Kami memiliki dua blog khusus untuk buku sastra, terutama buku-buku sastra yang tak ada di toko buku:

1. http://pustakapelabuhan.blogspot.com/ -berisi info2 buku sastra yang bisa dipesan langsung ke penulisnya. Anda bisa memberikan info buku2 sastra yang sedang terbit lewat dinding Indrian Koto atau Jualan Buku Sastra.

2. http://jualbukusastra.blogspot.com/. Berisi daftar buku yang bisa dipesan kepada kami secara langsung. Anda bisa bekerjasama dengan kami dalam distribusi kecil-kecilan.

Thursday, June 5, 2008

Jantung lebah ratu, zen hae

SENGATAN LEBAH RATU: SERANGKAIAN UPAYA
Zen Hae



“Jantung lebah ratu” adalah sebuah permainan. Ia merupakan gabungan antara “jantung” (motif yang kerap muncul dalam puisi-puisi Nirwan Dewanto) dan “lebah ratu” (judul salah satu puisinya). Penggabungan ini segera menimbulkan asosiasi tertentu yang menantang sekaligus menyegarkan—jika bukan menggelapkan. Sebab jauh lebih gampang kita memahami “sayap” atau “sengat” ketimbang “jantung” seekor lebah ratu. Tiba-tiba kita ditantang untuk membayangkan seraya memikirkan sesuatu yang tidak kelihatan, mungkin ada mungkin tidak. Bagaimana rupa dan fungsinya, apa pula makna simboliknya.

Sensasi seperti ini pula yang muncul saat berhadapan dengan bentukan-bentukan Nirwan lainnya: “Pinurbo Dinar”, “Bendera Eliana”, “Puan Batu”, atau “Buku Cacing”. (Meski kita harus ingat pula judul buku cerpen Sutardji Calzoum Bachri Hujan Menulis Ayam yang merupakan gabungan dari judul cerpen “Hujan” dan “Menulis Ayam”.) Sejumlah bukti ini segera menyadarkan kita bahwa si pembikin adalah orang yang tidak kehabisan akal dalam menggunakan bahasa Indonesia. Bagaimana bentukan-bentukan baru dalam bahasa itu dimungkinkan, apakah konfrontasi anasir pembentuknya mampu menimbulkan makna baru atau nihil, apakah ia akan menyegarkan puisi atau malah melayukannya.

Sementara, Jantung Lebah Ratu (Gramedia Pustaka Utama, April 2008) menyadarkan kita betapa puisi mempunyai kemungkian yang tak terbatas. Seraya ingin melunakkan daya pukau surrealisme yang kelewat pekat dalam Buku Cacing (manuskrip puisi Nirwan yang terbit secara terbatas pada 1985) Nirwan menawarkan puisi-prosa, puisi yang menyaru esai (bandingkan dengan ficciones Borges), puisi yang menyerupai pantun dan gurindam, puisi serupa haiku, puisi selaku lirik lagu, puisi tentang puisi, hingga puisi yang menyaran pada teka-teki.

Lihatlah, dalam rupa-rupa baru itu, si juru bicara puisi (“aku lirik”) bukan lagi pusat yang hanya gemar mengumbar keharuannya pada alam raya seraya berasyik-masyuk dengan bunyi-bunyian—sebagaimana diimani kaum Romantik dan pemuja lirisisme di nusantara. Ia telah menjadi separuh aku lirik setengah juru cerita, pemantra di satu masa pengesai di lain waktu, mabuk sekaligus sadar, menyilakan pihak lain tampil atau malah melebur diri ke dalam alam benda. Maka “jadilah aku”, dari putri malu ke apel merah, dari gong hingga keledai, dari harimau sampai lonceng gereja, dari anjing kidal hingga bayonet dan kopi robusta. Sungguh, benda-benda sudah bicara sendiri tanpa diminta, tanpa makelar. Mereka telah memanusiakan diri sepenuhnya.

*

Menelaah juru bicara puisi adalah memeriksa kembali upaya pengoperasian puisi itu sendiri. Posisinya menjadi penting bukan hanya karena ialah penguasa utama arus ujaran puisi—di mana ia mendapat kebebasan penuh untuk mengeluarkan segala pikiran dan perasaannya tanpa ada yang mampu mengeremnya (secara terang-terangan maupun tersembunyi), tetapi juga karena hubungan ia dengan pendengarnya (“kau”). Bagaimana ia menyatakan dirinya, apakah ia mengizinkan lawan bicaranya itu angkat suara atau tidak sama sekali, konflik apakah yang menggulung mereka, dan seterusnya. Hingga batas tertentu, hubungan “aku” dan “kau” dalam Jantung Lebah Ratu adalah konfrontasi yang tak berkesudahan, yang naik-turun suhunya, dalam situasi yang dialogis sekalipun.

Misalnya pada puisi “Burung Hantu.” Dari penataan lariknya di mana setiap larik berada dalam apitan tanda kutip (kalimat langsung) kita tahu ini puisi yang dialogis. Si juru bicara (“bulan”) mengizinkan pendengarnya (“burung hantu”) angkat suara secara langsung. Mereka juga bertukar posisi, dari juru bicara menjadi pendengar, atau sebaliknya, sehingga berubah pula sudut pandang pengucapan puisi. Tetapi hubungan mereka adalah sebentuk pengektreman pribahasa “bagai pungguk merindukan bulan”. Dua makhluk nokturnal ini berhadap-hadapan tetapi dalam posisi yang sungguh tidak seimbang, bersoal-jawab tetapi tidak saling nyambung, sama mencari tetapi saling tidak menemukan.

Ketegangan ini baru akan selesai ketika fajar tiba. Sebab saat itulah bulan terbebas dari rasa bersalah tidak bisa mencintai burung hantu, dan burung hantu terbebas dari kesedihan tak tertebus. Karena itu, frase “zaman keemasan” di larik terakhir (“Jadi di rimbun mahoni ini zaman keemasan telah tiba?”) menjadi penting. Ia harfiah sekaligus metaforis. Munculnya matahari yang menyiramkan warna keemasan di ufuk timur pasti isyarat mulainya hari baru, tetapi bukan masa kejayaan, hanya senjakala bulan dan saat istirah burung hantu.

Tentu saja, situasi monologis puisi sudah merupakan peluang munculnya konfrontasi. Tetapi itu akan lebih tajam lagi jika juru bicara dan pasangannya itu hidup di dalam pusaran konflik. Pusaran yang akan mengembalikan lagi naluri kebinatangan keduanya dan mengizinkan terjadinya benturan. Situasi khaotis yang melejit di antara dendam dan cinta, kepatuhan dan perlawanan, penertiban dan pembebasan. Sebagaimana dialami keledai dan paduka dalam puisi “Keledai” berikut ini:

Paduka, pagi ini aku lahir kembali dengan kaki sekokoh besi berani. Jangan lagi kaupasang sayapku sebab sepanjang jalan ingin aku menginjak bebiji matamu.

Bebiji mata yang selalu membuatku berwarna darah, Paduka.

Kubawa matahari di punggungku sebab kau tinggal nun di jauh malam. Kau hampir buta, hampir semenjana. Maaf, Paduka, kau gelap sempurna, lihai memelihara ribuan buah delima yang sebentar lagi kaupecahkan,

agar aku membuat kalungmu dari bebulir airmata merah itu.


Tak jelas bagi kita apa sebab-musabab permusuhan mereka sebelumnya. Tak penting pula apakah si keledai mati oleh paduka atau pihak lain. Tiba-tiba ia lahir kembali dengan pencitraan diri yang baru. Kini ia sepenuhnya sosok Kisotis. Heroik sekaligus dungu. Tetapi sungguh ironis nasibnya, sebab konfrontasi itu hanya sebentuk permainan (catur), permainan yang telah membuat ia tersesat dan buta, yang memaksa ia untuk menamatkannya hingga binasa. Sementara Paduka tetap tak terjamah. Entah di mana.

Meski begitu, tetap tak bisa hilang kerinduan keledai pada tuannya. Di ujung pembinasaan dirinya ia membayangkan adanya semacam pertukaran peran atau penyatuan antara tunggangan dan penunggangnya—bandingkan dengan konsep “wahdatul wujud” dalam tradisi sufi—(“...sebab di jurang sana, yang terpiuh, yang tak lagi / gemuruh, siapa tahu, masih tercatat pantun abu-abu, pantun / tentang si junjungan yang menjadi hambanya sendiri...”)

Konfrontasi juga bisa terjadi antara ciptaan dan penciptanya, atau sebaliknya. Ini terjadi karena si makhluk telah mendapat otonomi penuh, sementara si pencipta mempunyai kelemahan tak termaafkan, sehingga si makhluk melawannya. Pada puisi “Torso Pualam” yang menampik menjadi “bayang-bayang” justru si pemahat, bukan pahatannya. Sebab sejak semula, posisi mereka terbalik. Si pemahat adalah “bujang” yang bisa berarti “lelaki” juga “jongos”, ia yang menghaluskan dan menyempurnakan wujud pahatannya. Tetapi pahatannya adalah sosok yang berkuasa, “Puan”, bentuk feminin untuk “Tuan.”

Puisi “Torso Pualam” dan “Lembu Jantan” juga bisa dibaca sebagai konfrontasi jantan-betina—di samping sebagai alegori penciptaan seni. Konfrontasi di dalam keduanya digerakkan oleh oleh motif erotik dan berbagai citraan yang berpusar pada persetubuhan. Jika dalam puisi pertama si betina tampil lebih pasif (sebab ia belum sepenuhnya kehilangan hakikat kepatungannya), pada puisi terakhir si betina sama aktifnya dengan si jantan. Sementara citraan tentang kejantanan bergerak dari lembu jantan ke si pacar dan si pelukis ke lembu jantan lagi dan kembali ke si pelukis: “tanduk” adalah lambang kejantanan lembu, bagi si pacar “tanduk lembu jantan” adalah penis kekasihnya, dan “zakar lembu” juga lambang kejantanan si pelukis.

Begitulah, si lembu jantan akhirnya melarikan diri ke ufuk pagi, sehingga kanvas si pelukis bukan lagi bidang datar dua dimensi tetapi alam itu sendiri. Karena si pelukis kerap mengabaikan pacarnya, maka lembu jantan yang penuh berahi merebutnya. Kini ia mampu menghancurkan keagungan si pelukis, memilih yang terbaik untuk dirinya. Ya, “aku bukan lagi miliknya, sebab aku mahir, terlalu mahir meemuja si betina di haribaanku.”

*

Lebih ke dalam lagi, konfrontasi si juru bicara dengan pendengarnya juga memberi peluang berkembangnya puisi menjadi jejaring cerita. Karena itu kasus ini lebih banyak terjadi pada puisi-puisi Nirwan yang “prosais”, yang beralaskan cerita, ketimbang dalam puisi-puisinya yang “puitis” sepenuhnya. Karena cerita menggerakkan maka ia pula yang menyediakan pelbagai unsur fiksional ke dalam wadah yang dialasinya. Kemungkinannya hanya dua: Ia menjadi jejaring cerita yang kompleks, kaya akan “bentuk” dan “jurus”, tetapi masih bisa ditelusuri. Atau ia sepenuhnya ruwet dan menyesatkan serupa labirin. Mungkin, hanya pembaca yang punya kecerdasan sepadan dengan si penyair bisa selamat dari siksaan itu.

Dengan sedikit pengecualian contoh-contoh yang telah saya kutip dia atas adalah puisi-puisi prosais yang terlihat kompleks tapi masih bisa saya menelusurinya. Citraan-citraannya kadang sangat ajaib tetapi tidak ganjil, alurnya punya banyak cabang tetapi masih bisa dilacak ujung-pangkalnya, karakternya menampilkan diri dari berbagai sisi tetapi masih bisa dikenali wujud aslinya. Seperti “Kucing Persia”, sebuah contoh yang lain lagi. Puisi ini tampak pada saya sebagai sebentuk ketergantungan antara aku dan kucing Persia-nya. Ia kucing yang telah menemani si aku dengan setia bertahun-tahun lamanya. Si aku mencoba mempelajari kucing itu dengan tekun sambil menghubungkan namanya dengan mitos dan dongeng dari Parsi. Si aku juga membuat berbagai citraan tentang kucing kesayangannya dengan khasanah dunia yang dikenalnya. Namun citraan yang sangat pribadi tetaplah cara paling ampuh untuk mengenali si kucing.

Lain halnya dengan “Anjing Kidal” atau “Bayonet”. Samar-samar saya bisa menangkap “Anjing Kidal” menggunakan dua sudut pandang orang pertama, anjing dan pemiliknya. Selanjutnya, masing-masing seraya hanyut dalam “arus kesadaran” membombardir saya dengan pelbagai cerita, segera berganti sebelum saya menuntaskan diri mencernanya, seperti racauan orang yang terserang demam. Begitu juga dengan citraan-citraannya, aduhai, langsung kelengar saya mereguknya. Samar-samar saya masih memindah “Getah” yang menggelegak tanpa inti, atau malah “Dadu” yang berpusing kehilangan arah matahari. Hingga gelap sepenuhnya.

*

Setelah sadar, ingatlah saya. Salah satu cara menelusuri puisi adalah dengan melacak motif-nya. Kata kaum cerdik pandai sastra, motif adalah unsur dasar yang bertugas mengembangkan naratif. Bentuknya bisa ide, kata, frase, tindakan, atau pernyataan karakter. Ia selalu berulang dan menyatukan karya. Motif pencerminan misalnya. (Ya, sang penyair sungguh berhutang budi pada Tuan Attar, Borges dan Cortazar.) Ia akan membuat tidak berorientasi ke luar dirinya, tetapi ke dalam dirinya sendiri. Ia meleburkan batas dan identitas, saling mengisi dan menyempurnakan, saling bertukar tempat antara pencipta dan ciptaan, pemburu dan buruan, bahkan menyatukan hamba dan paduka.

Ada sejumlah puisi dalam Jantung Lebah Ratu, lagi-lagi puisi-puisi yang prosais, yang menggarap motif pencerminan. “Harimau” merupakan model terbaik—dengan wujud yang lebih esaistis dan alegoris bisa juga disebut “Burung Merak”. Ia berupa satu bait dengan 48 larik. Judulnya dan beberapa identifikasi di dalamnya (raung, kuku, taring, memangsamu, jantan atau betina, mengerkahmu) menuntun kita untuk mengenali si juru bicara dan pendengarnya sama-sama harimau. Sebagai pemburu dan buruan mereka berbagi ruang, 28 baris pertama milik si aku, sisanya milik bayangannya (“aku”). Tetapi karena mereka sama-sama memakai sudut pandang orang pertama tunggal, keduanya adalah juru bicara sekaligus pendengar bagi yang lain.

Tentu saja, erotik juga motif yang bekerja dalam puisi ini. Larik-larik berikut ini (35—48) akan memperlihatkan bahwa pertarungan bukan lagi ajang pembinasaan tetapi proses pesetubuhan yang nikmat, penyatuan antara aku yang narsisistik dengan kembarannya—sebagaimana air dan kopi yang sungguh tak terpisahkan (puisi “Kopi”). Bahwa keduanya adalah satu—sebagaimana Attar mengisahkan 30 burung (si-murgh) adalah Simurgh itu sendiri:

Ketika darah menetes ke tubuhku

Kurasa aku telah melukaimu, mengerkahmu.

Dan pada sebentang cermin

tak dapat kulihat lagi wajahku

sebab birahiku telah sempurna.

Lalu dengarlah langkahku menjauh

ringan seperti detik jam.

Lalu dengarlah topan malam

ketika aku mengintai dari sudut terjauh

ketika kau mengasah kuku

ketika kauperawankan tubuhmu

ketika bundaku menjadi bundamu

ketika kau mencuri terang dari kulitku

ketika aku mencuri gelap dari kitab-kitabmu

Motif penyamaran adalah sejenis permainan metafora juga, dengan kadar yang lebih longgar dan penekanan pada intensi pelakunya. Dengan penyamaran kita berhadapan dengan goyahnya identitas, sebuah aksi pengecohan. Sesuatu bisa ini bisa juga itu. Pembaca mendapat dua atau lebih penampakan sekaligus yang sama meyakinkan sama membingunkan. Puisi “Blues” memberikan kita teka-teki, yang mana mawar sejati. Akukah? Atau halilintar? Keduanya sama menyamar sebagai mawar, sama berdurinya, sama melukainya. Tapi aku memenangkan persaingan itu mesti akhirnya kalah juga “Tapi aku / segera terbangun, menguncup, dan menusuk bola matamu, sebelum / akhirnya terkubur di antara saputanganmu dan matahari.” (Contoh terbaik lainnya untuk motif ini adalah puisi “Menuju Vignole” yang tidak diikutkan Nirwan dalam himpunan ini.)

*

Sementara dalam puisi-puisi Nirwan yang “puitis” saya seperti diajak pulang ke kampung halaman. Tentu saja ini kampung halaman yang mentereng karena telah menyerap pelbagai khasanah dunia, baik sastra maupun seni lainnya. Alusi adalah sebentuk bahasa kiasan yang memungkinkan terjadinya penyerapan itu. Namun, alusi yang sungguh berhasil adalah alusi yang memungkinkan puisi itu hadir sebagai subversi atau tandingan atau memperkaya karya yang menjadi sumber alusi. Ia mendorong penyair sebagai pembaca untuk melakukan “penciptaan kedua”. Jadi bukan sekadar gaya-gayaan dengan mengutip nama atau karya sastrawan tertentu.

Inilah yang terjadi pada “Dua Belas Kilas Musim Gugur” yang membayang-bayangi haiku atau “Tiga Biola Juan Gris” yang menafsir lukisan Juan Gris. Juga, puisi-puisi yang mengutip nama-nama penyair dan seniman lain sebagai sumber rujukan, tetapi tak perlulah saya komentari lagi.

Sementara puisi-puisi Nirwan yang menyerap khasanah nusantara (seperti pantun dan gurindam) hadir kepada saya sebagai percobaan yang terseok-seok. Para pendahulunya justru jauh lebih rileks dan tanpa pretensi. Tentu saja, “Gandrung Campuhan” atau “Kancing Gaya Lama” tidak bisa selancar dan selicin “Sajak Gadis Itali” atau “Si Anak Hilang” Sitor Situmorang. Nirwan memang tidak lagi memakai sampiran dan isi sebagai model, tetapi kita mendapatkan permainan bunyi dengan ketukan yang lebih ketat ketimbang sajak-sajak serupa kita hari ini. Ya begitulah nasib puisi modern, sajak bebas, yang mencoba tetap waras di bawah sihir puisi lama.

Jika, menyaru sebagai puisi lama membuat puisi-puisi Nirwan tampak pretensius dan tidak rileks lagi, maka puisi yang membebaskan diri dari model kuna itu justru bisa tampil lebih wajar. Apalagi pada sajak-sajak yang memaksimalkan personifikasi, yang membubuhkan nalar, rasa, dan keperibadian sebagaimana dimiliki manusia. Pada “Gerabah” atau “Kopi” misalnya Nirwan mampu menghadirkan cakrawala yang lebih luas lagi tentang dunia benda-benda—sebagaimana Vasco Popa memanusiakan dan meluaskan cakrawala sebuah kotak kecil dalam puisi “The Small Box”.

Saya kira, kita membutuhkan sikap rileks dalam arti yang seluas-luasnya, Bung. ***


Zen Hae, menulis puisi, cerita (pendek dan panjang), sesekali tinjauan sastra.

Monday, June 2, 2008

Hasan Membaca Nirwan

Tiga Belas Cara Saya Membaca Sajak Nirwan (1)
Oleh Hasan Aspahani

SAYA sedang membaca buku Nirwan Dewanto Jantung Lebah Ratu (Gramedia, 2008). Berikut ini hasil bacaan saya yang tentu saja personal sekali. Saya tak tahu apakah ini sejenis kritik atau bukan. Saya membaca dengan bekal teori sastra yang nyaris nol. Memang, saya membaca beberapa buku teori puisi, tapi di kepala saya, teori-teori itu tidak tersusun sistematis. Ibarat tukang, kotak perkakas kritik saya berantakan dan tidak saya urus dengan baik. Gergaji saya tumpul, palu saya ringan, pahat saya tipis dan sering bengkok kalau saya terlalu keras menggebuk kepalanya. Demikianlah. Saya ingin tulisan ini sampai tiga belas bagian. Kenapa tiga belas? Ah, Anda pasti tahu, atau nantilah di akhir tulisan saya beri tahu.
1. Adakah ketegangan dalam diri seorang yang dikenal sebagai kritikus (penilai puisi) dan sekaligus sebagai penyair (penghasil puisi)?
Saya melihat ketegangan itu ada pada Nirwan Dewanto. Peran ganda itu bukan sebuah kesalahan. Banyak yang melakoni keduanya sekaligus dengan sangat baik.
Kita mengenal T.S. Eliot, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Subagio Sastrowardoyo, Arief B Prasetyo, dan juga Nirwan Dewanto. Kita bisa menilai nama-nama penyair itu berat ke mana: lebih kuat sebagai penyairkah, atau sebagai kritikus, atau pada kedua peran itu dia sama kuat. Nirwan lebih dahulu saya kenal sebagai kritikus yang hebat, jeli dan kritiknya penting. Lewat dia saya dapat ide tentang pembacaan-jauh-pembacaan-dekat, bersikap kritis terhadap sejarah sastra, dan tertantang menjajal stamina menyajak dengan sajak-sajak panjang.
Saya nyaman saja menerima Nirwan sebagai kritikus dan menyimak kritik-kritiknya. Bertahun-tahun mengenalnya sebagai kritikus, saya belum juga bertemu Nirwan yang penyair. Saya belum pernah membaca sajak-sajaknya, sampai kemudian - bagi saya seperti tiba-tiba - sajaknya muncul di Kompas, 2005.
Pertemuan pertama saya dengan sajaknya tidak semengesankan seperti pertemuan pertama saya dengan sajak-sajak Joko Pinurbo saat saya membeli buku Celana, pada tahun 2000 di Pekanbaru, atau jauh sebelumnya ketika saya pertama kali bertemu sajak-sajak Sapardi Djoko Damono DukaMu Abadi pada tahun 1988 di Balikpapan.
Kenapa tidak mengesankan saya? Pasti karena saya sudah terlebih dahulu mengenal dia sebagai kritikus yang tajam. Saya misalnya mencatat dan mengingat pada suatu akhir tahun dia membuat peta perpuisian Indonesia. Ujarnya, penyair Indonesia dalam kurun waktu itu amat bergantung pada Sapardi, bahkan pada terjemahan-terjemahan Sapardi. Dengan ulasan yang meyakinkan dia bilagn, penyair-penyair pada tahun itu, hanya menyederhanakan gaya ucap Sapardi atau sebaliknya merumit-rumitkannya.
Nirwan juga pernah menulis tentang hakikat melihat dan menilai sajak lewat kompleksitasnya (bukan kerumitan) dan sekaligus keutuhannya. Belakangan saya menebak itu adalah ukuran yang dipakai oleh aliran Kritik Baru.
Dia juga yang pada suatu waktu di akhir tahun menulis tidak ada yang permai dalam pemandangan sepanjang perjalanan sastra Indonesia di tahun itu. Dia bilang memilih menempuh jalan yang tidak nyaman, jalan yang berduri. Orang yang ia sanjung di tahun lalu, bisa ia mentahkan di tahun berikutnya. Kritik-kritik Nirwan saya kira memang ia tulis karena diminta oleh media utama di negeri ini. Artinya, apa yang dia laporkan memang dipercaya oleh pengelola media utama itu dan dianggap layak dijadikan acuan untuk perjalan sastra tahun berikutnya.
Ada kesan di mata saya, eh ternyata orang yang hebat sebagai kritikus itu sajak-sajaknya ternyata "begitu-begitu saja". Maksud "begitu-begitu saja" tentu tidak dibandingkan dengan penyair lain yang aktif menulis saat ini apalagi dengan sajak-sajak saya. Saya membandingkannya dengan harapan saya atas sajak-sajaknya yang kadung terlampau tinggi saya letakkan. Singkat kata di mata saya Nirwan kritikus jauh lebih kuat daripada Nirwan penyair.
2. Meraba-raba Kredo: Semu
ADA penyair yang menulis dengan tegas kredo kepenyairannya, Sutardji misalnya. Ada yang menuliskan alasan-alasan kenapa dia tergerak menulis sajak, Subagio misalnya. Demikian, kita juga bisa mendapatkan bantuan untuk memahami persajakan dan kepenyairan Goenawan lewat "Potret Penyair Sebagai Malin Kundang", Sapardi lewat "Permainan Makna", Rendra lewat "Proses Kreatif Saya Sebagai Penyair". Joko Pinurbo menunjuk beberapa sajaknya, dan secara khusus bait-bait tertentu dalam sajaknya, sebagai pegangan ia menyajak.
Tidak ada keharusan seorang penyair menuliskan kredo bila yang dimaksud itu menjadi semacam rumus umum sajak-sajak di penyair. Saya percaya kredo atau apapun namanya hanyalah salah satu pintu masuk bagi pembaca untuk menjelajahi sajak-sajak penyairnya.

Tentu tidak bisa kita menganggap atau berharap bahwa kritik-kritik Nirwan atas sajak-sajak Indonesia sebagai tujuan atau panduan dasar bagi sajak-sajak yang ia tulis. Tetapi rasanya juga tidak salah kalau kita berpendapat, bahwa jika Nirwan tahu dengan pasti apa-apa saja cacat dan kurangnya sajak-sajak para penyair Indonesia, maka dia tentu tidak ingin mengulangi, apalagi memperparah cacat dan kekurangan itu.
Saya menemukan sebuah sajak Nirwan di buku Jantung Lebah Ratu, dan tertarik untuk menganggapnya sebagai sebuah kredo bagi sajak-sajaknya, sikap menyairnya, dan yang paling menarik ada semacam tantangannya terhadap pembaca sajak-sajaknya. Sajak bertahun 2005 itu, berjudul "Semu", halaman 20, bahkan dimulai dengan kata "Puisiku..." di larik pertama, bait pertama.
Puisiku hijau / seperti kulit limau. / Kupaslah, kupaslah / dengan tangan yang lelah / temukan daging kata / bulat sempurna / merah jingga / terpiuh oleh laparmu. / Junjunnglah urat kata dengan lidahmu / sampai menetes darah kata / manis atau masam / atau dendam yang lama terpendam / melukaimu ingin / kecuali jika / lidahmu hampa seperti angin /
Nirwan yakin, atau demikianlah dia meniatkan, bahwa puisinya hijau. Kenapa hijau? Tidak merah? Tidak putih? Atau hitam? Seperti kulit limau. Limau memang hijau. Lalu kenapa tidak merah seperti kulit apel atau tomat? Kenapa tidak kuning seperti kulit jeruk? Kenapa tidak coklat gelap bersisik seperti kulit salak? Mau tidak mau, saya membaca hijau itu sebagai lambang dari kemudaan, kebaruan, kesegaran, dan amat benar rasanya kalau seorang penyair bertekad menawarkan kebaruan, kesegaran pengucapan dalam sajak-sajaknya. Jika tidak, maka buat apa menulis sajak, bukankah hanya akan menambah cacat dan memperparah kekurangan sajak-sajak Indonesia saja.
Nirwan ingin atau percaya sajak-sajaknya seperti limau yang ketika diiris atau dikupas sudah menerbitkan air liur si pengiris atau si pengupas. Dan Nirwan menantang pembaca sajak-sajaknya untuk mengupas sajak-sajaknya, menemukan daging kata (dia yakin sajak-sajaknya berdaging), daging kata yang bulat sempurna (dia yakin sajak-sajaknya utuh), yang berwarna merah jingga (dia yakin isi sajaknya mengejutkan pembacanya, karena berkulit hijau berisi merah jingga). Tetapi, dia seakan tahu bahwa para pembaca sajaknya adalah orang-orang lapar memburu kebermaknaan dalam sajak-sajak tetapi yang bertangan lelah. Tenaganya tidak penuh. Kemampuan membacanya tidak seperti yang dia harapkan. Nirwan tidak suka pembaca yang lapar tapi lelah itu karena rasa lapar itu memiuhkan atau memuntal atau memilin daging kata sajaknya, akibatnya daging katanya yang bulat sempurna itu tak lagi bulat dan tak lagi sempurna. Nirwan pesimis dengan pembaca sajak-sajaknya.
Tujuh baris sajak "Semu" tadi senada dengan baris-baris berikutnya hingga baris terakhir, baris ke-39. Nirwan bilang, "Puisiku putih kabur seperti cangkang telur." Ia menantang pembaca untuk memecahkannya, dan ia janjikan ada cairan kata yang meradang di dalam telur sajaknya itu, kata yang bening sempurna, tetapi tidak berinti. Aha, ini kuncinya. Tidak berinti. Lalu? Nirwan ingin cairan katanya itu mengalir ke seluruh bumi. Tetapi, lagi-lagi dia tidak memandang cemas pada pembaca sajaknya karena mereka mencari jantung kata, "kuning yang kau anggap milikmu."
Dan Nirwan apakah ia ingin lari dari tanggung-jawab setelah menawarkan hijau kulit limau dan putih kabur kulit telur? Sebab dia bilang, "Maafkan aku, tak bisa kuceritakan diriku: dengarlah, cangkang telur atau kulit limau hanyalah samaranku."
Jadi, kita tidak bisa berharap menemukan Nirwan dari sajak-sajaknya yang ia tulis. Bahkan puisi-puisinya yang tadi ia serahkan sebagai tantangan kepada pembaca agar dikupas dan dipecahkan untuk menemukan daging dan cairan kata ternyata diakuinya kemudian hanya sebagai samaran. Sebagai persemuan.
Dan dia kemudian dengan tegas mengaku sebagai "...sayap kata yang terbang sendiri, berahi sendiri, hingga hancur aku kau tak bisa menjangkauku, jika pun kau seluas langit lazuardi".

Lihat, betapa Nirwan memang sangat tidak percaya pada pembaca-pembaca sajaknya. Nirwan amat pesimis dengan kemampuan membaca para pembaca sajaknya, jika para pembaca itu, katanya, masih juga "separuh-membaca, separuh-buta". Kata sesungguh kata, tulisnya, tiba bisa mengena. Apakah Nirwan ingin bilang hanya dia pembaca sajak yang tidak buta dan bis membaca sepenuhnya, dan bisa menyampaikan bacaannya pada kata sesungguh kata? Apakah ini peringatan bagi pembaca sajaknya agar lebih cermat membaca? Atau semacam tameng besar untuk sejak awal menahan serangan pada sajak-sajaknya? bersambung)
 
Diunduh dari milis apresiasi sastra
untuk melanjutkan ceritanya, silahkan langsung ke sejuta-puisi.blogspot.com

Silangan: Jender dalam Teks Indonesia

Pola dan Silangan: Jender dalam Teks Indonesia*

oleh Katrin Bandel**

Sering dikeluhkan bahwa di Indonesia tulisan di bidang kritik sastra, kritik film, dan kritik seni-seni lain maupun di bidang kajian gender masih terlalu sedikit dan kurang bermutu. Maka tentu amat menggembirakan bila ada lembaga yang berusaha memperbaiki kondisi yang mengenaskan tersebut. Kerjasama antara sebuah jurnal sastra yang cukup terpandang dan sebuah lembaga funding internasional, yaitu Kalam dan Hivos, seharusnya bisa menghasilkan buku yang bermutu dan bermanfaat. Meskipun dapat diduga bahwa Kalam sebagai bagian dari Komunitas Utan Kayu (KUK) mungkin saja memilih tulisan dengan tema dan agenda politis yang sesuai dengan ideologi komunitas tersebut, paling tidak kita dapat mengharapkan bahwa standar mutu tertentu akan dijaga, baik sebagai wujud tanggung jawab kepada pemberi funding, maupun karena kedua lembaga ternama itu perlu menjaga reputasi mereka sehingga mereka akan malu mengeluarkan buku yang bermutu rendah. Namun ternyata dalam kasus buku Pola dan Silangan: Jender dalam Teks Indonesia (2007) harapan itu tidak terpenuhi. Meskipun, seperti yang pasti diketahui sebagian pembaca, saya sama sekali bukan termasuk pemuja KUK, saya tetap kaget bahwa Kalam berani mengeluarkan buku dengan kualitas seburuk itu, baik dari segi isi maupun dari segi penampilan (terutama sampul).

Dari segi konsep buku saja, Pola dan Silangan sudah sangat meragukan. Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang terdiri dari lima esei, ditambah pengantar Lisabona Rahman selaku penyunting. Menurut keterangan Lisabona dalam tulisan pengantarnya, "dasar tematis yang ditentukan sangat luas, yakni tulisan-tulisan yang mengulas persoalan jender dalam teks (yang diproduksi di) Indonesia" (hlm. 1), dan dengan tema tersebut Lisabona kemudian "meminta tulisan kepada beberapa penulis yang aktif menulis dengan menggunakan analisis jender" (ibid.). "Beberapa di antara tulisan itu sudah pernah terbit dalam bahasa Inggris" (hlm. 1-2), begitu keterangan Lisabosa selanjutnya – tapi dia "lupa" menerangkan tulisan yang mana dan di mana tulisan dimaksud diterbitkan. Hanya pada salah satu tulisan, yaitu esei Intan Paramaditha tentang film Pasir Berbisik, lewat catatan kaki kita diberi informasi di mana versi Inggris esei itu pernah dimuat. Tidak jelas ketiga esei lain yang juga diterjemahkan dari bahasa Inggris ditulis dalam rangka apa, dan pernah diterbitkan atau tidak. Terjemahan dikerjakan bukan oleh para penulisnya sendiri melainkan oleh penerjemah (Idaman Andarmosoko, Bambang Agung, Rani Elsanti dan Setiaji Purnasatmoko) , dan esei yang ditulis untuk pembaca di luar Indonesia itu tampaknya sama sekali tidak diubah untuk diterbitkan di Indonesia. Di beberapa tempat terdapat penjelasan yang sama sekali tidak dibutuhkan oleh pembaca Indonesia, misalnya keterangan panjang lebar tentang sejarah Indonesia sebagai latar belakang pelarangan novel Pramoedya Ananta Toer (sampai – entah apa relevansinya – menceritakan pembredelan Tempo dan beberapa media lain, hlm. 68).

Kelihatannya setelah dimintai tulisan tentang apa saja, asal berkaitan dengan jender dan teks Indonesia, para penulis yang dihubungi Lisabona itu memang menyerahkan apa saja yang kebetulan tersedia – tulisan berbahasa Inggris yang tidak jelas statusnya itu mungkin merupakan tugas kuliah mereka di luar negeri, atau makalah seminar yang tidak digarap dengan serius. Bahkan untuk mengindonesiakan tulisan mereka sendiri dan menyesuaikannya dengan kebutuhan pembaca Indonesia mereka tidak bersedia, meskipun mereka semua orang Indonesia. Hasilnya adalah sebuah buku yang, meski dibiayai dengan funding yang pasti tidak kecil jumlahnya, tampak benar-benar "asal jadi"!

Kelima tulisan dalam Pola dan Silangan demikian penuh dengan kesalahan, kejanggalan, asumsi tidak berdasar, argumentasi yang tidak masuk akal dan hal-hal lain yang mengganggu, sehingga seandainya semua yang pantas dikritik dibicarakan di sini, tulisan ini bisa jadi akan lebih panjang daripada buku Pola dan Silangan itu sendiri. Maka saya akan membatasi diri dengan sekadar membicarakan persoalan-persoalan pokok yang menurut saya menjadi kekurangan masing-masing tulisan.

Esei pertama adalah tulisan Diana Teresa Pakasi berjudul "Tubuh, Hasrat, Relasi: Konstruksi Seksualitas Perempuan dalam Majalah Laki-Laki". (Esei ini adalah satu-satunya tulisan yang bukan terjemahan dari bahasa Inggris.) Yang dibahas dalam esei tersebut adalah majalah laki-laki Popular, terutama sebuah rubrik berjudul "Mimpi Bersama" dalam majalah tersebut. Meskipun rujukan buku teorinya sangat beragam – dari Simone de Beauvoir sampai Michel Foucault, dari Catherine McKinnon sampai Ien Ang – ternyata Diana berangkat dari asumsi yang sangat sederhana dan ketinggalan zaman, yaitu bahwa "tubuh dan seksualitas perempuan dirumuskan oleh dan untuk laki-laki" (hlm. 13). Dengan asumsi tersebut, teks dan gambar dalam
majalah Popular yang ditelitinya dipahaminya secara stereotipikal sebagai objektifikasi perempuan yang dilakukan oleh laki-laki demi kesenangan laki-laki, dan, lebih jauh, sebagai contoh atau bukti betapa seksualitas perempuan dikonstruksi hanya demi kepuasan laki-laki. Selain tidak menawarkan pemahaman baru pada pembacanya – bahwa sebuah rubrik majalah laki-laki yang terdiri terutama dari foto perempuan cantik berpakaian minim dalam pose menantang bertujuan terutama untuk menyenangkan laki-laki tentu bukan penemuan yang mengherankan sedikit pun! – asumsi tersebut ternyata justru menyulitkan Diana sendiri dalam memahami teks yang dibacanya. Diana misalnya mengutip sebuah tulisan berjudul "Pria Perlu Tahu Lebih Dalam Soal Mrs. V" (Popular Desember 2004) yang membicarakan fungsi "cairan pelumas" yang "membuat Mrs. V makin elastis": "Memang pada umumnya, bagi laki-laki semakin seret, semakin menambah kenikmatan. Namun, sayangnya bila ini terjadi, hanya pihak laki-laki yang merasakan kenikmatan. Sementara sang wanita tidak bisa menikmati dan justru merasakan kesakitan." (hlm. 31-32)

Bukankah sangat jelas di sini bahwa lewat tulisan tersebut majalah Popular menganjurkan pada pembacanya (laki-laki) untuk lebih memperhatikan perasaan perempuan ketika berhubungan seks, dan tidak sekadar mementingkan kepuasannya sendiri saja? Tapi Diana tampaknya tidak ingin melihat hal itu. Menurut Diana "[t]eks ini mencerminkan kode-kode kultural dalam masyarakat kita bahwa semakin kesat vagina, semakin besar kenikmatan yang diperoleh laki-laki" (hlm. 32), tanpa sedikitpun mengomentari bahwa tulisan yang dikutipnya justru mengkritik "kode-kode kultural" tersebut!

Esei kedua, yaitu "'Identitas Antara' dalam Novel-Novel Nh. Dini" oleh Intan Paramaditha, membahas dua novel Nh. Dini, yaitu Keberangkatan dan Pada Sebuah Kapal. Intan menggambarkan perjuangan tokoh utama kedua novel itu, yaitu seorang perempuan Indo yang ingin diterima sebagai "orang Indonesia" dalam Keberangkatan dan seorang perempuan Jawa yang menikah dengan laki-laki Perancis dalam Pada Sebuah Kapal, untuk mencari posisi dan identitas diri yang nyaman di tengah-tengah imaji stereotipikal tentang diri mereka: stereotipe perempuan Indo yang berperilaku seksual terlalu bebas di mata orang Indonesia, stereotipe perempuan Indonesia yang lugu, bodoh dan penurut di mata orang Barat, stereotipe perempuan Indonesia sebagai penjaga "moralitas Timur" di mata orang Indonesia sendiri, dan seterusnya. Meskipun tema tersebut menurut pandangan saya cukup menarik, asumsi-asumsi dasar Intan yang baru diungkapkan di alineaterakhir eseinya, membuat pembahasannya sulit diterima:
"Para [protagonis] perempuan ini merumuskan ulang kebangsaan dan menemukan identitasnya sebagai perempuan di luar kerangka nasional yang kaku. Namun identitas yang lebih cair ini tetap menyisakan persoalan karena tak mampu menyelesaikan jarak yang terbentang antara kaum perempuan sendiri. Para protagonis masih belum berhasil menghapus sekat antara citra perempuan Indonesia, seberapapun lentur identitas itu, dengan penggambaran perempuan Barat/Indo sebagai liyan yang negatif." (hlm. 61)

Kata siapa bahwa jarak antara perempuan harus "diselesaikan" (maksudnya "dihilangkan" ?) dan "sekat" antara "citra perempuan Indonesia" dan "penggambaran perempuan Barat/Indo" harus dihapus? Atas dasar apa Intan berasumsi demikian? Menurut pembacaan saya kedua novel itu memperlihatkan betapa interaksi antara konstruksi jender, nasionalitas dan etnisitas menghasilkan posisi yang sulit dan serba salah bagi kedua tokoh utama. Karena posisi serba salah itu berkaitan dengan relasi kekuasaan pascakolonial, tentu tidak mungkin persoalannya begitu saja "diselesaikan" dan segala stereotipe "dihapus". Juga, tidak mungkin perbedaan antara perempuan, misalnya antara perempuan Indonesia dan perempuan Barat, begitu saja dihilangkan. Maka bagi saya alinea terakhir esei Intan sangat mengecewakan karena di situ terungkap dengan jelas betapa Intan sama sekali tidak punya kesadaran akan pascakolonialitas.

Esei ketiga, yaitu esei "`Tetralogi Buru', Kecantikan Perempuan dan Maskulinitas Pascakolonial" yang ditulis Luh Ayu Saraswati P. berangkat dari sebuah asumsi yang lebih janggal lagi. Di awal eseinya Luh Ayu sekilas mengutip tulisan Ann Stoler tentang "demaskulinisasi para lelaki bangsa jajahan" (hlm. 64). Demaskulinisasi semacam itu merupakan bagian dari cara pandang Orientalis: Orang Barat (selaku penjajah) memandang penghuni tanah jajahan (dan bahkan juga tanah jajahan itu sendiri) sebagai makhluk rendah serupa perempuan yang perlu dan pantas ditundukkan dan dibimbing atau dibentuk.

Adanya stereotipe dalam pemikiran orang Barat tersebut tentu saja tidak serta merta membuat orang terjajah, terutama laki-lakinya, merasa diri mereka "didemaskulinisasi" alias bukan laki-laki lagi. Namun Luh Ayu tidak mempedulikan hal itu. Dengan dasar rujukan pada tulisan Stoler dan beberapa tulisan penulis Barat lain mengenai "demaskulinisasi" , dia mengasumsikan begitu saja bahwa tokoh Minke dalam Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer merupakan laki-laki terjajah yang kehilangan maskulinitasnya. Selanjutnya, begitu penjelasan Luh Ayu, tulisannya bertujuan untuk "menganalisis tokoh Minke dan perempuan-perempuan nya yang cantik mengingat hal ini menjelaskan bagaimana hubungan dia dengan perempuan-perempuan cantik ini menegakkan kembali maskulinitasnya" (hlm. 76). Luh Ayu rupanya tidak merasa perlu menunjukkan di mana teks novel Pramoedya menggambarkan Minke sebagai laki-laki yang kehilangan maskulinitasnya. Yang dikutipnya justru adegan dari awal novel Bumi Manusia dimana Minke, seorang pemuda yang baru mulai beranjak dewasa, ditantang oleh teman sekolahnya untuk membuktikan "kejantanannya" dalam pertemuan dengan seorang perempuan (hlm. 72-73) – sama sekali bukan imaji seorang laki-laki yang kehilangan maskulinitas, melainkan imaji seorang pemuda yang baru mulai bereksperimentasi dengan seksualitas/ maskulinitasnya!

Berangkat dari asumsi itu, Luh Ayu kemudian sampai pada kesimpulan bahwa "menggagas kembali maskulinitas melalui kepemilikan perempuan cantik adalah usaha yang memiliki pembawaan seksis" (hlm. 91), dan bahwa Tetralogi Buru merupakan "teks yang maskulinis" yang "perlu dipertanyakan" (ibid.). Selain berangkat dari asumsi yang salah, argumentasinya pun berdasar pada pembacaan teks novel Pramoedya yang sangat ceroboh. Saya akan menunjukkan salah satu contoh saja. Menurut Luh Ayu, "[k]etidakmampuan Annelies [i.e. istri pertama Minke dalam Bumi Manusia] hidup tanpa Minke memperlihatan bagaimana teks-teks itu membangun maskulinitas Minke melalui kepemilikan perempuan" (hlm.78). Padahal bukankah novel Bumi Manusia menawarkan penjelasan lain tentang perilaku ganjil Annelies yang sangat menggantungkan diri pada Minke, yaitu bahwa perilaku tersebut disebabkan oleh pemerkosaan yang dialami Annelies sebelum bertemu dengan Minke dan oleh hubungannya yang problematis dengan ibunya! Dan bukankah Minke sendiri sama sekali tidak digambarkan mengharapkan, apalagi sengaja menciptakan, ketergantungan itu – sebaliknya, Minke sendiri pun bingung menghadapi perilaku Annelies yang ganjil tersebut!

Esei yang keempat, yaitu esei kedua Intan Paramaditha berjudul "Pasir Berbisik dan Estetika-Perempuan Baru dalam Sinema Indonesia", bagi saya kurang memuaskan terutama disebabkan pendekatan teoritisnya, yaitu Psikoanalisis, yang digunakan dengan cara yang sulit diterima. Menurut Intan, film Pasir Berbisik "menawarkan suatu estetika feminin baru" karena

"Pasir Berbisik menjelajahi dimensi-dimensi tatapan perempuan dan voyeurisme perempuan, serta melakukan reapropriasi terhadap struktur naratif Oedipal." (hlm. 99)

"Voyeurisme" perempuan menurut Intan terjadi pada adegan ketika tokoh Daya mengintip ibunya bekerja, yaitu membuat jamu dan menolong orang melahirkan. Namun saya tidak menemukan argumentasi mengapa "voyeurisme [yang] lebih didasarkan pada hasrat untuk tahu
ketimbang kecabulan" (hlm. 122) itu tetap bisa disebut "voyeurisme" ? Bukankah kata "voyeurisme" , terutama dalam konteks Psikoanalisis, didefinisikan sebagai tindakan memandang/mengintip yang memberi kenikmatan seksual (misalnya mengintip orang membuka pakaian atau melakukan hubungan seks)? Kalau orang sekadar memandang/mengintip tanpa ada unsur rangsangan seksual, bukankah orang itu memang sekadar memandang saja, bukan menjadi voyeur?!

"Pembalikan drama Oedipus" menurut Intan berupa "[p]ergeseran dari hasrat terhadap sang ayah menjadi hasrat terhadap sang ibu" (hlm.123), disebabkan oleh kesadaran Daya pada akhir film bahwa ayah yang dulu selalu dirindukannya ternyata tega mengkhianatinya dan ibunya sangat menyayanginya, meskipun selalu bersikap keras. Interpretasi ini bagi saya terkesan sangat sembrono dan dangkal – bukankah Kompleks Oedipus dalam Psikoanalisis dipahami sebagai bagian dari pengalaman masa kecil yang kemudian masuk ke alam bawah sadar kita sehingga tidak mungkin begitu saja dibalik dengan mudah melalui narasi sederhana semacam itu?

Disamping itu, pendekatan Psikoanalisis yang digunakan Intan membuatnya melihat drama keluarga dalam film Pasir Berbisik dengan cara yang sama sekali tidak kontekstual – sebuah drama keluarga kelas menengah di kota akan bisa dianalisis dengan cara yang tidak jauh berbeda. Sang ibu bersikap restriktif terhadap anak perempuannya, kemudian ayah yang lama menghilang tiba-tiba muncul kembali dan merebut perhatian sang anak, tapi pada akhirnya sang ibu membalas dendam dan "memperoleh kembali kekuasaannya dari tangan sang ayah" (hlm. 123) – sebuah skenario yang dapat terjadi di mana saja. Yang tidak diperhatikan oleh Intan adalah konteks sosial yang membuat sikap sang ibu terasa sangat beralasan dalam film tersebut. Daya adalah seorang gadis remaja cantik yang hidup dalam kemiskinan di tengah kekerasan akibat Peristiwa 65, awalnya tanpa ayah tapi kemudian dengan ayah yang tega menjual anaknya sendiri, tanpa pendidikan sekolah sama sekali, dengan seorang bibi yang menjadi pelacur. Bukankah sangat wajar kalau sang ibu khawatir akan nasib anaknya, apalagi anak itu tampaknya sangat lugu dan tidak menyadari daya tarik seksualnya di mata laki-laki?

Tapi mungkin memang tidak masuk akal kalau kita mengharapkan sikap seorang ibu yang ingin melindungi anaknya dari pelecehan seksual dan khawatir anaknya terjerumus ke dalam pelacuran akan bisa dipahami penulis semacam Intan Paramaditha yang menyebut pelacur sebagai "perempuan yang terbebaskan secara seksual" (hlm. 118)!

Seperti keempat esei sebelumnya, esei terakhir, yaitu esei Manneke Budiman berjudul "Mencari Ruang Simbolik dalam Laluba, Kuda Terbang Maria Pinto, dan Sihir Perempuan", juga berdasar pada asumsi yang sangat janggal. Setelah membuat klaim bombastis bahwa novel Saman karya Ayu Utami telah menjadi "trend-setter" (hlm. 128) yang bukan hanya membuat "mata perempuan muda Indonesia mulai terbuka pada fakta bahwa menulis bisa menjadi wahana yang menjanjikan bagi aktualisasi diri" (hlm. 127), tapi juga memicu "ledakan produksi di bidang sastra" secara umum – betapa tidak berdasar dan tidak masuk akalnya klaim tersebut tidak perlu dibahas lagi di sini – Manneke menyatakan bahwa "keterpukauan pada dimensi seksual" dalam karya Ayu Utami dan beberapa rekannya "menyebabkan sejumlah penulis perempuan lain jadi agak terlewat dari perhatian". Penulis perempuan lain yang dimaksudnya itu "antara lain, adalah Nukila Amal, Linda Christanty, dan Intan Paramaditha" (hlm. 129). Atas dasar pengamatan tersebut, Manneke kemudian membaca karya mereka sebagai karya pengarang yang "marjinal" atau "terpinggirkan" dalam sastra Indonesia. Di sisi lain, sebagai bukti mutu karya mereka, Manneke menyebut bahwa kumpulan cerpen Linda Christanty memenangkan "Penghargaan Sastra Khatulistiwa" (hlm. 129), bahwa Sihir Perempuan karya Intan Paramaditha dipuji "dua orang kritikus terkemuka, Melani Budianta dan Nirwan Dewanto" (ibid.), dan kumpulan cerpen Laluba karya Nukila Amal "oleh majalah Tempo didaulat sebagai karya sastra terbaik tahun2005" (hlm. 137).

Pemetaan pengarang perempuan Indonesia yang dilakukan Manneke Budiman bagi saya terkesan sangat mengada-ada dan tidak masuk akal. Kalau mainstream terdiri dari segelintir pengarang perempuan yang menjadi selebriti karena menulis tentang seks – nama yang disebut Manneke hanya Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu dan Dinar Rahayu – dan "pinggiran" alias "marjin" (begitulah istilah yang dipakai, sepertinya sebagai terjemahan kata Inggris "margin") terdiri dari segelintir pengarang lain yang tidak menulis tentang seks tapi mendapat apresiasi tinggi lewat penghargaan dan pujian pengamat di media massa, lantas di manakah tempat pengarang-pengarang perempuan yang lain? Di mana misalnya tempat Maria Bo Niok, Putu Vivi Lestari, Nur Wahida Idris, Diah Hadaning, Helvy Tiana Rosa, Medy Loekito, Clara Ng? Di pinggirannya pinggiran?

Penyunting buku saja tampaknya tak sepenuhnya bisa menerima argumentasi Manneke tersebut: Lisabona memilih untuk tidak mengadopsi kata "pinggiran" atau "marjin" ketika dalam pengantarnya dia menjelaskan bahwa Manneke dalam eseinya melakukan perbandingan antara karya "penulis perempuan yang dianggap dominan dengan yang kurang dominan" (hlm. 5).

Sebagai "dasar teoritis" pemetaan yang amburadul tersebut Manneke membicarakan "marjin" dengan merujuk pada tulisan bell hooks dan Ien Ang. Hooks dan Ang membicarakan posisi kelompok marjinal/tertindas dalam konteks politik identitas etnisitas/ras di negara Barat (Amerika Serikat dan Australia). Namun begitu saja Manneke mengadopsi konsep itu, seakan-akan situasi yang dibicarakan hooks dan Ang dimana kelompok tertentu terpinggirkan berdasarkan warna kulit mereka, bisa disamakan dengan situasi Nukila Amal, Intan Paramaditha dan Linda Christanty yang "terpinggirkan" karena karya mereka tidak dihebohkan
seperti karya Ayu Utami atau Djenar Maesa Ayu! Dan ungkapan bell hooks bahwa pinggiran dapat dijadikan pilihan dan digunakan untuk melakukan kritik terhadap sistem dominan ternyata dipahami Manneke sebagai ajakan untuk seenaknya menobatkan penulis mainstream yang sedikit "kurang dominan" sebagai wakil "pinggiran" yang subversif! Bukan main!

Tapi mungkin dengan memfokuskan kritik saya pada persoalan-persoalan utama dalam argumentasi setiap esei, saya menimbulkan kesan yang terlalu positif tentang buku Pola dan Silangan, yaitu kesan seakan-akan dalam setiap esei di buku tersebut paling tidak terdapat sebuahargumentasi yang jelas, runut dan enak dibaca, meskipun sulit diterima. Sama sekali bukan demikian kenyataannya. Sebagai contoh saja: Saking tidak jelasnya deskripsi rubrik majalah Popular yang dibahas Diana Teresa Pakasi, saya terpaksa membeli edisi terbaru majalah tersebut untuk memahami apa yang dikatakannya. Setelah menjelaskan bahwa "[r]ubrik `Mimpi Bersama' menampilkan wawancara artis perempuan yang disertai gambar sang artis mengenakan baju tidur" (hlm. 17), Diana kemudian membahas tulisan dalam rubrik itu yang ternyata tidak terdiri hanya dari wawancara saja, tapi juga dari semacam teks pengantar. Teks pengantar tersebut dibicarakannya antara lain dengan mengatakan bahwa kalimat "Karina mengenakan balutan lingerie Nico-Nico yang seksi" berfungsi membuat pembaca "membayangkan Karina mengenakan pakaian tidur" (hlm. 21 – dan pada halaman sebelumnya (hlm. 20) terdapat ungkapan serupa yang juga menggunakan kata "membayangkan" ). Saya menjadi bingung – bukankah sebelumnya dia mengatakan ada foto sang model mengenakan pakaian tidur? Lalu mengapa teks pengantarnya dibaca sebagai ajakan untuk "membayangkan" sesuatu yang sudah jelas terlihat pada foto itu? (Setelah membeli majalah Popular yang ternyata lumayan mahal itu, menjadi jelas bahwa memang pilihan kata Diana sangat tidak masuk akal. Rubrik "Mimpi Bersama" dihias foto-foto sang model dengan pakaian minim yang mungkin lebih tepat disebut "pakaian dalam" daripada "pakaian tidur", sehingga tidak dibutuhkan deskripsi tertulis untuk "membayangkan" tubuh mereka!)

Teks pengantar tersebut oleh Diana dibahas panjang lebar dengan komentar yang serupa dengan komentar berikut (tentang teks "Mimpi Bersama" yang mendeskripsikan dada model sebagai sesuatu yang "membuat silau mata telanjang menatapnya, membakar darah para pria normal menyaksikannya" , lihat hlm. 19) :
"`Membuat silau mata' bermakna bahwa dada tersebut sangat menonjol di antara yang lain. Sedemikian menonjolnya sehingga mata dapat menjadi silau. `Membakar darah' menandakan bahwa dada itu dapat membangkitkan gairah seks laki-laki yang melihatnya. Kode-kode tersebut menunjukkan bahwa dada merupakan daya tarik seks perempuan yang cukup penting."(hlm. 20)

Kalau seperti itu mutu tulisan yang disuguhkan Kalam dan Hivos kepada kita, siapa yang tidak akan merasa kesal, kecewa atau geli membacanya? Lisabona saja dalam pengantarnya hanya berani mengatakanbahwa buku Pola dan Silangan memberi "sumbangan terhadap perkembangan kajian atas teks dalam hal definisi dan operasi jender di dalam teks" – bukan, misalnya "sumbangan berarti"!

Meskipun demikian, klaim Lisabona tersebut bagi saya tetap berlebihan. Pola dan Silangan tidak memberikan sumbangan apa-apa terhadap Studi Gender di Indonesia. Sebaliknya, untuk orang yang ingin belajar tentang Studi Gender buku itu malah menyesatkan, sedangkan untuk orang yang tahu sedikit tentang Studi Gender, Pola dan Silangan paling-paling cuma bisa menjadi bahan tertawaan!

Mengapa menyesatkan? Selain pembacaan yang konon dilakukan sebagai pembacaan "feminis" dalam masing-masing esei sangat tidak memuaskan sehingga tidak pantas dijadikan contoh oleh penulis lain, buku itu juga memberikan banyak informasi yang salah tentang Teori Gender. Yang paling parah dalam hal ini adalah esei Diana Teresa Pakasi. Selain membicarakan "perempuan" seakan-akan ada semacam identitas perempuan yang universal yang sama di mana saja dan kapan saja, pembahasannya juga menimbulkan kesan seakan-akan semua penulis yang dikutipnya memiliki pandangan yang seragam tentang seksualitas, yaitu pandangan yang sesuai dengan Feminisme ketinggalan zaman dan salah kaprah yang dianut Diana sendiri. Orang yang awam di bidang studi gender tidak akan menangkap sama sekali bahwa mereka yang dikutip Diana punya pandangan yang sangat beragam dan berlawanan satu sama lain tentang seksualitas. Simak misalnya komentarnya bahwa menurut Foucault "seksualitas, terutama berkaitan dengan perempuan, menjadi obyek pengaturan dan penataan" (hlm. 15). Padahal dalam ketiga jilid History of Sexuality yang jilid pertamanya dikutip Diana, Foucault jarang sekali membicarakan seksualitas perempuan secara khusus tapimalah lebih sering membicarakan seksualitas laki-laki! Dan yang menjadi "obyek pengaturan dan penataan" menurut Foucault bukan hanya,apalagi "terutama", seksualitas perempuan!

Contoh kesalahan lain yang cukup fatal adalah penggunaan kata "phallus" dalam keterangan bahwa perempuan merasakan kenikmatan "pada bagian G spot dan klitoris, sedang laki-laki pada phallus-nya" (hlm. 32-33). Bukankan perbedaan antara "penis" (alat kelamin laki-laki secara biologis) dan "phallus" (simbol yang menyerupai kelamin laki-laki) seharusnya sudah menjadi bagian dari pengetahuan dasar setiap penulis di bidang Studi Gender! Di samping itu, terhadap mitos "G-spot" pun bukankah seharusnya seorang penulis "feminis" bersikap kritis!

Sejak saya pertama kali mendengar tentang penerbitan buku Pola dan Silangan dan buku-buku lain yang menjadi bagian dari seri yang sama yang didanai Hivos, ada sebuah pertanyaan yang mengganggu saya: Mengapa Hivos memilih bekerjasama dengan sebuah komunitas yang sudah begitu mapan dan kaya? Benarkah Kalam/KUK membutuhkan funding Hivoshanya untuk membuat seri buku semacam ini? Bukankah pasti banyak komunitas lain yang mempunyai niat dan kemampuan untuk melakukan proyek penulisan dan penerbitan yang serupa tapi benar-benar tidak mampu secara finansial?

Seandainya pun kerjasama antara Kalam dan Hivos menghasilkan buku yang bermutu, pertanyaan itu tetap akan saya anggap relevan. Tapi keadaan ternyata lebih parah lagi daripada yang saya bayangkan sebelumnya: Kalam menggunakan funding yang sebetulnya tidak dibutuhkannya itu untuk menerbitkan buku yang benar-benar "asal jadi" alias bermutu buruk sekali. Tidakkah Komunitas Utan Kayu merasa malu sedikitpun mempertontonkan penyalahgunaan funding serupa itu di depanm umum?
____________ _

*Makalah dalam bedah buku "Pola dan Silangan: Jender dalam Teks
Indonesia" pada Kamis 24 April 2008, di Gedung Pascasarjana IRB,
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
**Katrin Bandel, kritikus sastra, tinggal di Jogjakarta

catatan: tulisanini di ambil dari milis apresiasisastra