyair menghadapkan Aku ke dalam berbagai tradisi kisahan yang hidup dalam masyarakat primordialnya. Tak hanya folklor (legenda, cerita rakyat, dongeng, mitos), tetapi juga berbagai kisahan dalam kitab suci, kerap menjadi ruang tempat penyair melakukan epistemologi estetik dan epistemologi kesadaran untuk menghadirkan Aku.

Aku di situ adalah upaya penyair yang menafsir, mencari, dan menemukan kesadaran personalnya sebagai sebuah subjek otonom. Sejak masa Hamzah Fansuri, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Rendra, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, Saini KM, hingga beberapa generasi kepenyairan terkini, puisi Indonesia modern mencirikan salah satu kehadirannya pada pergulatan ihwal Aku yang mengambil inspirasi dari berbagai tradisi kisahan yang hidup dalam suatu masyarakat primodialnya.

Di lain sisi, menulis puisi demi menafsir sebuah tradisi kisahan yang ada di ranah folklor adalah ihwal bagaimana penyair bekerja mengolah kembali imajinasi yang telah tersedia sehingga seluruh simbolisasi dan metafora di dalamnya menghadirkan Aku yang otonom. Kerja menafsir menjadi peristiwa yang menarik dan menantang. Aku berada di antara pergulatan tarik-menarik antara ruang personal dan impersonal. Kematangan penyair dalam menafsir sebuah dongeng amat menentukan intensitas sampai sejauh mana Aku hadir dan merebut dirinya.

Kematangan seperti inilah yang dipertaruhkan oleh 19 penyair dalam 100 puisi yang termaktub dalam antologi Ibumi Kisah-kisah dari Tanah di Bawah Pelangi (I:boekoe: 2008). Antologi ini agaknya antologi tempat seluruh puisi di dalamnya ditulis mendasar pada tradisi kisahan yang ada di berbagai daerah di Indonesia, dari Aceh sampai Papua. Di situ, penyair bekerja dengan sejumlah batasan yang mesti patuh pada dongeng yang menjadi rujukannya. Setiap puisi merupakan tafsir penyair atas sebuah dongeng. Antologi ini lahir dari program penulisan "Puisi Kisah Nusantara" yang berlangsung sejak Januari 2007.

Membaca 100 dongeng yang telah menjelma menjadi puisi dalam antologi ini adalah membaca puisi itu sendiri, seraya diam-diam berupaya menatap sampai sejauh mana penyair mencari dan menemukan Aku di dalamnya. Aku yang menafsir dan memadatkan seluruh kisahan itu untuk menghadapkannya ke dalam gagasan kesadaran ihwal realitas hari ini, seraya dibayangi oleh semacam kecemasan bahwa puisi-puisi itu sesungguhnya tak bertutur apa pun selain hanya melakukan tekstualisasi seluruh keajaiban dan ketakjuban dari berbagai dongeng tersebut.

Penjelajahan

Tetapi, dengan dua puisi, "Rahim Darah" dan "Toba: Sepenggal Kesunyian" penyair Indrian Koto seolah menjanjikan bahwa antologi ini tidaklah dibayangi oleh kecemasan semacam itu. Menafsir cerita rakyat Aceh "Pocut Muhammad" dan membaurkannya dengan syair lagu yang dikutip dari album Krak yang diproduksi oleh Aceh Music, juga dialog yang dipungut dari film Tjoet Nyak Din, puisinya hadir dalam suasana heroisme yang tak terjebak menjadi perulangan-perulangan yang klise dan artifisial. Penyair ini mampu menemukan atau meletakkan sejumlah ungkapan dalam fokus yang diarahkan ke dalam realitas hari ini: waktu adalah dunia yang mengubur banyak siasat/.../dan Tuhan/untuk kebenaran siapa dia berpihak, sebenarnya?/ ("Rahim Darah"); cinta dan kesakitan mengembalikanku/kepada danau dan puncak gunung./kepada kesunyian yang paling murung ("Toba: Sepenggal Kesunyian").

Seterusnya antologi ini menghidangkan berbagai penjelajahan para penyair dalam khazanah folklor yang ada di Nusantara. Dalam penjelajahan itulah mereka sesungguhnya berada dalam relasi-relasi ketegangan dalam upaya mencari, merebut, dan menemukan Aku dalam ruang folklor yang komunal. Dongeng, legenda, dan cerita rakyat yang di sana-sini berhubungan dengan asal-muasal sebuah tempat, diperlakukan dengan berbagai kemungkinan eksplorasi tematiknya.

Satu hal yang menjadi pertanyaan adalah, sampai sejauh mana sesungguhnya penyair memasuki dan menenggelamkan dirinya ke dalam jagat pandangan dunia yang termaktub di balik berbagai tradisi kisahan masyarakat etnis lokal tersebut? Apakah folklor melulu hanya diperlakukan sebagai setting atau latar di mana Aku menyatakan dirinya tanpa berkorelasi dengan semua itu?

Umumnya kesadaran ihwal Aku dalam antologi ini bergerak di antara dua kemungkinan tersebut. Pada yang pertama, tafsir bekerja dengan intensitas yang diarahkan atau diinterpretasikan pada sudut tematik tertentu, seraya menegaskan sebuah sikap tafsir. Sebutlah "Pledoi Malinkundang" (Indrian Koto), "Pengakuan Suto" (AN Ismanto), beberapa sajak lainnya yang "merevitalisasi" kisahan-kisahan tradisional tersebut dengan strategi kesadaran yang berbeda.

Dalam "Pledoi Malinkundang" dan "Pengakuan Suto" kedua penyair meletakkan sudut dan fokus tematiknya dengan interpretasi dan sikap tafsir yang menyaran ke dalam konteks kekinian. Jika dalam "Pledoi Malin Kundang" Koto mengusung spirit tafsir ihwal makna kedurhakaan pada masa lalu dan pemaknaan waktu yang dimetaforakan pada sosok Ibu, maka pada "Pengakuan Suto" AN Ismanto yang merupakan tafsir atas legenda Kangjeng Ratu Kidul, gagasan yang mengemuka bertutur tentang hasrat kekuasaan dan realitas yang kaos. Sikap tafsir semacam ini juga terasa mengemuka dalam sajak "Di Hilir, Sajakku Menjelma Gadis Mimpi" (Komang Ira Puspitaningsih).

Sedangkan pada yang kedua, tafsir bekerja dengan membiarkan seluruh kisah terangkum, bahkan dalam beberapa sajak, ia nyaris menjadi naratif, tanpa sudut dan fokus yang dibidiknya. Sajak menghadirkan Aku yang nyaris hanya menjadi bagian dari narasi dan kisahan tradisi, tanpa lebih jauh menjadi Aku yang memandang dan menafsir dari konteks empiris yang berbeda.

Aku yang dirumuskan penyair dari berbagai khazanah lokal itu adalah Aku yang senantiasa memandang realitas, ketimbang Aku yang dipandang oleh realitas. Agaknya hal ini terjadi karena berbagai bentuk tradisi kisahan tersebut diperlakukan nyaris sebagai objek, benda mati yang dibedah penyair untuk mencari dan menemukan Aku. Kehadiran Aku bahkan terkesan lahir karena direbut, bukan ditemukan. (Ahda Imran)

diambil dari:
http://cabiklunik.blogspot.com/2008/05/sastra-aku-dalam-dongeng-dan-mitos.html

Wednesday, October 29, 2008

buku kawan

Judul: Bali Tanpa Bali

Penulis: Ibed Surgana Yuga
Penerbit: Panakom Publishing & Komunitas Kertas Budaya
Cetakan Pertama: 2008
Tebal: xvi + 164 hal.
ISBN: 978-979-1108-10-2

Saya ingin memandang Bali …. Ah, jangan-jangan ini hanya kerinduan cengeng – sekaligus menjengkelkan – bagi orang seperti saya, yang terlempar atau melemparkan diri sejenak dari wilayah geografis Bali. Saya bisa saja sok-sokan bersikap, sambil berpretensi memandang Bali dari luar Bali, padahal jangan-jangan Bali sama sekali tidak meninggalkan segores bekas tipis pun dalam diri saya. Atau bisa jadi saya cemburu karena apa-apa yang menjadi "mainstream" di Bali tak mampu saya jangkau.

"Tajén", Orang Bali, "Calonarang"
Lalu orang Bali? Hanya menikmati kekalahan di antara gemuruh arena tajén (industri pariwisata Bali). Setelah menikmati hasil penjualan manuk-manuk, yang ternyata tak seberapa, orang Bali mulai merengek-rengek pada pihak penyelenggara tajén untuk bisa masuk ke sana lagi, menjadi pedagang asongan atau sekadar tukang pasang taji bagi manuk-manuk yang akan diadu. Orang Bali hanya menjadi abdi-abdi (untuk tidak menyebut "babu") yang – dengan senjata kain pel atau sapu – memberi service terbaik untuk kesuburan ruang-ruang kapitalis di natah orang Bali sendiri. Orang Bali kemudian memberhalakan ruang-ruang tersebut – ruang-ruang yang sebelumnya pernah mengalahkan mereka.

Kisah Perlawanan (yang "Tunduk") terhadap Adat Bali
Pada beberapa sisi, hukum adat dalam konstruksi masyarakat tradisi Bali kadang sangat kejam pada krama adatnya sendiri, namun luluh ketika dihadapkan dengan dunia luar, apalagi pada modernisme yang membawa industrialisasi – dan iming-iming materialisme, tentunya – sebagai anak kandungnya. Inilah yang menjadi inti kisah ironis dari Incest. Desa adat dengan kekuatan massa serta para pemucuknya sangat patuh terhadap awig-awig adat yang berlaku, demi memproteksi berbagai sisi kehidupan serta keberlangsungan hidup yang sejahtera bagi krama adat, serta menjaga keluhuran dan keajegan adat itu sendiri. Kepatuhan tersebut termasuk pada hal-hal yang – menurut pola pemikiran "masa kini" – "tidak relevan" lagi. Tidak mengherankan jika adat sering kali terlihat begitu kejam dan "tidak relevan" ketika menjatuhkan berbagai macam sanksi terhadap para krama-nya yang dianggap melanggar atau melawan awig-awig.

"Méru" Satpam
Sejarah polemik tentang "pelecehan" terhadap simbol-simbol yang dianggap suci dalam wilayah budaya dan agama Hindu Bali telah terbentang lumayan panjang. Beberapa yang pernah saya dengar, di antaranya kasus foto bola golf di atas canangsari, album Manusia Setengah Dewa Iwan Fals, sinetron Angling Darma, film Opera Jawa Garin Nugroho, penggunaan nama dewa dalam beberapa merek kendaraan bermotor, dan sebagainya. Menanggapi polemik seperti ini, orang Bali sendiri ada yang pro dan kontra. Ada yang beranggapan bahwa "pelecehan" semacam ini perlu "diberantas" semuanya. Yang lain mengklaim wacana seperti ini terlalu "nyinyir", bahkan dianggap terlalu mengeksklusifkan budaya dan agama Hindu Bali dari pergaulan budaya dan agama lain.

Cenk Blonk sebagai Simbol
Eksplorasi yang dilakukan Cenk Blonk tentu saja memunculkan konsekuensi-konsekuensi tertentu, seperti "pengingkaran" terhadap pakem wayang kulit Bali. Dalam beberapa hal, rupanya Cenk Blonk memilih untuk mendobrak pakem-pakem tertentu guna meloloskan berbagai hasil eksplorasinya. Bagi saya, praktik "pengingkaran" pakem ini bukanlah perkara baru dalam ranah seni tradisi. Ini bahkan sering kali menjadi "keniscayaan" ketika sebuah genre seni berhadapan dengan produk-produk budaya lain yang menjadi tanda mutakhir zamannya. Di balik "pengingkaran" itu saya membaca suatu simbol bagi "pengingkaran pakem kehidupan" tradisi tertentu. Dalam tataran wacana, ini merupakan wacana bagi realita kehidupan aktual yang mesti "menengok kembali" berbagai "pakem kehidupan" yang telah mentradisi, di mana "pakem kehidupan" yang telah usang dan tidak relevan lagi bagi persaingan kehidupan kontemporer suatu zaman sudah waktunya untuk dimuseumkan atau diinterpretasi ulang. Ia hidup sebagai filter bagi pola laku dan pikir warisan tradisi, guna mengkonstruk lagi pola laku dan pikir yang up to date bagi zaman mutakhir.

Bahasa Bali yang Jauh
"Punapi gatra, Gus?" Duh! Tiba-tiba saya merasa asing dengan sapaan itu. Bukan saya tidak mengerti apa maksudnya. Tapi karena yang mengucapkannya adalah seorang teman akrab, walau telah beberapa tahun kami tidak berjumpa. Terhadap sapaan itu saya hanya menjawab, "Béh! Kéné-kéné dogén uli pidan. Sing taén berkembang." Ketika bertemu dan ia mengucapkan sapaan itu, saya merasa ada kadar yang berkurang pada keakraban persahabatan kami yang sudah bertahun-tahun berjalan. Padahal baru saja saya ingin menyambutnya dengan keakraban (baik dalam berbahasa maupun bersikap) yang biasa kami lakoni ketika sering bertemu dahulu. Percakapan demi percakapan terus berlangsung, dan ia tetap saja menggunakan basa Bali alus. Perlahan, bukan hanya kadar keakraban yang terasa memudar. Teman saya telah menjadi sosok asing di depan saya, seperti seseorang yang baru saja kenal dan entah datang dari mana.

"Nawegang antuk Linggih"
Dengan pemaknaan terhadap dua narasi sejarah yang berbeda (katakan saja demikian), keduanya memiliki dan mengamalkan pembenarannya masing-masing. Kedua narasi sejarah itu pun tak dapat dipisahkan dari eksistensi manusia Bali karena keduanya merupakan lintasan sejarah yang membangun manusia Bali sekarang, terlepas dari seberapa besar perannya masing-masing. Masalah muncul ketika ada laku "pengkultusan" terhadap salah satu sistem yang dilakoni guna meraih status tertentu dalam konstelasi kehidupan sosiokultural dan sosioreligius, yang mana status tersebut mengandung prestise tertentu pula.

Orang Jembrana
Kisah "orang-orang terbuang" dan perambahan hutan di atas menambah ketegasan bahwa karakter keras dan kuat memang dimiliki oleh orang Jembrana, yang secara kesejarahan merupakan endapan dari karakter orangorang yang dicap pembangkang, penentang, pembelot, pemberontak. Lalu ditambah lagi dengan ritual perambahan hutan dalam membuka lahan tempat tinggal dan pertanian yang harus dilakoni dengan mengalahkan keangkuhan pohon-pohon besar, menaklukkan kebuasan dan keliaran rimba, merebut Jimbarwana. Semuanya memerlukan karakter fisik dan jiwa yang keras dan bedu.

Bali Tanpa Eksotika
Namun, ketika orang luar Bali kemudian memasuki lingkungan budaya orang Bali, yang melakukan penilaian terhadap kosmologi Bali, dan mengutarakan hasil pandangan atau penilaiannya itu kepada orang dalam atau luar Bali, mulailah lahir "Bali yang eksotis". Salah satu realisasinya adalah berbagai narasi tentang Bali dalam brosur-brosur pariwisata di luar negeri serta berbagai karya etnografi. Orang Bali kemudian terpengaruh oleh penilaian ini. Dalam bahasa saya, orang Bali "disadarkan untuk menilai" laku budayanya sendiri melalui kacamata lain, bukan kacamata yang sebelumnya digunakan sebagai "orang dalam yang taat". Orang Bali "disadarkan" bahwa Bali memiliki eksotika. Di sisi lain, "kesadaran" ini digunakan oleh pihak tertentu di Bali untuk menyulut semacam sikap "kebalian" (identitas?) bagi orang Bali sendiri. Dan sebagaimana yang kita lihat sekarang, banyak orang Bali yang gegap gempita, bahkan sesumbar, dengan "kebalian"-nya.

Menengok "Paon"
Dari ketiga jenis kehilangan itu, yang paling tidak bisa "ditemukan" lagi adalah kehilangan secara kultural. Walau kemungkinannya masih bisa, namun manusia-manusianya yang telah berpikiran modern tentu akan menganggap itu sebagai suatu kemunduran peradaban, tidak efisien, dan sebagainya. Kehilangan secara kebendaan sebenarnya masih bisa "ditemukan" lagi lewat museum-museum atau kolektor barang antik atau dari tinggalan-tinggalan leluhur yang glantak-glénték tak terhiraukan. Sedangkan kehilangan secara historis masih bisa didengar lewat cerita-cerita para orang tua atau tulisan-tulisan. Hanya saja, sekali lagi, sejarah itu tidak teralami lagi. Lalu, apakah ini sebuah kesalahan? Apakah ini suatu sikap yang tidak menghargai dan melestarikan warisan nenek moyang? Saya selalu curiga terhadap klaim "tidak
menghargai" dan "tidak melestarikan" warisan nenek moyang. Jangan-jangan, anggapan ini lahir dari cara pandang yang keliru.

Kolektivitas Cap "Suryak Siu"
Di Bali saat ini, praktik suryak siu bukan hanya terjadi dalam skala kecil seperti pada kasus yang saya contohkan di awal tulisan ini. Ia tidak hanya bergerak pada lingkungan banjar saja, namun telah menjadi semacam gerakan menyeluruh masyarakat Bali. Kita lihat misalnya sekarang ini di Bali berkembang sebuah wacana tentang konsep identitas kebalian yang disebut Ajeg Bali. Ajeg Bali ini muncul dari figur yang "patut digugu dan ditiru". Entah siapa figurnya. Media massa lokal yang sekarang berkembang di Bali adalah salah satu "kulkul" yang menyuarakan wacana ini, untuk kemudian dilaksanakan oleh krama "banjar" Bali. Maka, jadilah segalanya sesuatunya seakan dilakukan demi Ajeg Bali, tanpa penelusuran lebih jauh tentang konsep macam apa sebenarnya Ajeg Bali itu. Inilah salah satu perilaku suryak siu yang sekarang tengah berkumandang di Bali. Sebagaimana perilaku suryak siu yang saya contohkan di awal tulisan ini, suryak siu krama "banjar" Bali ini pun memiliki dua posisi paradoks.

Humor di Pentas Seni Bali
Seakan ada semacam "tata hierarki peran" yang diberlakukan dalam dunia pentas ini, bahwa yang berhak berhumor-ria, ngaé bebaudan, ndagel di atas panggung hanyalah tokoh parekan, yang notabene adalah wakil dari wong cilik. Tokoh lainnya, apalagi berasal dari kelas atas, harus tampil agung, berwibawa, serem, aéng, serius. Ini barangkali lahir dari kondisi sosial, terutama dalam konstruksi masyarakat berstratifikasi, bahwa kalangan atas harus selalu tampil santun, formal, menjaga sikap, menjaga prestise sebagai kelas masyarakat terhormat, sebagaimana pengamatan Clifford Geertz dalam Negara Teater. Sedangkan rakyat kecil boleh berbuat dan ngomong seenak wudel.

Upacara, Mitos, Bali
Upacara di Bali terus berkembang hingga sampai pada satu titik di mana ia diposisikan sebagai semacam kewajiban bagi umat Hindu Bali. Agamalah yang melembagakannya sehingga posisi wajib ini tercapai. Maka jadilah semacam peraturan mutlak tentang upacara. Hari ini harus diadakan upacara ini dengan sesajen ini dan mantra ini serta dilakukan oleh ini. Hal ini bukanlah masalah ketika telah didasari oleh kesadaran yang saya uraikan di atas. Namun ketika kewajiban itu hanya dipandang sebagai kewajiban semata, tanpa dirunut kenapa ia diwajibkan, maka muncullah mitos baru tentang upacara, yang kemudian menjelma menjadi dasar pelaksanaan upacara. Landasannya di sini bukan lagi kesadaran berupacara. Segalanya berjalan sebagai suatu rutinitas kosong yang tentu saja kemudian hanya menghambur-hamburkan uang. Inilah suatu bentuk kebutaan dalam berupacara, suatu rutinitas ritual tanpa pemaknaan.

Eksotika yang Ajeg
(Jejak Kuasa dalam Politik Kebudayaan)
Wacana Sela I Ngurah Suryawan
Beragam fenomena yang terjadi di Bali pasca Bom Bali I dan II seolah menyiratkan munculnya kembali rasa sentimen kedaerahan, dan dalam hal ini ke-Bali-an berdasarkan agama Hindu. Dasar sentimen itulah yang menjadi benih dari gerakan-gerakan fundamentalis, seperti juga yang terjadi dalam agama Islam, Kristen, dan lainnya. Terorisme sebagai cermin fundamentalisme yang identik dengan Islam kini menemukan konteks dan makna baru di Bali, yaitu "teorisme budaya" dalam bentuk Ajeg Bali dan Ajeg Hindu.

"Nak Bali Apa Sing Bisa Ngigel!"
"Orang Bali ya? Coba matanya digini-giniin," pinta seseorang kepada teman saya sambil menggerak-gerakkan bola matanya, bermaksud meniru sledétan penari Bali. "Saya enggak bisa nari," kata teman saya, seorang gadis Bali yang kini kuliah di Jogja. Lalu orang itu beralih pada saya. "Coba kamu," katanya meminta saya melakukan hal yang sama. "Saya lahir di Bali, tapi enggak bisa nari Bali," jawab saya. Orang itu terdiam sejenak. Ada keheranan di raut mukanya. Barangkali dalam hati ia berkata, "Kok ada, ya, orang Bali tidak bisa menari?"

Bali dan Tubuh Perempuan
Pada masa itu, figur perempuan Bali telanjang dada adalah gambaran dari kehidupan sosial pedesaan Bali. Barangkali kita bisa membaca bahwa di balik figur perempuan telanjang dada itu tercermin kepolosan, tradisi berbau tanah, kesederhanaan (atau penyikapan secara sederhana) budaya keseharian, atau bahkan kemiskinan (ekonomi). Mereka sangat jauh dari kebaya yang pada saat itu mulai dipandang sebagai salah satu bentuk kesopanan oleh kaum menengah ke atas yang mengenyam bangku sekolah. Dada perempuan ketika itu barangkali bukan suatu daya tarik seksual bagi laki-laki. Bukankah dengan demikian orang Bali zaman dulu bahkan lebih bisa menempatkan konteks seksual dalam kehidupan sehari-hari mereka? Telanjang bulat bersama di sungai barangkali bukan suatu suasana yang dapat menarik hasrat seksual.

Hari Raya yang Hilang
Ketika mulai tinggal di Jogja, tepatnya sejak pertengahan 2003, saya tidak punya hari raya lagi. Saya selalu bilang begitu pada teman-teman saya. Pernyataan ini memang ada nada bercanda, dan awalnya saya memang bermaksud bercanda. Namun sering kali teman-teman saya menanggapinya serius. Dan lebih sering lagi, saya sendiri yang menganggapnya serius karena bagaimana pun juga apa yang saya katakan itu, yang bagi beberapa orang yang taat agama adalah tabu, memang saya alami dan rasakan.

Menghidupi Seni Bali
Tidaklah mengherankan jika kemudian lahir masyarakat pendukung pada masing-masing produk seni. Dengan kata lain, muncul praktisi seni khusus untuk pariwisata, khusus festival, khusus partai politik tertentu dan sebagainya. Semuanya akan melahirkan kehidupan seni Bali yang spesifik, "produk seni kepentingan", yang – sekali lagi – lepas dari baik dan tidaknya kualitas masing-masing. Lalu, siapakah yang punya andil besar, siapakah yang berwenang, siapakah yang berjasa, siapakah yang idealnya menghidupi seni di Bali? Ternyata bukan jubelan pertanyaan ini yang mesti dijawab; namun untuk apa sebenarnya seni Bali dihidupi sekarang?

Dusun, Daun Pisang, HP
Mobil-mobil pick up itu masuk ke jalanan dusun yang sebelumnya belum tentu dijejaki ban mobil dalam sebulan sekali. Mereka "mengekspansi" dusun. Mereka merintis pengajaran "pengantar ilmu berdagang" kepada dusun. Mereka mengajarkan bagaimana persaingan pasar, bagaimana mengemas barang dagangan sehingga punya daya tawar – walau masih dalam taraf yang begitu sederhana. Mereka memberi "penyadaran" kepada orang dusun yang "terbelakang", bahwa di sekitarnya bergelimpangan berbagai potensi ekonomi yang seakan berebut mengacungkan tangannya, minta secepatnya diubah menjadi uang. Mereka mengajar dusun untuk mengukur segala sesuatunya dengan rupiah. Mereka mengajar dusun menjadi "materialistis".

Rare Angon
Ah, itu hanya sebuah dongeng. Barangkali ia tak perlu bahasan seruwet yang saya lakukan di atas. Dongeng hanya imajinasi dari ruang "dahulu kala" yang kabur. Hanya kisah pengantar tidur yang dipuja-puja ketika kanak-kanak, perlahan dilupakan ketika remaja, kadang dikenang ketika dewasa, dan tak pernah diceritakan lagi kepada cucu ketika usia tua. Dongeng adalah masa kanak-kanak yang penuh "kebohongan". Tapi, masa kanak-kanak kita belajar dari "kebohongan" itu – walau kemudian disangkal di masa-masa selanjutnya. Konon, "kebohongan" itu penuh dengan ajaran-ajaran tentang kebajikan. Di sana, dalam dongeng itu, kanak-kanak kita menjelajahi kompleksitas kehidupan melalui "dunia lain".

Telanjang
Budaya Bali, hingga sekarang, masih menyisakan karakter telanjang, baik secara fisik maupun filosofis. Perlu cara pandang tertentu untuk meniliknya. Kemiskinan dan iklim yang sering dijadikan asalan kenapa perempuan-perempuan Bali dahulu telanjang dada dalam kesehariannya agaknya harus dipandang dengan cara yang berbeda agar tak melulu berhenti pada taraf alasan. Kemiskinan dan iklim mestinya dipandang sebagai keniscayaan alam dan sosial yang kemudian membentuk konstruksi budaya Bali. Tak perlu ada semacam permakluman dalam hal ini. Sebab kalau memposisikannya sebagai permakluman, kita tengah terjebak ke dalam pengakuan bahwa telah terjadi kesalahan dalam proses panjang pembentukan budaya Bali. Sekali lagi, mesti diakui sebagai keniscayaan. Bukankah kita tidak pernah bisa memilih siapa ibu yang melahirkan kita?

Pentas Itu Bernama "Tajén"
Dalam satu segi tajén punya persamaan dengan upacara-upacara yang dilakoni oleh orang Hindu Bali. Keduanya sama-sama merupakan "kesekejapan" yang teaterikal. "Kesekejapan" muncul ketika peristiwanya berlangsung, ketika eksekusinya. Sebagaimana menyiapkan sarana upacara, ayam jantan disiapkan dengan begitu tekun oleh bebotoh. Segalanya diperhitungkan dengan teliti: melik, kebugaran fisik, déwasa yang baik untuk mengadu, serta dengan ayam jago macam apa ia harus diadu, dan sebagainya. Pokoknya, bebotoh begitu meting-meting ayam jagonya agar bisa mapalu dengan tangkas di arena tajén. Hingga tiba saatnya ia diadu, dan hanya ada kemungkinan menang dan kalah. Setelah itu, selesai. Begitu sekejap. Peristiwanya tidak bisa diulang. Jika kalah, ia mati dan jadi bé cundang. Jika menang, ia harus dipersiapkan sedemikian rupa lagi, dengan perhitungan yang pelik, untuk menghadapi pertarungan selanjutnya. Tajén memang sebuah upacara.

Memupuk Pohon Mitos
Justru semakin banyaknya orang yang berpikiran modern dan individualis itulah yang kian menyuburkan pohon mitos. Lahirnya berbagai interpretasi dari orang-orang yang berpikiran modern merupakan satu penyebab kerindangan tersendiri karena tidak pernah ada massa yang menyatakan persetujuan secara bersama terhadap hasil interpretasi itu. Ia (interpretasi itu) hanya menemukan persetujuannya dalam pola pikir interpretatornya sendiri. Inilah ciri pemikiran modern yang individualis. Interpretasi-interpretasi itu berkumpul jadi satu – tanpa menemukan banyak pendukung, dan jarang bisa disamakan – menciptakan kerindangan yang hebat pada pohon mitos. Hal ini belum lagi ditambah oleh penalaran fundamentalis terhadap mitos serta berbagai interpretasi yang menggunakan pemikiran di luar modern.

Nyepi Kampus
Nyepi Kampus barangkali meniru penyelenggaraan acara Dharma Santi Nasional yang biasanya diselenggarakan setelah Nyepi. Beberapa kali memang Nyepi Kampus di kampus saya membawa embel-embel "Dharma Santi Kampus". Apa tujuan penyelenggaraan Dharma Santi Nasional, yang biasanya dihadiri presiden dan pejabat negara lainnya itu, saya tidak tahu persis. Namun dalam sambutannya pada Dharma Santi Nasional dalam rangka Nyepi Saka 1929, Pak Presiden SBY menyatakan, Dharma Santi Nasional sebagai wujud silaturahmi umat Hindu bertujuan untuk memuliakan mahluk hidup dan meningkatkan kesetiakawanan sosial. Rupanya, 24 jam dalam Nyepi yang sepi di luar dan riuh di dalam itu belum cukup untuk sekadar mewujudkan kesadaran untuk bersilaturahmi, bahkan antarumat Hindu sendiri, sehingga acara seremonial (!) semacam Dharma Santi Nasional perlu diadakan. Dan acara seremonial yang melibatkan pejabat biasanya jauh dari jangkauan masyarakat biasa (baca: umat).

"Gesah" PKB
Pesta Kesenian Bali (PKB) tidak habis dibicarakan. Dan sepertinya akan selalu begitu. Pembicaraan tentangnya bukan sekadar warna atau bumbu di antara setiap tahun penyelenggaraannya, di antara sekian banyak macam kesenian yang dipestakannya. Kalau mau mempertahankan eksistensi PKB, salah satunya, ya, dia harus dibicarakan. Diwacanakan. Terus-menerus. Tidak peduli wacana yang positif atau negatif, membangun atau tidak, memuja atau memaki. Yang penting wacana, kritik, gesah. Dua macam wacana yang paradoks akan sama derajatnya dalam menunjang eksistensi PKB. Layaknya selebriti layar kaca, ia akan makin tenar dan dicari karena gemilang dalam bermain sinetron maupun gemilang dalam berselingkuh. Itulah ajaibnya dunia wacana. (Tapi ingat, PKB bukanlah pemain sinetron!)

PAST
Dalam hemat saya, keberadaan PAST di Jembrana pada satu sisi memikul tanggung jawab – walau secara formal tidak ada yang memberinya tanggung jawab – bagi terciptanya kehidupan yang kondusif bagi seni kontemporer pada umumnya, sastra dan teater pada khususnya. Jembrana – yang konon – sebagai salah satu barometer kehidupan sastra dan teater kontemporer di Bali mesti dibuktikan dalam tataran praksis, bukan hanya dalam wacana. Di sisi lain, ada semacam ketakutan eksistensial yang melingkupi PAST. Ia menjelma dari (bayang-bayang) narasi kebesaran masa lalu tentang eksistensi seni kontemporer (atau sering disebut: modern) yang pernah hidup di Jembrana. Ketakutan ini bisa jadi merupakan ketakutan menjadi kecil, hilang atau gagal menyambung tali dengan sejarah masa lalu. Wacana yang mencuat tentang kebesaran masa lalu, di samping merupakan pembuktian tentang akar yang kokoh, secara ironis sebenarnya juga menjadi retorika nostalgik di tengah kondisi mutakhir yang barangkali sedang tidak kondusif, mandeg, fakum atau mati suri.

Bali Tanpa Bali
Proyektor itu memantulkan gambar idoep ke selembar kain putih sekitar 2 X 3 meter yang tertempel di tembok. Frame demi frame gambar beringsutan selama kurang-lebih lima puluh menit di sana, mendongeng tentang hamparan sosiokultural sebuah wilayah di Bali. Namun di sana hampir tidak bisa ditemukan gambaran tentang Bali sebagaimana yang ditemui di televisi atau brosur pariwisata. Hanya beberapa detik saja melintas foto penari legong, figur gadis Bali tempo dulu yang telanjang dada, serta bangunan pura. Selebihnya adalah gambaran sepasang kerbau yang lari dengan beringas dalam makepung; tangkas para penabuh jegog; kendang raksasa dalam gamelan kendang mabarung; penari pencak silat yang berkostum mirip pemain stambul; penari leko yang sekilas tampak cuma meniru kostum penari legong; para nelayan Slam di daerah pesisir Jembrana; orang mengambil wudhu dan shalat; kebaktian di gereja yang diikuti para jemaah berpakaian adat Bali; khotbah pendeta ber-basa Bali alus, dengan beberapa kali ucapan puja kepada Sang Hyang Yesus Kristus; rumah panggung Melayu-Bugis; orang-orang yang berbicara dengan "bahasa aneh" – campuran bahasa Bali, Melayu dan Jawa; anak-anak muda latihan teater kontemporer dan musik puisi; berita-berita tentang berbagai kegiatan seni kontemporer; dan sebagainya yang jauh dari gambaran (stereotip) tentang Bali.

dikutip dari:http://ibedbilabali.blogspot.com/search/label/buku

Tuesday, October 28, 2008

kalau aku menulis kayak gini ada yang berkunjung gak ya??

perkosa, enak, nikmat, jorok, porno, saru, kasar, gila,
adik, tente, ponakan, mama, papa, semua baik-baik saja, baik, sehat.
tetangga, teman, cewek, sma, lugu, gratis, banyak banget deh
gadis, janda, pembantu, tukang kebun, satpam, semua manusia lo.

2935 pengunjung hari ini.

tambah lagi nih:
enak, ooh..!!, aku jatuh. aku gak tahan, pegel nih berdiri terus. basah nik, ujan-ujanan.
liar banget nih imajinasi. masukin.. dong motornya... pelan-pelan dong jalannya...

kakak iparku orangnya baik. sepupuku banyak banget. kisah-kisah incest (inses) masa sih ada?

perawan. dijilat dong es krimnya.

bla.. bla.. bla..

susah banget sih mancing orang biar baca blog ini...

Saturday, October 4, 2008

Katalog Buku Penerbit Akar Indonesia, Frame Publishing dan Carang Book

KATALOG Buku-buku
AKAR Indonesia, Carangbook dan Frame Publishing


AKAR Indonesia

1. Nyanyian Batanghari (Novel)

Pengarang : Hary B. Kori’un
Tebal : xx + 258
Ukuran : 14 x 20 cm
ISBN : 979-99838-0-0
Cetakan : I, Agustus 2005
Harga : Rp. 35.000

Sebuah novel yang sarat dengan ekspose peristiwa nyata, dipadukan dengan keliaran imajinasi, dalam ranah sejarah kontemporer Indonesia. Bercerita tentang seorang jurnalis bernama Martinus Amin yang menjalani pahit-getir perjuangannya sebagai aktivis bawah tanah. Berbagai gejolak sosial seperti kericuhan petani di Tongar, Pasaman, pembakaran kelapa sawit di Pangkalan Kerinci sampai peristiwa Mei 1998 dialami Martinus, yang membuatnya terpisah dari orang-orang yang mencintainya: Sari, Katrin, Sari!
Sastrawan Ahmad Tohari mengomentari buku ini sebagai berikut: ”Keberanian Hary B. Kori’un mendokumentasikan gerakan mahasiswa dan dampak kerusuhan Mei 1998 dalam novel ini, patut dihargai. Ditambah peristiwa-peristiwa penting lainnya yang terjadi di tanah air, dengan dilandasi riset yang cukup lengkap, membuat novel ini menjadi penting.Sangat menarik!”


2. Di Lengkung Alis Matamu (Kumpulan Puisi)

Pengarang : Johannes Sugianto
Pengantar : Joko Pinurbo
Tebal : x + 110
Ukuran : 13 x 20 cm
ISBN : 979-99839-3-2
Cetakan : I, November 2006
Harga : Rp. 20.000

Kumpulan puisi ini dapat dikatakan khas, setidaknya dilihat dari proses kelahirannya, yakni dari dunia maya. Penyairnya memang dikenal luas sebagai salah seorang aktivis sastra cyber, khususnya dalam blog www.blue4gie.com yang dikelolanya dengan intensif. Puisi-puisinya yang renyah, enak dinikmati, namun tanpa kehilangan contens sosialnya, menjadi garansi tersendiri untuk menyelusuri ranah kreatif Johannes. Untuk semua itu, penyair Joko Pinurbo merasa perlu menulis sepucuk surat yang disertakan sebagai kata pembuka dalam buku ini. Tulis Joko,”Jo, sajak-sajakmu seperti si bijak yang sedang membawakan renungan atau piwulang...”


3. Sebatang Ceri di Serambi (Kumpulan Cerpen)

Pengarang : Fakhrunnas MA Jabbar
Pengantar : Maman S. Mahayana
Penutup : Prof. Dr. Harry Aveling
Tebal : xxii + 168
Ukuran : 13 x 20 cm
Cetakan : I, November 2005
II, Juni 2007
ISBN : 979-9983-91-6
Penghargaan : Anugerah Sagang, 2006 dan 10 besar KLA
Harga : Rp. 27.000




4. Latopajoko dan Anjing Kasmaran (Kumpulan Cerpen)

Pengarang : Badaruddin Amir
Pengantar : Joni Ariadinata
Tebal : xii + 258 halaman
Ukuran : 13 x 20 cm
Cetakan : I, Februari 2007
ISBN : 979-998-382-7
Harga : Rp. 35.000



5. Karena Saya Ingin Berlari (Kumpulan Cerpen)

Pengarang : Kadek Sonia Piscayanti
Pengantar : Putu Wijaya
Tebal : xxiv + 176 halaman
Ukuran : 13 x 19,5 cm
Cetakan : I, Maret 2007
ISBN : 979-99839-5-9
Harga : Rp. 30.000



6. Para Pecinta Selat Phillips (Kumpulan Cerpen)

Pengarang : Hasan Aspahani, Samson Rambah Pasir, Ramon Damora, dkk.
Tebal : 144 halaman
Ukuran : 13 x 19,5 cm
ISBN : 979-998390-8
Cetakan : I, Maret 2007
Harga : Rp. 22.000


7. Hujan Meminang Badai (Kumpulan Puisi)

Pengarang : Tri Astoto Kodarie
Pengantar : Maman S. Mahayana
Tebal : xxviii + 124 halaman
Ukuran : 13 x 19,5 cm
Cetakan : I, Maret 2007
ISBN : 979-9983-88-6
Harga : Rp. 20.000



8. Emas Sebesar Kuda (Kumpulan Cerpen)

Pengarang : Ode Barta Ananda
Tebal : xii + 172 halaman
Ukuran : 13 x 19,5 cm
Cetakan : I, Oktober 2007
ISBN : 979-1684-81-2
Harga : Rp. 28.000

9. Penunggang Kuda Negeri Malam (Kumpulan Puisi)

Pengarang : Ahda Imran
Kata pembuka : Miranda Risang Ayu
Kata penutup : I Bambang Sugiharto
Tebal : 148 halaman
Ukuran : 13 x 19,5 cm
ISBN : 978-979-1684-82-0
Jumlah : 700 eksmplar
Harga : Rp. 30.000

Buku kumpulan puisi tunggal perdana Ahda Imran ini berisi 70 sajak terpilih periode 1995-2008 atau sekitar 13 tahun proses kepenyairannya. Selain menyair, Ahda dikenal luas sebagai penulis tetap rubrik seni budaya (”Khazanah”) di Harian Pikiran Rakyat, Bandung. Liputannya tentang seni pertunjukan, pameran lukisan dan fenomena kebudayaan yang muncul saban pekan, meninggalkan jejak tersendiri dalam penciptaan. Ada persentuhannya yang khas dengan realitas, dan diterjemahkan kembali lewat pencandraan interpretasi dan renungan. Jadilah persoalan sosial di sekitar menyusup halus dan menghanyutkan. Ibarat penunggang kuda di negeri yang selalu malam (gelap), Ahda bersaksi sekaligus mendedahkan kesaksiannya itu kepada kita.
I Bambang Sugiharto mengakui, membaca puisi Ahda adalah membaca realita sebagai suasana, suasana kecemasan yang panjang dan mencekam: menatap wajah dengan “seekor anjing bermata satu mengintai dari bayang di genang air tenang” (puisi “Penghujung Tahun”). Dalam melukiskan kecemasan itu, puisi-puisi Ahda adalah imaji-imaji yang tepat, padat dan kuat. “Sesuatu sedang terjadi”, katanya, “Bayi-bayi lahir dengan lidah bersisik, dan ibu mereka adalah burung-burung gagak”.
Sementara Miranda Risang Ayu, seorang ibu rumah tangga di Bandung, yang didaulat memberi semacam kata pengantar menyatakan bahwa ia menemukan proses, aneka peristiwa dan kesunyian dalam buku ini. Semua itu memberi kekuatan untuk mencerna realitas di sekitarnya.
Buku ini kian menarik lantaran dihiasi drawing sejumlah pelukis tenar kota Bandung yang khusus dibuat untuk merespon puisi-puisi Ahda. Mereka adalah Tisna Sanjaya, Isa Perkasa dan Diyanto. Sementara desain cover dikerjakan oleh Sunaryo. **




Jurnal Cerpen Indonesia
ISSN: 1978-3175

10. Matinya Seorang Guru Mengaji (Jurnal Cerpen # 07/2007)

Pengarang : Dwi Cipta, Gunawan Maryanto, Raudal Tanjung Banua, Riki Dhamparan
Putra, Gde Aryantha Soethama, Katrin Bandel, dll.
Tebal : 250 halaman
Ukuran : 14 x 21 cm
Harga : Rp. 35.000


11. Membicarakan Cerpen Indonesia (Jurnal Cerpen #08, edisi khusus Kongres Cerpen)

Pengarang : Afrizal Malna, Agus R. Sarjono, Agus Noor, Ahmad Tohari, Taufik
Ikram Jamil, Ahmadun Y. Herfanda, Saut Situmorang, dll.
Tebal : xxxvii + 393
Ukuran : 14 x 21 cm
Harga : Rp. 55.000


12. Ratusan Mata di Mana-mana (Jurnal Cerpen # 09/2008)

Pengarang : Frans Nadjira, Martin Aleida, Yanusa Nugroho, Zulkarnaen Ishak,
Kiswondo, Shiho Sawai, dll.
Tebal : XVIII + 182 halaman
Ukuran : 14 x 21 cm
Jumlah : 600 eksmplar
Harga : Rp. 38.000

Jurnal Cerpen Indonesia (JCI) terbit sejak tahun 2002, bersamaan dengan berlangsungnya Kongres Cerpen Indonesia di berbagai kota di Indonesia secara rutin. JCI digawangi oleh Ahmad Tohari, Bakdi Soemanto, Maman S. Mahayana, Joni Ariadinata dan Raudal Tanjung Banua.
JCI edisi 09 boleh dikatakan edisi “ideal” sebab memuat cerita pendek dan esei relatif seimbang. Ada 7 cerpen dengan berbagai gaya dan tema. Ada yang kontemplatif, liris, dan ada pula yang berbentuk memoar. Para penulis cerpen edisi ini adalah Frans Nadjira, Martin Aleida, Mezra E. Pellondou, Gde Agung Lontar, Fahrudin Nasrulloh, Hery Sudiono, Yanusa Nugroho dan Zulkarnaen Ishak. Sementara itu, ada tiga esei yang bertolak dari akar persoalan yang relatif sama, yakni jejak konflik, seperti Harris Effendi Thahar yang menulis konflik PRRI dalam cerpen-cerpen Soewardi Idris; Kiswondo meneliti konflik 1965 dalam empat cerpen Indonesia dan Shiho Sawai yang menulis konflik pasca-kolonial dalam cerpen-cerpen perempuan buruh migran di Hongkong.**


CarangBook:


13. Sepasang Sepatu Sendiri dalam Hujan (Kumpulan Puisi)

Pengarang : Maulana Achmad, Inez Dikara, Dedy T. Riyadi
Penyunting : T.S. Pinang
Pengantar : Hasan Aspahani
Tebal : xx + 118 halaman
Ukuran : 13,5 x 20 cm
Harga : Rp. 27.000

Buku ini merupakan kumpulan puisi bertiga dari penyair aktivis bungamatahari, sebuah kelompok milis yang cukup populer di Jakarta dan dunia maya umumnya. Disunting dan diberi pengantar juga oleh dua sosok yang sudah lama malang-melintang di dunia cyber, yakni T.S. Pinang dan Hasan Aspahani.
Akmal Nasery Basral, jurnalis dan penulis, memberi komentar bahwa buku ini bukanlah sebuah karnaval kata-kata, meski digarap tiga kepala. Ketiga penyair justru berlomba memurnikan diri melalui gorong-gorong diksi, sebelum akhirnya bertemu kembali di dunia sunyi. **







Frame Publishing:

14. Rumah Hujan (Kumpulan Puisi)

Pengarang : Budy Utamy
Pengantar : Hasan Junus
Tebal : 101 halaman
Ukuran : 13 x 19,5 cm
Cetakan : I, Maret 2008
ISBN : 978-979-168491-x
Harga : Rp. 22.000

15. Loge (Novelet)

Pengarang : Mezra E. Pollandou
Tebal : 80 halaman
Ukuran : 12 x 18 cm
Cetakan : I, April 2008
ISBN : 979-168492-8
Harga : Rp. 15.000


16. Nama Saya Tawwe Kabota (Novelet)

Pengarang : Mezra E. Pollandou
Tebal : 120 halaman
Ukuran : 12 x 18 cm
Cetakan : I, Mei 2008
ISBN : 978-979-168494-4
Harga : Rp. 23.000

Nama Saya Tawwe Kabota merupakan kisah yang unik dari timur tanah air. Bersetting Tanah Sumba dengan padang-padang prairi, kuda, batu, madu dan tradisi Merapu, kisah terjalin lincah antara Kalli yang tegar dengan Bullu yang modern. Meski modern, toh Kalli memilih melakukan ritual suci, tawwe kabota, sebuah ritual tradisi Sumba untuk menyucikan aib. Persoalannya, semua itu dilakukan Bullu bukan lantaran ingin menikahi Kalli, orang yang dihamilinya, tetapi memilih menikahi gadis lain yang lugu dan sederhana, Ghole. Pada Ghole cinta sejati Bulu berlabuh, meski di sisi lain ia tak bisa lepas dari bayang-bayang Kalli. Pergulatan batin dengan segala kelok-likunya terus membayangi Bulu, sampai akhirnya ia bertemu seorang perempuan muda bernama Tawwe Kabota. Ternyata itulah anak yang dulu dikandung Kalli, dan nyaris terlupakan dalam hidup Bulu. **



17. Pesta Hujan di Mata Shinta (Kumpulan Cerpen)

Pengarang : Iqbal Baraas
Tebal : 138 halaman
Ukuran : 13 x 19,5 cm
Jumlah : 400 eksmplar
Harga : Rp. 25.000

Berisi 12 cerpen Iqbal Baraas, dari rentang waktu hampir 10 (sepuluh) tahun. Di tengah kecenderungan cerpen yang mengalun liris, Iqbal memilih ungkapan yang lugas sebagai sebuah ciri khas. Ceritanya melingkar dan tak tertebak akhirnya. Ia memasang ranjau pada setiap bagian ceritanya, dan dengan lihai membelokkannya jauh pada peristiwa lain. Berbagai tema direngkuhnya, mulai dari percintaan yang banal, romantika kehidupan wong cilik dan soal-soal personal seperti kehidupan rumah tangga. Gaya berceritanya yang mengalir, memadukan realitas dengan absurdisme, membawa kita ke wilayah ”dongeng modern” yang tanpa batas, mengingatkan pada mistisme Jawa ala Danarto dan teror menghentak ala Putu Wijaya.**

Monday, August 25, 2008

Buku dari Akar Indonesia

Dapatkan Buku-buku Akar Indonesia yang lain.

Penunggang Kuda Negeri Malam
Kumpulan Sajak
Penulis : Ahda Imran
Tebal :148 halaman
Penerbit : Akar Indonesia
Harga : 30.000

Kumpulan sajak Ahda Imran yang ditulis dalam periode tiga belas tahun, sejak 1995-2008 yang berisi tujuh puluh sajak yang dibagi dalam menjadi beberapa fragmen. Catatan pembuka ditulis oleh Miranda Risang Ayu dan diberi penutup oleh Bambang Sugiharto. Antologi puisi ini juga diwarnai sketsa oleh Tisna Sanjaya, Isa Perkasa dan Diyanto yang mencoba memfisualisasikan beberapa puisi Ahda did alam antologi ini. sebuah ilustrasi yanggg mencoba menguatkan ketegasan puisim, meski sesungguhnya mereka tetaplah membahasakan diri nya masing-masing.
Tampilan Cover yang kukup bagus dan sunyi digarap oleh Sunaryo. Dalam puisi ini bertebaran kata-kata tentang arloji, “memandang dan melupakan” kota-kota tua dan rapuh, percakapan sunyi aku-kau. Unik dan menarik, di mana sebuah kota, dalam imaji Ahda bukanlah kota yang riuh, melainkan “kota yang letih di mana orang-orangnya terlihat tua dan letihd negtan hobi meludah, menggerutu atau m,enggaruk kelamin. Sebuah ironi dan membuat kita merasa dicekam kesunyian.
__________________

Pesta Hujan di Mata Shinta
Kumpulan Cerpen

Penulis : Iqbal Baraas
Tebal :138 halaman
Penerbit : Frame Publishing
Harga : 25.000

Kumpulan cerpen dari penulis asal bayuwangi ini memiliki kekhasan dalam bercerita. Dia adalah seorang pendongeng yang nyentrik. Cerpen-cerpennya sarat dengan dialog. Ia mengatur cerita sedemikian rupa, di mana kita sebagai pembaca akan terkecoh oleh alur yang dia bikin mengambang dan unik. Tak tertebak. Dia menarik imajinasi kita pada penyelesaian, tetapi pada titik tertentu dia akan membelokkan cerita sedemikian rupa.
Buku yang menarik ditengah keriuhan nama-nama mentereng dan publisitas dan akses yang besar. seorang Iqbal berteriak dari sebuah titik tentang banyak hal; menyuarakan perlawanan. Perlawanan pada banyak hal, pada apa pun, bahkan pada perihal yang sudah wajar sekalipun. Buku ini akan menawarkan sesuatu yang lain, yang tak terduga ssebelumnya.
Percayalah.
__________________

Loge
Sebuah Novel(et)
Penulis :Mezra E. Pellondou
Tebal : 80 halaman
Penerbit : Frame Publishing

Hasrga : 15. 000


Dongeng dari Timor. Barangkali kita hanya memahami NTT, lewat catatan perjalanan dan buku-buku pariwisata. Kesenian dan ritual masyarakat setempat yang terdapat dalam bursa pariwisata. Dan kita sekedar menikmatinya sebagai bentuk eksotisme dari keberagaman budaya kita.
Tetapi segala sesuatu punya cerita. Dan Loge, dalam novel pendek ini, yang berangkat dari tradisi Pasola, sebuah pesta adat masyarakat Sumba, mengalun setajam lembing batu dan mengalun bagai mantra. Sebuah ketidakterdugaan menunggu anda dan jebakan-jebakan peristiwa membuat kita tidak akan berhenti mengikutinya sampai cerita ini berakhir.
Berangkat dari kepercayaan Perapuh, kisah cinta yang unik dan berlipat, intik keluarga dan kekuasaan, incest hingga membicarakan keperawanan dari perspektif kepercayaan. Cerita ini mengambil sudut perempuan, sebagai objek yang lebih banyak (meng)kalahkan dirinya. tetapi pada puncaknya, perempuan pun memiliki kekuatan yang lauar biasa dan mengejutkan. Dan di titik ini, saya atau pun anda akan dikejutkan oleh kejelian Mezra dalam mengatur alur, plot dan tempo ceritanya.
Sebuah permata yang berkilau dari Timur yang akhir-akhir ini tak banyak kita temukan. Inilah salah satu karya yang --meskipun pendek—mampu memikat anda untuk berdebar dan penasaran.
Lalu apakah itu Loge? Untuk menyebut apakah nama ini digunakan? Saya rasa ini pun akan mampu membuat anda terkaget-kaget. Sumpah!
______________________________
Mata Air Akan Pohon
Kumpulan Sajak
Penulis : Nur Wahida Idris
Tebal : 99 halaman
Penerbit : [SIC]
Harga : 23.000

Kumpulan ini berisi 56 sajak terpilih Nur Wahida sejak masa awal kepenulisannya hingga hari ini. selama 14 tahun periode kepenulsiannya. kita akan menemukan suara lain dari seorang perempuan yang tampak tidak cengeng dan tidak pula sok tegar dalam banyak peristiwa. Ia menggambarkan kegamangan dari sudut yang lain. Perempuan sekaligus istri. Dalam kumpulan ini ia menyuarakan banyak hal sekaligus dan tidak berlarut-larut dalam wacana keperempuanannya dan untuk tak terjebak dalam wacana di seputar itu.
Ia menulis banyak persoalan yang nyaris tak tersentuh. Tidak dalam melankoli patah hati, kekasih yang berhianat, perempuan yang tertindas dan upaya perlawanan yang berdarah-darah. “Perempuan justru lebih akrab denan pisau dan darah,” katanya. Dan itu barangkali yang membuatnya tidak lantas menjadi cengeng dan terjebak pada kesedihan-kesedihan klasik.
Ia bersuara dengan bahasanya sendiri.

Untuk pemesanan buku-buku diatas dan terbitan Akar lainnya bisa melalui kontak 08122729237

Ratusan Mata di Jurnal cerpen

Jurnal Cerpen Indonesia Edisi 09:
Gerobak yang Mengusung Beragam Makna

Judul : Jurnal Cerpen Indonesia Edisi 09 Ratusan Mata di Mana-mana
Penerbit : Akar Indonesia
Penulis : Martin Aleida
Yanusa Nugroho
Frans Nadjira
Shiho Sawai
Gde Agung Lontar
Harris Effendi Thahar
Mezra E. Pellondou
Hery Sudiono
Fahruddin Nasrullah
Zulkarnain Ishak
Kiswondo
Tebal : 182 hal +xvii
Harga : Rp 38.000

Agustus ini, Jurnal Cerpen Indonesia (JCI) terbitan Yayasan Akar Indonesia kembali terbit. Edisi yang ke sembilan ini berisi delapan cerpen dan tiga esai sastra. Dibuka dnegan cerpen Pohon kunang-konang karya Frans Nadjira seorang penyair, cerpenis dan pelukis. Martin Aleida menulis cerpen Ratusan Mata di Mana-mana yang sekaligus menjadi judul dari JCI kali ini. Martin menulis cerpennya seperti sebuah catatan harian yang mendiskripsikan perihal-perihal sederhana tentang manusia. Martion seperti mendedahkan biografinya dengan narasi yang lembut dan tokoh-tokoh nyata. Sebuah cerita yang menggambarkan ketika ia bekerja di Majalah Tempo.
Mezra E. Pellondou, menulis cerpen Praiyawang yang berseting Indonesia Timur, latar yang menjadi sentral hampir di semua karya-karyanya. Sebuah khasanah yang manis dan mungkin kurang banyak tergaraps elama ini. disusul pula oleh Gde Agung Lontar dengan cerpen Wayang Bangsawan yang mengambil tema Melayu dengan tokoh klasik, Hang Tuah.
Ada Fahrudin Nasrulloh dengan Tiga Kisah dari Giri, sebuah upaya elsploratif untuk memunculkan tokoh-tokoh yang ‘terpinggirkan’. Tentang seorang Sunan Prapen yang tidak diketahi banyak orang. Seorang tokoh yang kembali dihidupkan lewat imajinasi ataukah dia hanya hidup dalam imajinasi si pengarang, saya tak tahu. Dalam khasanah islma Jawa semacam ini Fahrudin memang memiliki referennsi yang lumayan kuat.
Ada Hery Sudiono dnegan Perkabungan Arloji-nya seorang penulis dan pelukis dari Kalimantan Selatan yang menetap di Yogyakarta. Disusul yanusa Nugroho dengan cerpennya yang luamayn pendek tetapi manis dan cukup menegangkan yang berjudul “Kupu Malam, Anjing Kuris dan Udin”, lalu ditutup oleh cerpen Zulkarnain Ishak, Derap Kaki Ribuan Kuda yang mencoba mendongengkan kita dengan fakta-fakta yang dibalus dengan kestuan bahasa yang halus.
Tiga esai berikutnya melengkapi Jurnal cerpen indonesia ini. dimulai dari Haris Efendi Thahar yang menulis tentang Jejak Sejarah PRRI dalam Antologi Cerpen Pergolakan Daerah Soewardi Idris. Disusul oleh Kiswondo Seorang Peneliti di Uiniversitas Sanata Darma dan terlibat di beberapa LSM yang menulis Sastra Bersaksi: Korban Peristiwa 1965 dalam Empat Cerpen Indonesia yang merupakan studi awalnya yang berpatokan pada 12 cerpen. Hanya saja dalam tulisan ini dia hanya mengambil titik pada empat buah cerpen. Selanjutnya ditutup oleh Shiho Sawai dalam sebuah esainya Potensi Teleopoiesisdan Marginalitas Ganda Transnasional dalam Karya Burih Migran Perempuan di Hongkong. Sebuah kajian menarik dari seorang Shiho yang melihat Buruh Migran Perempuan Hongkong (BMP-HK) sebagai sebuah komunitas sastra yang perlu diperhitungkan keberadaannya.
Demikianlah. Sebuah percampuran rasa yang manis dari ketercampuradukan gaya dan tema dalam kesastraan indonesia.
Dalam pengantar redaksinya, Raudal Tanjung Banua menuliskan bahwa edisi merupakan “keberagaman yang konkrit dari teks serta memperlihatkan fenomena di sekitar sosiologi sastra melalui tiga esai yang dimuat.” Dalam pengantarnya, Raudal menggambarkan kegamangan atas pembicaraan sastra yang lebih banyak menyentuh masalah sosial pengarangnya nitimbang perhatian pada estetika yang diusungnya.
Dan Raudal mencoba menawarkan sebuah analogi untuk membaca cerpen Indonesia yang diandaikan dalam gerak sebuah gerobak. Teori semacam apa pula itu? saya rasa anda harus membacanya sendiri dan menikmati bingkisan manis ini di ruang yang cukup pribadi. Setelahnya anda bisa menerima sekaligus menolak. Bukankah begitu hakikat keberangaman?

Untuk pemesanan Jurnal Cerpen Indonesia atau buku-buku terbitan Akar lainnya bisa melalui kontak 08122729237

Wednesday, July 16, 2008

Lagak Jakarta

Menurut saya seri Lagak Jakarta 100 Tokoh yang mewarnai Jakarta bagus juga. Menarik. Tetapi ada hal-hal yang menurut saya yang alpa. Tentang kata seratus itu. saya tidak emnemukan 100 beneran. Apakah itu hanya simbol atau cukup terwakili dari omongan-omongan yang menyebutkan propesi tertentu?
Beberapa tokoh bisa saja diganti tokoh lain yang lebih kuat. Misal penggembar pelem horor, pencari kodok, ‘pencuri celana dalam’ penggemar Rhoma, cowok yang terjebak masa lalu atau misalnya mas-mas dans ebangsanya itu bisa dipadatkan kok. Lalu memasukkan penjual rokok, pedagang kaki lima, penjual bakso, tukang sapu jalan, pengamen, sopir dan sebagainya.
Tapi itu saya lo. Lain pula Mice dan Benny bukan? (Koto)

E.S. Ito yang Penuh Rahasia


Medee: Bahkan Monas pun Punya Kejutan
Judul buku : Rahasia Meede
Misateri Harta Karun VOC
Pengarang : E. S. Ito
Penerbit : Hikmah (PT Muzan Publika)
Tebal :675 Hal.
Cetakan III April 2008
Sebuah harta karun yang luar biasa. Bayangkan, Monumen Nasional (Monas) yang gagahd an menjadi simbol jakarta itu memiliki sebuah lubang rahasia di bawahnya. Jakarta memiliki sebuah jalan bawah tanah.
Tahukah dirimu bahwa monas adalah simbol kejantanan laki-laki dan perempuan dan persis pula dengan simbol VOC, persekutuan monopoli dagang di zaman kolonial. Simbol yang dalam bintang David dalam novel Da Vinci Codenya Dan Brown. Tentu ini bukan teka teki konspiratif agama. Meskipun demikian novel ini tetap berkisah tentang teror dan pembunuhan dan konspirasi menjatuhkan negara. Gila.
Kita digiring ke tempat-tempat ‘jauh’, tanah di mana Bung Hatta pernah tinggal, baik sebagai tawanan maupun meninggal. Kita diseret ke kepulauan Mentawai dan diperlihatkan pada deskripsi Ito tentang seni merajah tubuh yang konon tertua di dunia itu. di lain waktu kita di seret jauh ke Banda, pulau beraroma Pala dan menelisik kedalaman Papua. Itu semakin mempertontonkan kepiawaiannya bercerita dnegan berlapisnya peristiwa dan rahasia. Suatu waktu kita diseret ke Salido, kampung kecil di Pesisir Selatan Sumatera Barat.
Alur berlapis, tokoh yang memerankan beberapa karakter, rumusan sejarah jauh, misteri emas dan persekutuan jahat yang menjatuhkan Voc sampai KMB yang memperkokoh kemerdekaan Indonesia. Kita diseret pada pekerjaan mata-mata, terdampar di pidie, nyasar ke Timor lalu terbang ke Belanda. Novel luar biasa untuk biodata sependek T. S. Ito.
Dia mungkin penyuka sejarah, mencintai Koentjaraningrat, pelahap peta, menjelajahi halaman literatur dan tukang catat yang hebat sekaligus penafsir ulung. Hanya saja di sana sini, ‘aku’ pengarang Ito yang meledak-ledak tak bisa dihindarkan dalam narasi. Dia tak tahan untuk tak terlibat dan mengacuhkan tokoh-tokohnya berjalan sendirian. Ito sebagai pengarang merasa perlu turun tangan. Ia serupa Kalek, sang tokohnya yang ‘pesimis’ dengan kepicikan mental pejabat dan kota, serta membenci kapitalisme yang menggebu. Darah muda dan bakat aktivis pengarangkah?
Soal lain yang agak mengganjal adalah karakter tokoh yang nyaris sama. Semua tokoh adalah satu kesatuan milik pengarang. Tak ada identitas yang khas milik si Tokoh selain Guru Uban dan Gultom Jakarta. Selebihnya tokoh-tokohnya nyaris memiliki kadar pengetahuan yang sama, memiliki reverensi dan bacaan yang sama.
Pada bagian lain, Ito menempatkan sejarah pada seting peristiwanya dalam bentuk esai tak terelakkan. Beberapa reverensi seperti dicomot, seperti tambang Emas di salido dan perjanjian Batangkapeh, perang Taeh dan peran Arung Palaka di pesisir Barat Sumatera. Reverensi yang sama bisa kita temukan dengan gamblang dalam buku Plakat Panjang (entah karangan siapa, saya lupa).
Anda mungkin di akhir kisah merasa kecele dan seketika akan bersimpati pada Kalek yang semula begitu licik dan alot. Akhir yang mengesalkan setelah perjalnan panjang, berburuhan yang jauh dan roman yang berbelit. Rahasianya sederhana, “kami adalah anak muda yang menyukai petualangan.” mengitup Lisa.
Jadi apakah anda akan menikmatinya sebagai literatutr sejarah yang sebagian masih sangat rahasia atau membacanya sebagai novel detektif? Silahkan memilih. Tentu, sebagaimana Dan Brown, kandungan sastra menjadi tenggelam dalam lumatan bahasa-bahasa dan mistikologi dunia modern.
Dan Ito tentu bukan Dan Brown dan tentu bukan seorang Pram. Pun rasanya, komentar-komentar yang rumit di sampul depan, belakang dan bagian dalam terasa menggurui dan sok pintar nitimbang narasi Ito yang berapi-api.
Adakah celah lain bagi kritikus palsu dan sok tahu itu selain memuji?
Percayalah, memang ada harta karun rahasia Meede seperti juga Ratu Adil. (Koto).

Wa Ode Hilang di Canti


Keterangan :
Judul : Cari Aku di Canti
Pengarang : Wa Ode Wulan Ratna
Penerbit : Lingkar Pena Publishing House
Tahun : 2008, Juni
Tebal : 234 hlm.
Harga : Rp. 29.500,00.-
Semangat “Urban-Lokal” ala Wa Ode Wulan Ratna
OLEH AYAT MUHAMMAD
Telah kita sadari bersama bahwa semaraknya buku-buku sastra kini diwarnai dengan warna lokal, mulai dari lokal daerah, lokal kekotaan, lokal fantasi, dan lokal-lokal lainnya. Isu dominasi sastra masyarakat urban-global telah menjamur tidak hanya di kota-kota besar semacam Jakarta, tetapi juga sampai ke daerah-daerah dan pelosok-pelosok, sejalan dengan pemberitaan dan gaya hidup yang diperlihatkan di televisi-televisi. Yang dimaksud dengan sastra ini adalah sastra yang bersifat kekotaan dan menawarkan banyak lingkup gaya hidup perkotaan dan permasalahan, terutama yang dialami oleh muda-mudinya. Sesuatu yang tidak universal dialami di daerah lain terkait dengan latar serta pengaruh budaya serta teknologi tempat tersebut. Selain itu, kita juga mengenal semangat “glokalisasi” atau lokal-global yaitu semangat sastra daerah “lokal” untuk mengglobal dengan bahasa yang global. Belakangan terdengar juga istilah sastra lokal urban dan lokal jenius, adalah sastra yang mengusung semangat lokal yang bersifat kekotaan dan membawa unsur perlawanan.
Barangkali akan sulit mendefinisikan sastra lokal. Namun yang dimaksudkan di sini adalah karya-karya yang memiliki kaitan erat dengan wilayah atau kondisi geografis tertentu, tokoh, dialog, serta budaya masyarakat tertentu yang menunjuk pada etnik atau sub-etnik yang memiliki kekhasan tersendiri. Dalam ilmu geografi, lokal sendiri mencangkup ruang yang luas, dalam arti ruang lingkup suatu daerah. Sehingga melokalkan berarti membuat sesuatu dapat diterima di suatu daerah, berbeda dengan mengglobal yang menempatkan sesuatu di seluruh titik daerah, luas wilayah, bahkan dunia.
Ranah sastra lokal, sampai kini tidak pernah bermain di dunia global. Kadang mereka lebih asyik melokalkan diri di tempat masing-masing. Kadang mereka terlihat tidak lebih menarik jika ditarik ke kota-kota. Mereka seperti tertumpu pada lokalitas sastra itu sendiri, yaitu identitas dan tempat. Namun belakangan tidak terlihat demikian, beberapa tema-tema lokal tersebut nampak lebih “eye catching” di mata globalisasi. Mungkin karena hal tersebut lebih menarik untuk diteliti sebab budaya lokal diduga telah bertolak belakang dengan zaman modern atau zaman kekinian.
“Cari Aku di Canti” adalah sebuah cerpen Wa Ode Wulan Ratna -dalam kumpulan cerpennya yang berjudul sama- yang nampaknya merupakan debut pertamanya bermain di daerah lokal. Cerpen ini bercerita tentang seorang gadis kota yang bergelut dengan keinginannya dan memupuk cintanya di alam Lampung. Sangat berbeda dengan beberapa cerpen lainnya yang juga mengusung budaya lokal. Cerpen-cerpen tersebut jauh lebih matang dan bertendens karena persoalan yang diangkat lebih problematik. Namun kesuluruhan dari kumpulan cerpen itu tak dapat dipungkiri ke-seksi-an cara penuturannya. Di tambah lagi dengan penggunaan metafora yang pas, narasi yang cantik, diksi yang eksotis, dan tema yang lebih problematik.
Beberapa cerpen yang mengambil latar kepulauan Riau adalah cerpen Bulan Gendut di Tepi Gangsal, Kering, dan Perempuan Nokturia. Ketiganya menempatkan perempuan sebagai tokoh yang diceritakan dengan narator laki-laki. Bulan Gendut di Tepi Gangsal jauh lebih simbolis, eksotis, dan romantis. Yang seterusnya cerita ini dapat dikembangkan menjadi naskah lakon apabila bertahan dengan bentuk dialog seperti itu. Di luar itu semua, cerpen ini berlatar suku pedalaman Riau, yaitu suku Talang Mamak dengan mengambil tempat sepanjang Sungai Gangsal. Permasalahan yang diangkat adalah seputar tanah adat (ulayat) yang dibakar dan persoalan perempuan yang menjadi kunci utama dalam cerita tersebut: Serunting. Tidak jauh berbeda dengan cerpen Kering dan Perempuan Nuktoria, keduanya adalah cerpen lokal yang mengangkat tema-tema lingkungan, penebangan dan kebakaran hutan, illegal loging, kabut asap, dan seputar itu yang didalamnya terselip permasalahan lain manusia, perempuan dan laki-laki, baik secara sosial maupun psikologis.
Dalam dua cerpen yang mengambil latar lebih jauh lagi yaitu dan La Runduma dan Bula Malino. Cerpen ini mengangkat persoalan adat yang menjadi banyak problem perempuan di masa kini. Latar kedua cerpen ini adalah di Buton, sebuah pulau di Sulawesi Tenggara yang memiliki sejarah kesultanan dan bercampur dengan adat istiadat setempat. Perlawanan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan di dalamnya tidaklah semata perlawanan yang keras. Dalam La Runduma, penulis seperti sengaja membiarkan para pembacanya untuk menginterpretasi cerita tersebut.
Dibalik keindahan dan kelancaran penuturannya, Wa Ode Wulan Ratna mencoba menyajikan kekayaan lokal kehadapan masyarakat yang cenderung berjalan kearah modernitas yang mengusung budaya urban yang sungguh telah sangat meminggirkan akar budaya masyarakat kita. Benturan modernitas ini terutama terlihat dari kedua cerpen tersebut di mana adat istiadat memampatkan banyak kesempatan dan pilihan pada tokoh-tokohnya, ada yang mempertahankan ada juga yang melakukan perlawanan. Suatu hal yang sangat wajar dan realistis dalam kehidupan masa kini.
Dalam hal ini sebenarnya penulis telah mengusung semangat urban-lokal, yaitu semangat kekotaan yang bersifat kelokalan, kembali ke ranah lokal. Suatu definisi yang dapat berarti penulis kota yang menulis tentang budaya lokal. Untuk Wa Ode Wulan Ratna sendiri misalnya, dapat dikatakan penulis daerah (berdarah Buton) yang tinggal di kota yang kemudian menulis hal-hal yang bersifat kedaerahan dengan sudut pandang kota. Karya-karya tersebut menjadi suatu hal yang baru, ketika orang kota dan orang daerah berbondong-bondong menulis tentang kota dengan segala modernitasnya, si penulis justru sebaliknya, tentunya dengan semangat modernitas yang sama. Dengan semangatnya itulah karya-karyanya menjadi lebih unik dan langka dalam khazanah kesusastraan kita.
Sebagai seorang penulis perempuan muda, ia memilih tempat bagi karya-karyanya untuk berbeda dengan penulis perempuan kebanyakan. Karya-karyanya mempunyai ‘wangi’ dan ‘cantik’ sendiri dan mungkin ia akan lebih cantik berada di sana bersama dengan kegelisahannya.
AYAT MUHAMMAD
Sarjana Geografi Universitas Negeri Jakarta
Bergiat di Teater Tetas dan Lembaga Kajian dan Budaya Universitas Alternatif
Pecinta sastra (-wati)

Thursday, June 5, 2008

Jantung lebah ratu, zen hae

SENGATAN LEBAH RATU: SERANGKAIAN UPAYA
Zen Hae



“Jantung lebah ratu” adalah sebuah permainan. Ia merupakan gabungan antara “jantung” (motif yang kerap muncul dalam puisi-puisi Nirwan Dewanto) dan “lebah ratu” (judul salah satu puisinya). Penggabungan ini segera menimbulkan asosiasi tertentu yang menantang sekaligus menyegarkan—jika bukan menggelapkan. Sebab jauh lebih gampang kita memahami “sayap” atau “sengat” ketimbang “jantung” seekor lebah ratu. Tiba-tiba kita ditantang untuk membayangkan seraya memikirkan sesuatu yang tidak kelihatan, mungkin ada mungkin tidak. Bagaimana rupa dan fungsinya, apa pula makna simboliknya.

Sensasi seperti ini pula yang muncul saat berhadapan dengan bentukan-bentukan Nirwan lainnya: “Pinurbo Dinar”, “Bendera Eliana”, “Puan Batu”, atau “Buku Cacing”. (Meski kita harus ingat pula judul buku cerpen Sutardji Calzoum Bachri Hujan Menulis Ayam yang merupakan gabungan dari judul cerpen “Hujan” dan “Menulis Ayam”.) Sejumlah bukti ini segera menyadarkan kita bahwa si pembikin adalah orang yang tidak kehabisan akal dalam menggunakan bahasa Indonesia. Bagaimana bentukan-bentukan baru dalam bahasa itu dimungkinkan, apakah konfrontasi anasir pembentuknya mampu menimbulkan makna baru atau nihil, apakah ia akan menyegarkan puisi atau malah melayukannya.

Sementara, Jantung Lebah Ratu (Gramedia Pustaka Utama, April 2008) menyadarkan kita betapa puisi mempunyai kemungkian yang tak terbatas. Seraya ingin melunakkan daya pukau surrealisme yang kelewat pekat dalam Buku Cacing (manuskrip puisi Nirwan yang terbit secara terbatas pada 1985) Nirwan menawarkan puisi-prosa, puisi yang menyaru esai (bandingkan dengan ficciones Borges), puisi yang menyerupai pantun dan gurindam, puisi serupa haiku, puisi selaku lirik lagu, puisi tentang puisi, hingga puisi yang menyaran pada teka-teki.

Lihatlah, dalam rupa-rupa baru itu, si juru bicara puisi (“aku lirik”) bukan lagi pusat yang hanya gemar mengumbar keharuannya pada alam raya seraya berasyik-masyuk dengan bunyi-bunyian—sebagaimana diimani kaum Romantik dan pemuja lirisisme di nusantara. Ia telah menjadi separuh aku lirik setengah juru cerita, pemantra di satu masa pengesai di lain waktu, mabuk sekaligus sadar, menyilakan pihak lain tampil atau malah melebur diri ke dalam alam benda. Maka “jadilah aku”, dari putri malu ke apel merah, dari gong hingga keledai, dari harimau sampai lonceng gereja, dari anjing kidal hingga bayonet dan kopi robusta. Sungguh, benda-benda sudah bicara sendiri tanpa diminta, tanpa makelar. Mereka telah memanusiakan diri sepenuhnya.

*

Menelaah juru bicara puisi adalah memeriksa kembali upaya pengoperasian puisi itu sendiri. Posisinya menjadi penting bukan hanya karena ialah penguasa utama arus ujaran puisi—di mana ia mendapat kebebasan penuh untuk mengeluarkan segala pikiran dan perasaannya tanpa ada yang mampu mengeremnya (secara terang-terangan maupun tersembunyi), tetapi juga karena hubungan ia dengan pendengarnya (“kau”). Bagaimana ia menyatakan dirinya, apakah ia mengizinkan lawan bicaranya itu angkat suara atau tidak sama sekali, konflik apakah yang menggulung mereka, dan seterusnya. Hingga batas tertentu, hubungan “aku” dan “kau” dalam Jantung Lebah Ratu adalah konfrontasi yang tak berkesudahan, yang naik-turun suhunya, dalam situasi yang dialogis sekalipun.

Misalnya pada puisi “Burung Hantu.” Dari penataan lariknya di mana setiap larik berada dalam apitan tanda kutip (kalimat langsung) kita tahu ini puisi yang dialogis. Si juru bicara (“bulan”) mengizinkan pendengarnya (“burung hantu”) angkat suara secara langsung. Mereka juga bertukar posisi, dari juru bicara menjadi pendengar, atau sebaliknya, sehingga berubah pula sudut pandang pengucapan puisi. Tetapi hubungan mereka adalah sebentuk pengektreman pribahasa “bagai pungguk merindukan bulan”. Dua makhluk nokturnal ini berhadap-hadapan tetapi dalam posisi yang sungguh tidak seimbang, bersoal-jawab tetapi tidak saling nyambung, sama mencari tetapi saling tidak menemukan.

Ketegangan ini baru akan selesai ketika fajar tiba. Sebab saat itulah bulan terbebas dari rasa bersalah tidak bisa mencintai burung hantu, dan burung hantu terbebas dari kesedihan tak tertebus. Karena itu, frase “zaman keemasan” di larik terakhir (“Jadi di rimbun mahoni ini zaman keemasan telah tiba?”) menjadi penting. Ia harfiah sekaligus metaforis. Munculnya matahari yang menyiramkan warna keemasan di ufuk timur pasti isyarat mulainya hari baru, tetapi bukan masa kejayaan, hanya senjakala bulan dan saat istirah burung hantu.

Tentu saja, situasi monologis puisi sudah merupakan peluang munculnya konfrontasi. Tetapi itu akan lebih tajam lagi jika juru bicara dan pasangannya itu hidup di dalam pusaran konflik. Pusaran yang akan mengembalikan lagi naluri kebinatangan keduanya dan mengizinkan terjadinya benturan. Situasi khaotis yang melejit di antara dendam dan cinta, kepatuhan dan perlawanan, penertiban dan pembebasan. Sebagaimana dialami keledai dan paduka dalam puisi “Keledai” berikut ini:

Paduka, pagi ini aku lahir kembali dengan kaki sekokoh besi berani. Jangan lagi kaupasang sayapku sebab sepanjang jalan ingin aku menginjak bebiji matamu.

Bebiji mata yang selalu membuatku berwarna darah, Paduka.

Kubawa matahari di punggungku sebab kau tinggal nun di jauh malam. Kau hampir buta, hampir semenjana. Maaf, Paduka, kau gelap sempurna, lihai memelihara ribuan buah delima yang sebentar lagi kaupecahkan,

agar aku membuat kalungmu dari bebulir airmata merah itu.


Tak jelas bagi kita apa sebab-musabab permusuhan mereka sebelumnya. Tak penting pula apakah si keledai mati oleh paduka atau pihak lain. Tiba-tiba ia lahir kembali dengan pencitraan diri yang baru. Kini ia sepenuhnya sosok Kisotis. Heroik sekaligus dungu. Tetapi sungguh ironis nasibnya, sebab konfrontasi itu hanya sebentuk permainan (catur), permainan yang telah membuat ia tersesat dan buta, yang memaksa ia untuk menamatkannya hingga binasa. Sementara Paduka tetap tak terjamah. Entah di mana.

Meski begitu, tetap tak bisa hilang kerinduan keledai pada tuannya. Di ujung pembinasaan dirinya ia membayangkan adanya semacam pertukaran peran atau penyatuan antara tunggangan dan penunggangnya—bandingkan dengan konsep “wahdatul wujud” dalam tradisi sufi—(“...sebab di jurang sana, yang terpiuh, yang tak lagi / gemuruh, siapa tahu, masih tercatat pantun abu-abu, pantun / tentang si junjungan yang menjadi hambanya sendiri...”)

Konfrontasi juga bisa terjadi antara ciptaan dan penciptanya, atau sebaliknya. Ini terjadi karena si makhluk telah mendapat otonomi penuh, sementara si pencipta mempunyai kelemahan tak termaafkan, sehingga si makhluk melawannya. Pada puisi “Torso Pualam” yang menampik menjadi “bayang-bayang” justru si pemahat, bukan pahatannya. Sebab sejak semula, posisi mereka terbalik. Si pemahat adalah “bujang” yang bisa berarti “lelaki” juga “jongos”, ia yang menghaluskan dan menyempurnakan wujud pahatannya. Tetapi pahatannya adalah sosok yang berkuasa, “Puan”, bentuk feminin untuk “Tuan.”

Puisi “Torso Pualam” dan “Lembu Jantan” juga bisa dibaca sebagai konfrontasi jantan-betina—di samping sebagai alegori penciptaan seni. Konfrontasi di dalam keduanya digerakkan oleh oleh motif erotik dan berbagai citraan yang berpusar pada persetubuhan. Jika dalam puisi pertama si betina tampil lebih pasif (sebab ia belum sepenuhnya kehilangan hakikat kepatungannya), pada puisi terakhir si betina sama aktifnya dengan si jantan. Sementara citraan tentang kejantanan bergerak dari lembu jantan ke si pacar dan si pelukis ke lembu jantan lagi dan kembali ke si pelukis: “tanduk” adalah lambang kejantanan lembu, bagi si pacar “tanduk lembu jantan” adalah penis kekasihnya, dan “zakar lembu” juga lambang kejantanan si pelukis.

Begitulah, si lembu jantan akhirnya melarikan diri ke ufuk pagi, sehingga kanvas si pelukis bukan lagi bidang datar dua dimensi tetapi alam itu sendiri. Karena si pelukis kerap mengabaikan pacarnya, maka lembu jantan yang penuh berahi merebutnya. Kini ia mampu menghancurkan keagungan si pelukis, memilih yang terbaik untuk dirinya. Ya, “aku bukan lagi miliknya, sebab aku mahir, terlalu mahir meemuja si betina di haribaanku.”

*

Lebih ke dalam lagi, konfrontasi si juru bicara dengan pendengarnya juga memberi peluang berkembangnya puisi menjadi jejaring cerita. Karena itu kasus ini lebih banyak terjadi pada puisi-puisi Nirwan yang “prosais”, yang beralaskan cerita, ketimbang dalam puisi-puisinya yang “puitis” sepenuhnya. Karena cerita menggerakkan maka ia pula yang menyediakan pelbagai unsur fiksional ke dalam wadah yang dialasinya. Kemungkinannya hanya dua: Ia menjadi jejaring cerita yang kompleks, kaya akan “bentuk” dan “jurus”, tetapi masih bisa ditelusuri. Atau ia sepenuhnya ruwet dan menyesatkan serupa labirin. Mungkin, hanya pembaca yang punya kecerdasan sepadan dengan si penyair bisa selamat dari siksaan itu.

Dengan sedikit pengecualian contoh-contoh yang telah saya kutip dia atas adalah puisi-puisi prosais yang terlihat kompleks tapi masih bisa saya menelusurinya. Citraan-citraannya kadang sangat ajaib tetapi tidak ganjil, alurnya punya banyak cabang tetapi masih bisa dilacak ujung-pangkalnya, karakternya menampilkan diri dari berbagai sisi tetapi masih bisa dikenali wujud aslinya. Seperti “Kucing Persia”, sebuah contoh yang lain lagi. Puisi ini tampak pada saya sebagai sebentuk ketergantungan antara aku dan kucing Persia-nya. Ia kucing yang telah menemani si aku dengan setia bertahun-tahun lamanya. Si aku mencoba mempelajari kucing itu dengan tekun sambil menghubungkan namanya dengan mitos dan dongeng dari Parsi. Si aku juga membuat berbagai citraan tentang kucing kesayangannya dengan khasanah dunia yang dikenalnya. Namun citraan yang sangat pribadi tetaplah cara paling ampuh untuk mengenali si kucing.

Lain halnya dengan “Anjing Kidal” atau “Bayonet”. Samar-samar saya bisa menangkap “Anjing Kidal” menggunakan dua sudut pandang orang pertama, anjing dan pemiliknya. Selanjutnya, masing-masing seraya hanyut dalam “arus kesadaran” membombardir saya dengan pelbagai cerita, segera berganti sebelum saya menuntaskan diri mencernanya, seperti racauan orang yang terserang demam. Begitu juga dengan citraan-citraannya, aduhai, langsung kelengar saya mereguknya. Samar-samar saya masih memindah “Getah” yang menggelegak tanpa inti, atau malah “Dadu” yang berpusing kehilangan arah matahari. Hingga gelap sepenuhnya.

*

Setelah sadar, ingatlah saya. Salah satu cara menelusuri puisi adalah dengan melacak motif-nya. Kata kaum cerdik pandai sastra, motif adalah unsur dasar yang bertugas mengembangkan naratif. Bentuknya bisa ide, kata, frase, tindakan, atau pernyataan karakter. Ia selalu berulang dan menyatukan karya. Motif pencerminan misalnya. (Ya, sang penyair sungguh berhutang budi pada Tuan Attar, Borges dan Cortazar.) Ia akan membuat tidak berorientasi ke luar dirinya, tetapi ke dalam dirinya sendiri. Ia meleburkan batas dan identitas, saling mengisi dan menyempurnakan, saling bertukar tempat antara pencipta dan ciptaan, pemburu dan buruan, bahkan menyatukan hamba dan paduka.

Ada sejumlah puisi dalam Jantung Lebah Ratu, lagi-lagi puisi-puisi yang prosais, yang menggarap motif pencerminan. “Harimau” merupakan model terbaik—dengan wujud yang lebih esaistis dan alegoris bisa juga disebut “Burung Merak”. Ia berupa satu bait dengan 48 larik. Judulnya dan beberapa identifikasi di dalamnya (raung, kuku, taring, memangsamu, jantan atau betina, mengerkahmu) menuntun kita untuk mengenali si juru bicara dan pendengarnya sama-sama harimau. Sebagai pemburu dan buruan mereka berbagi ruang, 28 baris pertama milik si aku, sisanya milik bayangannya (“aku”). Tetapi karena mereka sama-sama memakai sudut pandang orang pertama tunggal, keduanya adalah juru bicara sekaligus pendengar bagi yang lain.

Tentu saja, erotik juga motif yang bekerja dalam puisi ini. Larik-larik berikut ini (35—48) akan memperlihatkan bahwa pertarungan bukan lagi ajang pembinasaan tetapi proses pesetubuhan yang nikmat, penyatuan antara aku yang narsisistik dengan kembarannya—sebagaimana air dan kopi yang sungguh tak terpisahkan (puisi “Kopi”). Bahwa keduanya adalah satu—sebagaimana Attar mengisahkan 30 burung (si-murgh) adalah Simurgh itu sendiri:

Ketika darah menetes ke tubuhku

Kurasa aku telah melukaimu, mengerkahmu.

Dan pada sebentang cermin

tak dapat kulihat lagi wajahku

sebab birahiku telah sempurna.

Lalu dengarlah langkahku menjauh

ringan seperti detik jam.

Lalu dengarlah topan malam

ketika aku mengintai dari sudut terjauh

ketika kau mengasah kuku

ketika kauperawankan tubuhmu

ketika bundaku menjadi bundamu

ketika kau mencuri terang dari kulitku

ketika aku mencuri gelap dari kitab-kitabmu

Motif penyamaran adalah sejenis permainan metafora juga, dengan kadar yang lebih longgar dan penekanan pada intensi pelakunya. Dengan penyamaran kita berhadapan dengan goyahnya identitas, sebuah aksi pengecohan. Sesuatu bisa ini bisa juga itu. Pembaca mendapat dua atau lebih penampakan sekaligus yang sama meyakinkan sama membingunkan. Puisi “Blues” memberikan kita teka-teki, yang mana mawar sejati. Akukah? Atau halilintar? Keduanya sama menyamar sebagai mawar, sama berdurinya, sama melukainya. Tapi aku memenangkan persaingan itu mesti akhirnya kalah juga “Tapi aku / segera terbangun, menguncup, dan menusuk bola matamu, sebelum / akhirnya terkubur di antara saputanganmu dan matahari.” (Contoh terbaik lainnya untuk motif ini adalah puisi “Menuju Vignole” yang tidak diikutkan Nirwan dalam himpunan ini.)

*

Sementara dalam puisi-puisi Nirwan yang “puitis” saya seperti diajak pulang ke kampung halaman. Tentu saja ini kampung halaman yang mentereng karena telah menyerap pelbagai khasanah dunia, baik sastra maupun seni lainnya. Alusi adalah sebentuk bahasa kiasan yang memungkinkan terjadinya penyerapan itu. Namun, alusi yang sungguh berhasil adalah alusi yang memungkinkan puisi itu hadir sebagai subversi atau tandingan atau memperkaya karya yang menjadi sumber alusi. Ia mendorong penyair sebagai pembaca untuk melakukan “penciptaan kedua”. Jadi bukan sekadar gaya-gayaan dengan mengutip nama atau karya sastrawan tertentu.

Inilah yang terjadi pada “Dua Belas Kilas Musim Gugur” yang membayang-bayangi haiku atau “Tiga Biola Juan Gris” yang menafsir lukisan Juan Gris. Juga, puisi-puisi yang mengutip nama-nama penyair dan seniman lain sebagai sumber rujukan, tetapi tak perlulah saya komentari lagi.

Sementara puisi-puisi Nirwan yang menyerap khasanah nusantara (seperti pantun dan gurindam) hadir kepada saya sebagai percobaan yang terseok-seok. Para pendahulunya justru jauh lebih rileks dan tanpa pretensi. Tentu saja, “Gandrung Campuhan” atau “Kancing Gaya Lama” tidak bisa selancar dan selicin “Sajak Gadis Itali” atau “Si Anak Hilang” Sitor Situmorang. Nirwan memang tidak lagi memakai sampiran dan isi sebagai model, tetapi kita mendapatkan permainan bunyi dengan ketukan yang lebih ketat ketimbang sajak-sajak serupa kita hari ini. Ya begitulah nasib puisi modern, sajak bebas, yang mencoba tetap waras di bawah sihir puisi lama.

Jika, menyaru sebagai puisi lama membuat puisi-puisi Nirwan tampak pretensius dan tidak rileks lagi, maka puisi yang membebaskan diri dari model kuna itu justru bisa tampil lebih wajar. Apalagi pada sajak-sajak yang memaksimalkan personifikasi, yang membubuhkan nalar, rasa, dan keperibadian sebagaimana dimiliki manusia. Pada “Gerabah” atau “Kopi” misalnya Nirwan mampu menghadirkan cakrawala yang lebih luas lagi tentang dunia benda-benda—sebagaimana Vasco Popa memanusiakan dan meluaskan cakrawala sebuah kotak kecil dalam puisi “The Small Box”.

Saya kira, kita membutuhkan sikap rileks dalam arti yang seluas-luasnya, Bung. ***


Zen Hae, menulis puisi, cerita (pendek dan panjang), sesekali tinjauan sastra.

Monday, June 2, 2008

Hasan Membaca Nirwan

Tiga Belas Cara Saya Membaca Sajak Nirwan (1)
Oleh Hasan Aspahani

SAYA sedang membaca buku Nirwan Dewanto Jantung Lebah Ratu (Gramedia, 2008). Berikut ini hasil bacaan saya yang tentu saja personal sekali. Saya tak tahu apakah ini sejenis kritik atau bukan. Saya membaca dengan bekal teori sastra yang nyaris nol. Memang, saya membaca beberapa buku teori puisi, tapi di kepala saya, teori-teori itu tidak tersusun sistematis. Ibarat tukang, kotak perkakas kritik saya berantakan dan tidak saya urus dengan baik. Gergaji saya tumpul, palu saya ringan, pahat saya tipis dan sering bengkok kalau saya terlalu keras menggebuk kepalanya. Demikianlah. Saya ingin tulisan ini sampai tiga belas bagian. Kenapa tiga belas? Ah, Anda pasti tahu, atau nantilah di akhir tulisan saya beri tahu.
1. Adakah ketegangan dalam diri seorang yang dikenal sebagai kritikus (penilai puisi) dan sekaligus sebagai penyair (penghasil puisi)?
Saya melihat ketegangan itu ada pada Nirwan Dewanto. Peran ganda itu bukan sebuah kesalahan. Banyak yang melakoni keduanya sekaligus dengan sangat baik.
Kita mengenal T.S. Eliot, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Subagio Sastrowardoyo, Arief B Prasetyo, dan juga Nirwan Dewanto. Kita bisa menilai nama-nama penyair itu berat ke mana: lebih kuat sebagai penyairkah, atau sebagai kritikus, atau pada kedua peran itu dia sama kuat. Nirwan lebih dahulu saya kenal sebagai kritikus yang hebat, jeli dan kritiknya penting. Lewat dia saya dapat ide tentang pembacaan-jauh-pembacaan-dekat, bersikap kritis terhadap sejarah sastra, dan tertantang menjajal stamina menyajak dengan sajak-sajak panjang.
Saya nyaman saja menerima Nirwan sebagai kritikus dan menyimak kritik-kritiknya. Bertahun-tahun mengenalnya sebagai kritikus, saya belum juga bertemu Nirwan yang penyair. Saya belum pernah membaca sajak-sajaknya, sampai kemudian - bagi saya seperti tiba-tiba - sajaknya muncul di Kompas, 2005.
Pertemuan pertama saya dengan sajaknya tidak semengesankan seperti pertemuan pertama saya dengan sajak-sajak Joko Pinurbo saat saya membeli buku Celana, pada tahun 2000 di Pekanbaru, atau jauh sebelumnya ketika saya pertama kali bertemu sajak-sajak Sapardi Djoko Damono DukaMu Abadi pada tahun 1988 di Balikpapan.
Kenapa tidak mengesankan saya? Pasti karena saya sudah terlebih dahulu mengenal dia sebagai kritikus yang tajam. Saya misalnya mencatat dan mengingat pada suatu akhir tahun dia membuat peta perpuisian Indonesia. Ujarnya, penyair Indonesia dalam kurun waktu itu amat bergantung pada Sapardi, bahkan pada terjemahan-terjemahan Sapardi. Dengan ulasan yang meyakinkan dia bilagn, penyair-penyair pada tahun itu, hanya menyederhanakan gaya ucap Sapardi atau sebaliknya merumit-rumitkannya.
Nirwan juga pernah menulis tentang hakikat melihat dan menilai sajak lewat kompleksitasnya (bukan kerumitan) dan sekaligus keutuhannya. Belakangan saya menebak itu adalah ukuran yang dipakai oleh aliran Kritik Baru.
Dia juga yang pada suatu waktu di akhir tahun menulis tidak ada yang permai dalam pemandangan sepanjang perjalanan sastra Indonesia di tahun itu. Dia bilang memilih menempuh jalan yang tidak nyaman, jalan yang berduri. Orang yang ia sanjung di tahun lalu, bisa ia mentahkan di tahun berikutnya. Kritik-kritik Nirwan saya kira memang ia tulis karena diminta oleh media utama di negeri ini. Artinya, apa yang dia laporkan memang dipercaya oleh pengelola media utama itu dan dianggap layak dijadikan acuan untuk perjalan sastra tahun berikutnya.
Ada kesan di mata saya, eh ternyata orang yang hebat sebagai kritikus itu sajak-sajaknya ternyata "begitu-begitu saja". Maksud "begitu-begitu saja" tentu tidak dibandingkan dengan penyair lain yang aktif menulis saat ini apalagi dengan sajak-sajak saya. Saya membandingkannya dengan harapan saya atas sajak-sajaknya yang kadung terlampau tinggi saya letakkan. Singkat kata di mata saya Nirwan kritikus jauh lebih kuat daripada Nirwan penyair.
2. Meraba-raba Kredo: Semu
ADA penyair yang menulis dengan tegas kredo kepenyairannya, Sutardji misalnya. Ada yang menuliskan alasan-alasan kenapa dia tergerak menulis sajak, Subagio misalnya. Demikian, kita juga bisa mendapatkan bantuan untuk memahami persajakan dan kepenyairan Goenawan lewat "Potret Penyair Sebagai Malin Kundang", Sapardi lewat "Permainan Makna", Rendra lewat "Proses Kreatif Saya Sebagai Penyair". Joko Pinurbo menunjuk beberapa sajaknya, dan secara khusus bait-bait tertentu dalam sajaknya, sebagai pegangan ia menyajak.
Tidak ada keharusan seorang penyair menuliskan kredo bila yang dimaksud itu menjadi semacam rumus umum sajak-sajak di penyair. Saya percaya kredo atau apapun namanya hanyalah salah satu pintu masuk bagi pembaca untuk menjelajahi sajak-sajak penyairnya.

Tentu tidak bisa kita menganggap atau berharap bahwa kritik-kritik Nirwan atas sajak-sajak Indonesia sebagai tujuan atau panduan dasar bagi sajak-sajak yang ia tulis. Tetapi rasanya juga tidak salah kalau kita berpendapat, bahwa jika Nirwan tahu dengan pasti apa-apa saja cacat dan kurangnya sajak-sajak para penyair Indonesia, maka dia tentu tidak ingin mengulangi, apalagi memperparah cacat dan kekurangan itu.
Saya menemukan sebuah sajak Nirwan di buku Jantung Lebah Ratu, dan tertarik untuk menganggapnya sebagai sebuah kredo bagi sajak-sajaknya, sikap menyairnya, dan yang paling menarik ada semacam tantangannya terhadap pembaca sajak-sajaknya. Sajak bertahun 2005 itu, berjudul "Semu", halaman 20, bahkan dimulai dengan kata "Puisiku..." di larik pertama, bait pertama.
Puisiku hijau / seperti kulit limau. / Kupaslah, kupaslah / dengan tangan yang lelah / temukan daging kata / bulat sempurna / merah jingga / terpiuh oleh laparmu. / Junjunnglah urat kata dengan lidahmu / sampai menetes darah kata / manis atau masam / atau dendam yang lama terpendam / melukaimu ingin / kecuali jika / lidahmu hampa seperti angin /
Nirwan yakin, atau demikianlah dia meniatkan, bahwa puisinya hijau. Kenapa hijau? Tidak merah? Tidak putih? Atau hitam? Seperti kulit limau. Limau memang hijau. Lalu kenapa tidak merah seperti kulit apel atau tomat? Kenapa tidak kuning seperti kulit jeruk? Kenapa tidak coklat gelap bersisik seperti kulit salak? Mau tidak mau, saya membaca hijau itu sebagai lambang dari kemudaan, kebaruan, kesegaran, dan amat benar rasanya kalau seorang penyair bertekad menawarkan kebaruan, kesegaran pengucapan dalam sajak-sajaknya. Jika tidak, maka buat apa menulis sajak, bukankah hanya akan menambah cacat dan memperparah kekurangan sajak-sajak Indonesia saja.
Nirwan ingin atau percaya sajak-sajaknya seperti limau yang ketika diiris atau dikupas sudah menerbitkan air liur si pengiris atau si pengupas. Dan Nirwan menantang pembaca sajak-sajaknya untuk mengupas sajak-sajaknya, menemukan daging kata (dia yakin sajak-sajaknya berdaging), daging kata yang bulat sempurna (dia yakin sajak-sajaknya utuh), yang berwarna merah jingga (dia yakin isi sajaknya mengejutkan pembacanya, karena berkulit hijau berisi merah jingga). Tetapi, dia seakan tahu bahwa para pembaca sajaknya adalah orang-orang lapar memburu kebermaknaan dalam sajak-sajak tetapi yang bertangan lelah. Tenaganya tidak penuh. Kemampuan membacanya tidak seperti yang dia harapkan. Nirwan tidak suka pembaca yang lapar tapi lelah itu karena rasa lapar itu memiuhkan atau memuntal atau memilin daging kata sajaknya, akibatnya daging katanya yang bulat sempurna itu tak lagi bulat dan tak lagi sempurna. Nirwan pesimis dengan pembaca sajak-sajaknya.
Tujuh baris sajak "Semu" tadi senada dengan baris-baris berikutnya hingga baris terakhir, baris ke-39. Nirwan bilang, "Puisiku putih kabur seperti cangkang telur." Ia menantang pembaca untuk memecahkannya, dan ia janjikan ada cairan kata yang meradang di dalam telur sajaknya itu, kata yang bening sempurna, tetapi tidak berinti. Aha, ini kuncinya. Tidak berinti. Lalu? Nirwan ingin cairan katanya itu mengalir ke seluruh bumi. Tetapi, lagi-lagi dia tidak memandang cemas pada pembaca sajaknya karena mereka mencari jantung kata, "kuning yang kau anggap milikmu."
Dan Nirwan apakah ia ingin lari dari tanggung-jawab setelah menawarkan hijau kulit limau dan putih kabur kulit telur? Sebab dia bilang, "Maafkan aku, tak bisa kuceritakan diriku: dengarlah, cangkang telur atau kulit limau hanyalah samaranku."
Jadi, kita tidak bisa berharap menemukan Nirwan dari sajak-sajaknya yang ia tulis. Bahkan puisi-puisinya yang tadi ia serahkan sebagai tantangan kepada pembaca agar dikupas dan dipecahkan untuk menemukan daging dan cairan kata ternyata diakuinya kemudian hanya sebagai samaran. Sebagai persemuan.
Dan dia kemudian dengan tegas mengaku sebagai "...sayap kata yang terbang sendiri, berahi sendiri, hingga hancur aku kau tak bisa menjangkauku, jika pun kau seluas langit lazuardi".

Lihat, betapa Nirwan memang sangat tidak percaya pada pembaca-pembaca sajaknya. Nirwan amat pesimis dengan kemampuan membaca para pembaca sajaknya, jika para pembaca itu, katanya, masih juga "separuh-membaca, separuh-buta". Kata sesungguh kata, tulisnya, tiba bisa mengena. Apakah Nirwan ingin bilang hanya dia pembaca sajak yang tidak buta dan bis membaca sepenuhnya, dan bisa menyampaikan bacaannya pada kata sesungguh kata? Apakah ini peringatan bagi pembaca sajaknya agar lebih cermat membaca? Atau semacam tameng besar untuk sejak awal menahan serangan pada sajak-sajaknya? bersambung)
 
Diunduh dari milis apresiasi sastra
untuk melanjutkan ceritanya, silahkan langsung ke sejuta-puisi.blogspot.com