Sepenggal Proses Kreatif
Bermula dari Seekor Kucing yang Terluka
Suatu
hari, bulan Januari. Hujan tumpah di Pulau Tarakan. Pagi itu, saya
sudah bersiap-siap membuka kantor pemasaran tempat saya bekerja sebagai marketing leader
sebuah perusahaan garmen lokal, dimana bangunan kantornya menjadi satu
dengan tempat tinggal saya yang merupakan bagian dari fasilitas kantor.
Teman-teman satu kantor belum berdatangan, justru seekor kucing kecil
yang mendahului mereka. Kucing itu mengeong-ngeong dan mencakar-cakar
pintu kantor. Karena saya memang tak begitu suka dengan kucing, saya
biarkan saja sampai teman-teman sudah berdatangan dan hari menginjak
siang.
Hujan masih saja tumpah dan hawa dingin makin
menggigilkan tulang dan kucing itu semakin letih dalam harapannya untuk
sekedar diberi kehangatan. Ia terus mengeong-ngeong dan mencakar-cakar
pintu.
Lebih karena tak ingin terus terganggu oleh
suaranya, saya akhirnya membuka pintu dan membawa masuk kucing itu.
Karena ia basah kuyup dan berlumur lumpur, saya angkat supaya ia tak
mengotori lantai kantor. Saya membawanya ke belakang, tempat tinggal
saya bersama istri saya dan dua malaikat kecil kami, Maneka (3 tahun)
dan Akbar (2 tahun).
Sampai di dalam, istri saya begitu
terperangah melihat saya melakukan aksi yang tak biasa itu. Ia tahu
dengan pasti bahwa saya tak menyukai kucing. Saya bergegas memberikan
kucing itu padanya dan berharap dia bisa membuatnya diam. Saya masuk
kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaan.
Lima
belas menit kemudian, istri saya masuk ke kantor dan memberi tahu saya
bahwa kucing itu ternyata memiliki luka di pinggang sebelah kirinya.
Luka itu, luka lama, sudah bernanah, sepertinya luka akibat tusukan
benda tajam. Saya bergegas mendapati kucing yang ternyata sudah
dimandikan oleh istri saya dan sudah diselimuti handuk pula. Ia
menempatkannya dalam sebuah kardus bekas mie instan. Saya perhatikan,
luka itu terus saja mengeluarkan nanah busuk. Pada akhirnya saya
berinisiatif membelikan obat yang cocok buat luka kucing itu meski hujan
belum kunjung berhenti. Saya pun menembus badai hujan dengan sepeda
motor dan membawa pulang salep chlorempenicol yang direkomendasikan penjaga sekaligus pemilik sebuah apotek tua di ujung kota.
Di
rumah, saya sudah mendapati anak saya riang dalam tawa-tawa kecil
mereka. Dua-duanya bahagia berkat kehadiran kucing mini itu. Saya
bergegas mengoleskan salep itu setelah terlebih dulu mengompres luka si
kucing dengan air hangat. Saya juga memberinya semangkuk susu dan nasi
yang saya campur dengan potongan-potongan ikan. Kucing itu lahap dalam
makan dan minumnya, anak dan istri saya gembira bukan main melihat
keadaannya yang demikian.
Keesokannya, kucing itu sudah bisa
berlari ke sana kemari, meski dengan terpincang-pincang. Saya
perhatikan, lukanya masih bernanah namun nanah yang keluar mulai
berkurang.
Kedua anak saya tertawa lepas, berlari mengejar
berputar-putar kucing yang sadar dirinya disukai kedua anak saya itu.
Kini, anggota keluarga kami bertambah. Dialah si kucing mini yang
ternyata amat menyenangkan.
Di hari kelima, kondisi kucing itu
sudah benar-benar membaik. Lukanya sudah kering, tak lagi bernanah. Ia
pun bisa berjalan normal. Di hari ke enam, ia mulai berani bermain-main
di luar (di halaman belakang), ketika dua anak kami sedang tidur siang.
Jika Maneka dan Akbar sudah bangun dan memanggil-manggilnya, ia akan
melompat masuk melalui jendela dapur dan bermain-main bersama kedua anak
saya itu lagi.
Siang itu, di hari ketujuh, kedua anak
saya tidur dan si kucing bermain di belakang rumah. Sorenya, ketika
mereka berdua bangun dan mencari-cari kucing itu, mereka tak
menemukannya. Mereka berdua pun menangis sejadi-jadinya, kehilangan
kucing yang begitu mereka sayangi itu. Saya dan istri tak mampu berbuat
apa-apa. Kami penuh dalam harap agar tak ada hal buruk yang menimpa si
kucing.
Meski tak pulang sampai sore hari, kami tetap
berharap kucing itu akan kembali. Namun, sampai keesokan harinya, ia tak
kunjung kembali.
Malamnya, istri dan anak-anak kehilangan
gairah. Kegembiraan dan keceriaan mereka meluap bersama kepergian si
kucing mini. Saya sebagai orang yang mulanya sama sekali tak menyukai
kucing, tiba-tiba dihinggapi perasaan sentimentil saat itu juga dan
tiba-tiba saja saya merasa telah ditinggalkan oleh seseorang, padahal
dia hanyalah seekor kucing. Serta merta saja perasaan kehilangan yang
begitu dalam itu menggiring saya untuk segera berada di depan komputer.
Mulanya
saya hanya bermaksud menulis semacam catatan curahan hati, namun dalam
prosesnya, jemari saya tak henti mengetik kata demi kata yang kemudian
menjelma cerita. Dalam proses penulisan, setelah paragraf pertama
rampung, saya tiba-tiba teringat sebuah artikel yang pernah saya baca
tentang alat musik petik shamisen yang katanya penutup pada
bagian kepalanya terbuat dari kulit kucing atau kulit anjing. Kemudian,
saya juga tiba-tiba teringat seorang kawan yang berhenti kuliah karena
ketiadaan dana. Ia memutuskan untuk merantau ke Jepang dengan menumpang
kapal barang dari Surabaya. Di Jepang, ia bertahan hidup dengan bekerja
sebagai tukang cuci piring dan tukang masak di berbagai restoran.
Lintasan
beberapa ide inilah yang membuat saya pada akhirnya memutuskan Kyoto
sebagai setting cerita. Karena saya tak pernah ke Kyoto, saya memerlukan
bantuan Google Earth dan Google Search untuk mendapatkan seluk beluk informasi yang berhubungan dengan kota Kyoto.
Semua
kejadian dan ingatan saya akan pengalaman-pengalaman di lain waktu itu
menjelma menjadi satu dan tak saya sadari dalam waktu kurang lebih tiga
jam, lahirlah sebuah cerpen yang kemudian saya beri judul : Kucing
Kiyoko.
Berulang-ulang saya baca lagi cerpen yang sudah lahir itu,
saya timbang-timbang dan dengan penuh percaya diri, saya merasa saya
telah melahirkan sebuah cerita pendek yang cukup kuat.
Dengan
penuh percaya diri pula, cerpen tersebut langsung saya kirimkan ke
Kompas, sebuah koran yang belum berhasil saya ‘tembus’ meski saya sudah
‘menembakkan’ tak kurang dari 20 judul cerpen semenjak saya mulai
menulis tahun 2000.
Saya sempat menunggu selama seminggu. Dalam
kurun waktu itu, hampir setiap waktu saya mengecek email saya. Ada
keyakinan yang begitu kuat, kalau cerpen itu akan dimuat.
Suatu
pagi, tepat pada hari ulang tahun saya, 4 Februari 2009 saya mendapat
email dari redaksi Kompas yang memberitahukan bahwa cerpen saya memenuhi
kriteria layak muat. Sehabis membaca itu, dada saya langsung
bergemuruh. Sungguh sebuah hadiah ulang tahun yang manis.
Saya
beritahukan kabar baik itu pada istri saya. Istri saya girang bukan
main dan mendadak kami sama-sama teringat kucing mini yang menjadi
pemantik imajinasi saya dalam melahirkan cerpen itu. Dimana dia sekarang?
Kami pun diam dalam kenangan masing-masing.
NB : Catatan ini menjadi pembuka dalam Buku Saya : Kucing Kiyoko.
No comments:
Post a Comment