Kami memiliki dua blog khusus untuk buku sastra, terutama buku-buku sastra yang tak ada di toko buku:

1. http://pustakapelabuhan.blogspot.com/ -berisi info2 buku sastra yang bisa dipesan langsung ke penulisnya. Anda bisa memberikan info buku2 sastra yang sedang terbit lewat dinding Indrian Koto atau Jualan Buku Sastra.

2. http://jualbukusastra.blogspot.com/. Berisi daftar buku yang bisa dipesan kepada kami secara langsung. Anda bisa bekerjasama dengan kami dalam distribusi kecil-kecilan.

Tuesday, January 29, 2008

Bacaan Kawan: Kitab yang Berdusta

Kisah Penghuni Surga yang Bosan

Judul Buku: Kitab Dusta dari Surga
Penulis: Aguk Irawan MN
Penerbit: Pilar Media, Yogyakarta
Cetakan: I, 2007
Tebal Buku: xx + 384 halaman


Mengimajinasikan surga, lalu menuangkannya menjadi karya fiksi bukanlah pekerjaan gampang. Bagaimanapun surga merupakan alam yang masih miteri yang diyakini keberadaannya berdasarkan oleh kaum beragama, khususnya Kristen dan Islam. Kitab Dusta dari Surga—yang oleh Gonawan Mohammad dianggap sebagai sebuah buku alegori, seperti Divina Comedia karya Dante—mencoba menyingkap alam surga yang misteri itu dengan cerita yang nakal dan berani. Jika Dante, menggambarkan surga adalah suci dan tertib, Aguk menggambarkan surga sebagai tempat yang membosankan bagi sebagian penghuninya, khususnya bagi Farisi, tokoh utama kisah ini.

Buku ini dibuka dengan suasana musim gugur di Mesopotamia, di mana para pengelana justru bertandang ke kota itu, salah satunya Abdul Hafidz al-Farisi, lelaki tua yang sudah puluhan tahun menjadi pengelana sunyi. Suatu ketika, di tengah zikirnya, Farisi kedatangan lelaki gagah dan berwibawa yang kemudian mengaku sebagai Izrail yang diutus Tuhan mencabut nyawanya. Mendengar pengakuannya Farisi malah bersuka cita, sebab sudah lama ia menantikan kematiannya.

Dengan imajinasi yang liar, selanjutnya Aguk menggambarkan alam setelah kematian, hari kebangkitan di Padang Mashar di mana semua manusia kembali dihidupkan untuk kemudian dihitung amalnya. Saat itu, Farisi berdiri di atas bukit bersama jiwa-jiwa agung, para Rasul, Nabi, Khalifah, Sahabat, Syuhada’ dan para mukminin yang shaleh. Di bawah bukit tempatnya bediri Farisi menyaksikan bumi serupa panci di bawah unggu api yang tak henti-henti menyala. Pekik tangis manusia memohon ampunan membahana. Dalam keriuhan itu, Muhammad SAW bersujud. Namun Allah mencegahnya. Karena tak dibolehkan bersujud Muhammad lalu memohon agar segera menghitung amalan mereka. Seketika langit menjadi terang. Lautan manusia itu kemudian digiring oleh Malaikat menuju tempat penghitungan amal (mizan), tapi tidak bagi Farisi. Ia tetap berjalan santai bersama jiwa-jiwa agung di atas puncak bukit.

Farisi merupakan pribadi yang unik, yang selalu membantah pertanyaan-pertanyaan Malaikat. Dalam perjalanannya melintasi shirat al-mustaqim, jembatan yang hanya bisa dilalui kekasih Tuhan, berkali-kali Farisi membentak Malaikat yang menanyai keimanan, tauhid, dan ibadahnya. Setiap kali ditanya Malaikat, Farisi hanya menyodorkan buku catatan amalnya dan kemudian segera meniti shirat al-mustaqim hingga tiba di Surga.

Di dalam surga Farisi menjumpai deretan istana yang sangat besar dan mewah, Istana Firdaus, Al-Ma’wa, Darul Khulud, ‘Aden, Darunnaim, Darussalam, dan Dalul Muqamah. Namun Farisi sama sekali tidak tergoda dengan kemewahan itu. Ia justeru berbelok langkah, menyusuri lorang gelap yang panjang, menuju Neraka Jahanam. Malaikat Zabaniah yang bertugas menjaga neraka, tak mengijinkan Farisi masuk. Tapi Farisi mendebatnya dengan mengatakan, segala yang diinginkan para penghuni surga niscaya akan terpenuhi. Akhirnya Farisi diijinkan masuk. Dalam neraka itu Farisi mendapati golongan raja-raja, orang-orang durhaka, dan iblis. Bertolak dari neraka Jahanam, Farisi kemudian mengunjungi neraka lainnya, seperti Sa’ir, Hawiyah sampai neraka Wail. Menggemaskan sekali, membaca bagian ketika Farisi menyaksikan para penghuni neraka tengah menyusun strategi agar bisa bebas dari siksa, termasuk di antara mereka, Karl Marx dan Lenin. Mereka berdua mengajak Farisi untuk bergabung mempersiapkan revolusi akhirat, demi persamaan derajat para makhluk dan menghilangkan kelas, tetapi Farisi menolak.

Aguk seolah-olah tak merasa kerepotan dan terbebani ketika menggambarkan suasana orang-orang yang berada di neraka, begitu pun ketika ia menggambarkan kondisi-situasi dan nama orang-orang yang bernaung di surga. Mirip dengan yang digambarkan Al-Qur’an, surga dalam buku ini digambarkan sebagai tempat yang dipenuhi kemewahan dan keindahan. Ada sungai dan telaga yang jernih dan indah, buah-buahan ranum, aroma wangi minyak misk, dan tak lupa bidadari. Ada bangunan rumah yang setiap dindingnya terbuat dari bata merah bersepuh emas dengan pintu berlapis intan dan mutiara. Terlihat orang-orang berpesta pora, bercinta, dan meminum arak. Tetapi Farisi tidak tertarik untuk bergabung bersama mereka. Ia justeru merasa bosan tinggal di tempat yang dipenuhi dengan kemewahan itu. Ia tak suka meminum arak, gadis-gadis, emas, intan dan perak, sebab ketika di dunia ia telah berhasil membunuh hawa nafsunya. Berbeda dengan para penghuni surga yang begitu betah, Farisi ingin kembali ke dunia. Sebab baginya, dunia adalah kehidupan yang sesungguhnya.

Aguk berusaha membangun ketegangan cerita ketika Farisi mencari jalan agar bisa keluar dari surga. Farisi menyampaikan niatnya itu kepada setiap orang yang ia temui, seperti Nabi Adam, Nabi Idris, Nabi Nuh, Ibnu Sina, Ghazali, Ibnu Rusyd, Aristoteles, Plato, Phytagoras, Malaikat Jibril dan para penghuni surga yang lain. Tetapi mereka tak bisa membantu keinginan Farisi. Farisi tidak patah semangat, ia terus melalang surga, hingga tiba di Jabal Quddus di mana ia bertemu Rabi’ah al-Adawiyah, Assyibili, Jalaludin Rumi, Hasan Bashri, Mansur al-Hallaj, dan puluhan sufi lain yang ternyata memiliki kegelisahan serupa dirinya. Setelah berembug, Farisi dan para sufi itu kemudian bergegas mencari Muhammad untuk mengajukan protes tentang alam surga yang ternyata membosankan, hanya dipenuhi nafsu dan kemewahan.

Alur cerita yang lambat dan banyaknya pengulangan di sana-sini menjadi kelemahan tersendiri buku ini. Juga, keliaran imajinasi penulis yang kadang tak terkontrol membuat beberapa bagian tak terkondisikan. Selain itu, konsep surga yang Aguk gambarkan juga perlu dikaji ulang. Sependapat dengan apa yang dinyatakan Goenawan Mohammad, surga adalah sebuah kehidupan yang tak terbayangkan, tak bertempat (utopia) dan berwaktu. Maka sebuah kontradisi jika Aguk mebayangkan surga sebagai sebuah tempat yang kekal (surga) tapi pada saat yang sama juga dihuni bidadari dan dialiri sungai susu untuk memenuhi syahwat dan lapar, sebab yang semacam itu masih merupakan keadaan kurang, yang ingin dipenuhi dan dengan demikian mengandung jarak dan gerak waktu. Apa pun itu, upaya Pilar Media menerbitkan buku ini sangat patut mendapat apresiasi.



Jusuf AN, Lahir di Wonosobo 2 Mei 1984. Menyelesaikan Studi di Fakultas Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Januari 2007, ia bertahan hidup dari menulis. Hidupnya berpindah-pindah dari Wonosobo-Jogjakarta. Ia juga mengajar di sebuah SMP swasta di kampugnnya, mengajar drama, sastra, dan mengelola rumah baca Kampung Raya. Belajar menulis bersama beberapa sanggar kesenian di Jogjakarta dan kota kelahirannya. Tulisannya berupa Puisi dan Cerpen pernah termuat dalam beberapa media, dan dalam antologi, Novelnya yang akan terbit, Kisah Cinta Orang Gila. HP: 085643576644. email: jusufan@yahoo.com