Kami memiliki dua blog khusus untuk buku sastra, terutama buku-buku sastra yang tak ada di toko buku:

1. http://pustakapelabuhan.blogspot.com/ -berisi info2 buku sastra yang bisa dipesan langsung ke penulisnya. Anda bisa memberikan info buku2 sastra yang sedang terbit lewat dinding Indrian Koto atau Jualan Buku Sastra.

2. http://jualbukusastra.blogspot.com/. Berisi daftar buku yang bisa dipesan kepada kami secara langsung. Anda bisa bekerjasama dengan kami dalam distribusi kecil-kecilan.

Wednesday, July 16, 2008

Wa Ode Hilang di Canti


Keterangan :
Judul : Cari Aku di Canti
Pengarang : Wa Ode Wulan Ratna
Penerbit : Lingkar Pena Publishing House
Tahun : 2008, Juni
Tebal : 234 hlm.
Harga : Rp. 29.500,00.-
Semangat “Urban-Lokal” ala Wa Ode Wulan Ratna
OLEH AYAT MUHAMMAD
Telah kita sadari bersama bahwa semaraknya buku-buku sastra kini diwarnai dengan warna lokal, mulai dari lokal daerah, lokal kekotaan, lokal fantasi, dan lokal-lokal lainnya. Isu dominasi sastra masyarakat urban-global telah menjamur tidak hanya di kota-kota besar semacam Jakarta, tetapi juga sampai ke daerah-daerah dan pelosok-pelosok, sejalan dengan pemberitaan dan gaya hidup yang diperlihatkan di televisi-televisi. Yang dimaksud dengan sastra ini adalah sastra yang bersifat kekotaan dan menawarkan banyak lingkup gaya hidup perkotaan dan permasalahan, terutama yang dialami oleh muda-mudinya. Sesuatu yang tidak universal dialami di daerah lain terkait dengan latar serta pengaruh budaya serta teknologi tempat tersebut. Selain itu, kita juga mengenal semangat “glokalisasi” atau lokal-global yaitu semangat sastra daerah “lokal” untuk mengglobal dengan bahasa yang global. Belakangan terdengar juga istilah sastra lokal urban dan lokal jenius, adalah sastra yang mengusung semangat lokal yang bersifat kekotaan dan membawa unsur perlawanan.
Barangkali akan sulit mendefinisikan sastra lokal. Namun yang dimaksudkan di sini adalah karya-karya yang memiliki kaitan erat dengan wilayah atau kondisi geografis tertentu, tokoh, dialog, serta budaya masyarakat tertentu yang menunjuk pada etnik atau sub-etnik yang memiliki kekhasan tersendiri. Dalam ilmu geografi, lokal sendiri mencangkup ruang yang luas, dalam arti ruang lingkup suatu daerah. Sehingga melokalkan berarti membuat sesuatu dapat diterima di suatu daerah, berbeda dengan mengglobal yang menempatkan sesuatu di seluruh titik daerah, luas wilayah, bahkan dunia.
Ranah sastra lokal, sampai kini tidak pernah bermain di dunia global. Kadang mereka lebih asyik melokalkan diri di tempat masing-masing. Kadang mereka terlihat tidak lebih menarik jika ditarik ke kota-kota. Mereka seperti tertumpu pada lokalitas sastra itu sendiri, yaitu identitas dan tempat. Namun belakangan tidak terlihat demikian, beberapa tema-tema lokal tersebut nampak lebih “eye catching” di mata globalisasi. Mungkin karena hal tersebut lebih menarik untuk diteliti sebab budaya lokal diduga telah bertolak belakang dengan zaman modern atau zaman kekinian.
“Cari Aku di Canti” adalah sebuah cerpen Wa Ode Wulan Ratna -dalam kumpulan cerpennya yang berjudul sama- yang nampaknya merupakan debut pertamanya bermain di daerah lokal. Cerpen ini bercerita tentang seorang gadis kota yang bergelut dengan keinginannya dan memupuk cintanya di alam Lampung. Sangat berbeda dengan beberapa cerpen lainnya yang juga mengusung budaya lokal. Cerpen-cerpen tersebut jauh lebih matang dan bertendens karena persoalan yang diangkat lebih problematik. Namun kesuluruhan dari kumpulan cerpen itu tak dapat dipungkiri ke-seksi-an cara penuturannya. Di tambah lagi dengan penggunaan metafora yang pas, narasi yang cantik, diksi yang eksotis, dan tema yang lebih problematik.
Beberapa cerpen yang mengambil latar kepulauan Riau adalah cerpen Bulan Gendut di Tepi Gangsal, Kering, dan Perempuan Nokturia. Ketiganya menempatkan perempuan sebagai tokoh yang diceritakan dengan narator laki-laki. Bulan Gendut di Tepi Gangsal jauh lebih simbolis, eksotis, dan romantis. Yang seterusnya cerita ini dapat dikembangkan menjadi naskah lakon apabila bertahan dengan bentuk dialog seperti itu. Di luar itu semua, cerpen ini berlatar suku pedalaman Riau, yaitu suku Talang Mamak dengan mengambil tempat sepanjang Sungai Gangsal. Permasalahan yang diangkat adalah seputar tanah adat (ulayat) yang dibakar dan persoalan perempuan yang menjadi kunci utama dalam cerita tersebut: Serunting. Tidak jauh berbeda dengan cerpen Kering dan Perempuan Nuktoria, keduanya adalah cerpen lokal yang mengangkat tema-tema lingkungan, penebangan dan kebakaran hutan, illegal loging, kabut asap, dan seputar itu yang didalamnya terselip permasalahan lain manusia, perempuan dan laki-laki, baik secara sosial maupun psikologis.
Dalam dua cerpen yang mengambil latar lebih jauh lagi yaitu dan La Runduma dan Bula Malino. Cerpen ini mengangkat persoalan adat yang menjadi banyak problem perempuan di masa kini. Latar kedua cerpen ini adalah di Buton, sebuah pulau di Sulawesi Tenggara yang memiliki sejarah kesultanan dan bercampur dengan adat istiadat setempat. Perlawanan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan di dalamnya tidaklah semata perlawanan yang keras. Dalam La Runduma, penulis seperti sengaja membiarkan para pembacanya untuk menginterpretasi cerita tersebut.
Dibalik keindahan dan kelancaran penuturannya, Wa Ode Wulan Ratna mencoba menyajikan kekayaan lokal kehadapan masyarakat yang cenderung berjalan kearah modernitas yang mengusung budaya urban yang sungguh telah sangat meminggirkan akar budaya masyarakat kita. Benturan modernitas ini terutama terlihat dari kedua cerpen tersebut di mana adat istiadat memampatkan banyak kesempatan dan pilihan pada tokoh-tokohnya, ada yang mempertahankan ada juga yang melakukan perlawanan. Suatu hal yang sangat wajar dan realistis dalam kehidupan masa kini.
Dalam hal ini sebenarnya penulis telah mengusung semangat urban-lokal, yaitu semangat kekotaan yang bersifat kelokalan, kembali ke ranah lokal. Suatu definisi yang dapat berarti penulis kota yang menulis tentang budaya lokal. Untuk Wa Ode Wulan Ratna sendiri misalnya, dapat dikatakan penulis daerah (berdarah Buton) yang tinggal di kota yang kemudian menulis hal-hal yang bersifat kedaerahan dengan sudut pandang kota. Karya-karya tersebut menjadi suatu hal yang baru, ketika orang kota dan orang daerah berbondong-bondong menulis tentang kota dengan segala modernitasnya, si penulis justru sebaliknya, tentunya dengan semangat modernitas yang sama. Dengan semangatnya itulah karya-karyanya menjadi lebih unik dan langka dalam khazanah kesusastraan kita.
Sebagai seorang penulis perempuan muda, ia memilih tempat bagi karya-karyanya untuk berbeda dengan penulis perempuan kebanyakan. Karya-karyanya mempunyai ‘wangi’ dan ‘cantik’ sendiri dan mungkin ia akan lebih cantik berada di sana bersama dengan kegelisahannya.
AYAT MUHAMMAD
Sarjana Geografi Universitas Negeri Jakarta
Bergiat di Teater Tetas dan Lembaga Kajian dan Budaya Universitas Alternatif
Pecinta sastra (-wati)

No comments: