Kami memiliki dua blog khusus untuk buku sastra, terutama buku-buku sastra yang tak ada di toko buku:

1. http://pustakapelabuhan.blogspot.com/ -berisi info2 buku sastra yang bisa dipesan langsung ke penulisnya. Anda bisa memberikan info buku2 sastra yang sedang terbit lewat dinding Indrian Koto atau Jualan Buku Sastra.

2. http://jualbukusastra.blogspot.com/. Berisi daftar buku yang bisa dipesan kepada kami secara langsung. Anda bisa bekerjasama dengan kami dalam distribusi kecil-kecilan.

Thursday, June 5, 2008

Jantung lebah ratu, zen hae

SENGATAN LEBAH RATU: SERANGKAIAN UPAYA
Zen Hae



“Jantung lebah ratu” adalah sebuah permainan. Ia merupakan gabungan antara “jantung” (motif yang kerap muncul dalam puisi-puisi Nirwan Dewanto) dan “lebah ratu” (judul salah satu puisinya). Penggabungan ini segera menimbulkan asosiasi tertentu yang menantang sekaligus menyegarkan—jika bukan menggelapkan. Sebab jauh lebih gampang kita memahami “sayap” atau “sengat” ketimbang “jantung” seekor lebah ratu. Tiba-tiba kita ditantang untuk membayangkan seraya memikirkan sesuatu yang tidak kelihatan, mungkin ada mungkin tidak. Bagaimana rupa dan fungsinya, apa pula makna simboliknya.

Sensasi seperti ini pula yang muncul saat berhadapan dengan bentukan-bentukan Nirwan lainnya: “Pinurbo Dinar”, “Bendera Eliana”, “Puan Batu”, atau “Buku Cacing”. (Meski kita harus ingat pula judul buku cerpen Sutardji Calzoum Bachri Hujan Menulis Ayam yang merupakan gabungan dari judul cerpen “Hujan” dan “Menulis Ayam”.) Sejumlah bukti ini segera menyadarkan kita bahwa si pembikin adalah orang yang tidak kehabisan akal dalam menggunakan bahasa Indonesia. Bagaimana bentukan-bentukan baru dalam bahasa itu dimungkinkan, apakah konfrontasi anasir pembentuknya mampu menimbulkan makna baru atau nihil, apakah ia akan menyegarkan puisi atau malah melayukannya.

Sementara, Jantung Lebah Ratu (Gramedia Pustaka Utama, April 2008) menyadarkan kita betapa puisi mempunyai kemungkian yang tak terbatas. Seraya ingin melunakkan daya pukau surrealisme yang kelewat pekat dalam Buku Cacing (manuskrip puisi Nirwan yang terbit secara terbatas pada 1985) Nirwan menawarkan puisi-prosa, puisi yang menyaru esai (bandingkan dengan ficciones Borges), puisi yang menyerupai pantun dan gurindam, puisi serupa haiku, puisi selaku lirik lagu, puisi tentang puisi, hingga puisi yang menyaran pada teka-teki.

Lihatlah, dalam rupa-rupa baru itu, si juru bicara puisi (“aku lirik”) bukan lagi pusat yang hanya gemar mengumbar keharuannya pada alam raya seraya berasyik-masyuk dengan bunyi-bunyian—sebagaimana diimani kaum Romantik dan pemuja lirisisme di nusantara. Ia telah menjadi separuh aku lirik setengah juru cerita, pemantra di satu masa pengesai di lain waktu, mabuk sekaligus sadar, menyilakan pihak lain tampil atau malah melebur diri ke dalam alam benda. Maka “jadilah aku”, dari putri malu ke apel merah, dari gong hingga keledai, dari harimau sampai lonceng gereja, dari anjing kidal hingga bayonet dan kopi robusta. Sungguh, benda-benda sudah bicara sendiri tanpa diminta, tanpa makelar. Mereka telah memanusiakan diri sepenuhnya.

*

Menelaah juru bicara puisi adalah memeriksa kembali upaya pengoperasian puisi itu sendiri. Posisinya menjadi penting bukan hanya karena ialah penguasa utama arus ujaran puisi—di mana ia mendapat kebebasan penuh untuk mengeluarkan segala pikiran dan perasaannya tanpa ada yang mampu mengeremnya (secara terang-terangan maupun tersembunyi), tetapi juga karena hubungan ia dengan pendengarnya (“kau”). Bagaimana ia menyatakan dirinya, apakah ia mengizinkan lawan bicaranya itu angkat suara atau tidak sama sekali, konflik apakah yang menggulung mereka, dan seterusnya. Hingga batas tertentu, hubungan “aku” dan “kau” dalam Jantung Lebah Ratu adalah konfrontasi yang tak berkesudahan, yang naik-turun suhunya, dalam situasi yang dialogis sekalipun.

Misalnya pada puisi “Burung Hantu.” Dari penataan lariknya di mana setiap larik berada dalam apitan tanda kutip (kalimat langsung) kita tahu ini puisi yang dialogis. Si juru bicara (“bulan”) mengizinkan pendengarnya (“burung hantu”) angkat suara secara langsung. Mereka juga bertukar posisi, dari juru bicara menjadi pendengar, atau sebaliknya, sehingga berubah pula sudut pandang pengucapan puisi. Tetapi hubungan mereka adalah sebentuk pengektreman pribahasa “bagai pungguk merindukan bulan”. Dua makhluk nokturnal ini berhadap-hadapan tetapi dalam posisi yang sungguh tidak seimbang, bersoal-jawab tetapi tidak saling nyambung, sama mencari tetapi saling tidak menemukan.

Ketegangan ini baru akan selesai ketika fajar tiba. Sebab saat itulah bulan terbebas dari rasa bersalah tidak bisa mencintai burung hantu, dan burung hantu terbebas dari kesedihan tak tertebus. Karena itu, frase “zaman keemasan” di larik terakhir (“Jadi di rimbun mahoni ini zaman keemasan telah tiba?”) menjadi penting. Ia harfiah sekaligus metaforis. Munculnya matahari yang menyiramkan warna keemasan di ufuk timur pasti isyarat mulainya hari baru, tetapi bukan masa kejayaan, hanya senjakala bulan dan saat istirah burung hantu.

Tentu saja, situasi monologis puisi sudah merupakan peluang munculnya konfrontasi. Tetapi itu akan lebih tajam lagi jika juru bicara dan pasangannya itu hidup di dalam pusaran konflik. Pusaran yang akan mengembalikan lagi naluri kebinatangan keduanya dan mengizinkan terjadinya benturan. Situasi khaotis yang melejit di antara dendam dan cinta, kepatuhan dan perlawanan, penertiban dan pembebasan. Sebagaimana dialami keledai dan paduka dalam puisi “Keledai” berikut ini:

Paduka, pagi ini aku lahir kembali dengan kaki sekokoh besi berani. Jangan lagi kaupasang sayapku sebab sepanjang jalan ingin aku menginjak bebiji matamu.

Bebiji mata yang selalu membuatku berwarna darah, Paduka.

Kubawa matahari di punggungku sebab kau tinggal nun di jauh malam. Kau hampir buta, hampir semenjana. Maaf, Paduka, kau gelap sempurna, lihai memelihara ribuan buah delima yang sebentar lagi kaupecahkan,

agar aku membuat kalungmu dari bebulir airmata merah itu.


Tak jelas bagi kita apa sebab-musabab permusuhan mereka sebelumnya. Tak penting pula apakah si keledai mati oleh paduka atau pihak lain. Tiba-tiba ia lahir kembali dengan pencitraan diri yang baru. Kini ia sepenuhnya sosok Kisotis. Heroik sekaligus dungu. Tetapi sungguh ironis nasibnya, sebab konfrontasi itu hanya sebentuk permainan (catur), permainan yang telah membuat ia tersesat dan buta, yang memaksa ia untuk menamatkannya hingga binasa. Sementara Paduka tetap tak terjamah. Entah di mana.

Meski begitu, tetap tak bisa hilang kerinduan keledai pada tuannya. Di ujung pembinasaan dirinya ia membayangkan adanya semacam pertukaran peran atau penyatuan antara tunggangan dan penunggangnya—bandingkan dengan konsep “wahdatul wujud” dalam tradisi sufi—(“...sebab di jurang sana, yang terpiuh, yang tak lagi / gemuruh, siapa tahu, masih tercatat pantun abu-abu, pantun / tentang si junjungan yang menjadi hambanya sendiri...”)

Konfrontasi juga bisa terjadi antara ciptaan dan penciptanya, atau sebaliknya. Ini terjadi karena si makhluk telah mendapat otonomi penuh, sementara si pencipta mempunyai kelemahan tak termaafkan, sehingga si makhluk melawannya. Pada puisi “Torso Pualam” yang menampik menjadi “bayang-bayang” justru si pemahat, bukan pahatannya. Sebab sejak semula, posisi mereka terbalik. Si pemahat adalah “bujang” yang bisa berarti “lelaki” juga “jongos”, ia yang menghaluskan dan menyempurnakan wujud pahatannya. Tetapi pahatannya adalah sosok yang berkuasa, “Puan”, bentuk feminin untuk “Tuan.”

Puisi “Torso Pualam” dan “Lembu Jantan” juga bisa dibaca sebagai konfrontasi jantan-betina—di samping sebagai alegori penciptaan seni. Konfrontasi di dalam keduanya digerakkan oleh oleh motif erotik dan berbagai citraan yang berpusar pada persetubuhan. Jika dalam puisi pertama si betina tampil lebih pasif (sebab ia belum sepenuhnya kehilangan hakikat kepatungannya), pada puisi terakhir si betina sama aktifnya dengan si jantan. Sementara citraan tentang kejantanan bergerak dari lembu jantan ke si pacar dan si pelukis ke lembu jantan lagi dan kembali ke si pelukis: “tanduk” adalah lambang kejantanan lembu, bagi si pacar “tanduk lembu jantan” adalah penis kekasihnya, dan “zakar lembu” juga lambang kejantanan si pelukis.

Begitulah, si lembu jantan akhirnya melarikan diri ke ufuk pagi, sehingga kanvas si pelukis bukan lagi bidang datar dua dimensi tetapi alam itu sendiri. Karena si pelukis kerap mengabaikan pacarnya, maka lembu jantan yang penuh berahi merebutnya. Kini ia mampu menghancurkan keagungan si pelukis, memilih yang terbaik untuk dirinya. Ya, “aku bukan lagi miliknya, sebab aku mahir, terlalu mahir meemuja si betina di haribaanku.”

*

Lebih ke dalam lagi, konfrontasi si juru bicara dengan pendengarnya juga memberi peluang berkembangnya puisi menjadi jejaring cerita. Karena itu kasus ini lebih banyak terjadi pada puisi-puisi Nirwan yang “prosais”, yang beralaskan cerita, ketimbang dalam puisi-puisinya yang “puitis” sepenuhnya. Karena cerita menggerakkan maka ia pula yang menyediakan pelbagai unsur fiksional ke dalam wadah yang dialasinya. Kemungkinannya hanya dua: Ia menjadi jejaring cerita yang kompleks, kaya akan “bentuk” dan “jurus”, tetapi masih bisa ditelusuri. Atau ia sepenuhnya ruwet dan menyesatkan serupa labirin. Mungkin, hanya pembaca yang punya kecerdasan sepadan dengan si penyair bisa selamat dari siksaan itu.

Dengan sedikit pengecualian contoh-contoh yang telah saya kutip dia atas adalah puisi-puisi prosais yang terlihat kompleks tapi masih bisa saya menelusurinya. Citraan-citraannya kadang sangat ajaib tetapi tidak ganjil, alurnya punya banyak cabang tetapi masih bisa dilacak ujung-pangkalnya, karakternya menampilkan diri dari berbagai sisi tetapi masih bisa dikenali wujud aslinya. Seperti “Kucing Persia”, sebuah contoh yang lain lagi. Puisi ini tampak pada saya sebagai sebentuk ketergantungan antara aku dan kucing Persia-nya. Ia kucing yang telah menemani si aku dengan setia bertahun-tahun lamanya. Si aku mencoba mempelajari kucing itu dengan tekun sambil menghubungkan namanya dengan mitos dan dongeng dari Parsi. Si aku juga membuat berbagai citraan tentang kucing kesayangannya dengan khasanah dunia yang dikenalnya. Namun citraan yang sangat pribadi tetaplah cara paling ampuh untuk mengenali si kucing.

Lain halnya dengan “Anjing Kidal” atau “Bayonet”. Samar-samar saya bisa menangkap “Anjing Kidal” menggunakan dua sudut pandang orang pertama, anjing dan pemiliknya. Selanjutnya, masing-masing seraya hanyut dalam “arus kesadaran” membombardir saya dengan pelbagai cerita, segera berganti sebelum saya menuntaskan diri mencernanya, seperti racauan orang yang terserang demam. Begitu juga dengan citraan-citraannya, aduhai, langsung kelengar saya mereguknya. Samar-samar saya masih memindah “Getah” yang menggelegak tanpa inti, atau malah “Dadu” yang berpusing kehilangan arah matahari. Hingga gelap sepenuhnya.

*

Setelah sadar, ingatlah saya. Salah satu cara menelusuri puisi adalah dengan melacak motif-nya. Kata kaum cerdik pandai sastra, motif adalah unsur dasar yang bertugas mengembangkan naratif. Bentuknya bisa ide, kata, frase, tindakan, atau pernyataan karakter. Ia selalu berulang dan menyatukan karya. Motif pencerminan misalnya. (Ya, sang penyair sungguh berhutang budi pada Tuan Attar, Borges dan Cortazar.) Ia akan membuat tidak berorientasi ke luar dirinya, tetapi ke dalam dirinya sendiri. Ia meleburkan batas dan identitas, saling mengisi dan menyempurnakan, saling bertukar tempat antara pencipta dan ciptaan, pemburu dan buruan, bahkan menyatukan hamba dan paduka.

Ada sejumlah puisi dalam Jantung Lebah Ratu, lagi-lagi puisi-puisi yang prosais, yang menggarap motif pencerminan. “Harimau” merupakan model terbaik—dengan wujud yang lebih esaistis dan alegoris bisa juga disebut “Burung Merak”. Ia berupa satu bait dengan 48 larik. Judulnya dan beberapa identifikasi di dalamnya (raung, kuku, taring, memangsamu, jantan atau betina, mengerkahmu) menuntun kita untuk mengenali si juru bicara dan pendengarnya sama-sama harimau. Sebagai pemburu dan buruan mereka berbagi ruang, 28 baris pertama milik si aku, sisanya milik bayangannya (“aku”). Tetapi karena mereka sama-sama memakai sudut pandang orang pertama tunggal, keduanya adalah juru bicara sekaligus pendengar bagi yang lain.

Tentu saja, erotik juga motif yang bekerja dalam puisi ini. Larik-larik berikut ini (35—48) akan memperlihatkan bahwa pertarungan bukan lagi ajang pembinasaan tetapi proses pesetubuhan yang nikmat, penyatuan antara aku yang narsisistik dengan kembarannya—sebagaimana air dan kopi yang sungguh tak terpisahkan (puisi “Kopi”). Bahwa keduanya adalah satu—sebagaimana Attar mengisahkan 30 burung (si-murgh) adalah Simurgh itu sendiri:

Ketika darah menetes ke tubuhku

Kurasa aku telah melukaimu, mengerkahmu.

Dan pada sebentang cermin

tak dapat kulihat lagi wajahku

sebab birahiku telah sempurna.

Lalu dengarlah langkahku menjauh

ringan seperti detik jam.

Lalu dengarlah topan malam

ketika aku mengintai dari sudut terjauh

ketika kau mengasah kuku

ketika kauperawankan tubuhmu

ketika bundaku menjadi bundamu

ketika kau mencuri terang dari kulitku

ketika aku mencuri gelap dari kitab-kitabmu

Motif penyamaran adalah sejenis permainan metafora juga, dengan kadar yang lebih longgar dan penekanan pada intensi pelakunya. Dengan penyamaran kita berhadapan dengan goyahnya identitas, sebuah aksi pengecohan. Sesuatu bisa ini bisa juga itu. Pembaca mendapat dua atau lebih penampakan sekaligus yang sama meyakinkan sama membingunkan. Puisi “Blues” memberikan kita teka-teki, yang mana mawar sejati. Akukah? Atau halilintar? Keduanya sama menyamar sebagai mawar, sama berdurinya, sama melukainya. Tapi aku memenangkan persaingan itu mesti akhirnya kalah juga “Tapi aku / segera terbangun, menguncup, dan menusuk bola matamu, sebelum / akhirnya terkubur di antara saputanganmu dan matahari.” (Contoh terbaik lainnya untuk motif ini adalah puisi “Menuju Vignole” yang tidak diikutkan Nirwan dalam himpunan ini.)

*

Sementara dalam puisi-puisi Nirwan yang “puitis” saya seperti diajak pulang ke kampung halaman. Tentu saja ini kampung halaman yang mentereng karena telah menyerap pelbagai khasanah dunia, baik sastra maupun seni lainnya. Alusi adalah sebentuk bahasa kiasan yang memungkinkan terjadinya penyerapan itu. Namun, alusi yang sungguh berhasil adalah alusi yang memungkinkan puisi itu hadir sebagai subversi atau tandingan atau memperkaya karya yang menjadi sumber alusi. Ia mendorong penyair sebagai pembaca untuk melakukan “penciptaan kedua”. Jadi bukan sekadar gaya-gayaan dengan mengutip nama atau karya sastrawan tertentu.

Inilah yang terjadi pada “Dua Belas Kilas Musim Gugur” yang membayang-bayangi haiku atau “Tiga Biola Juan Gris” yang menafsir lukisan Juan Gris. Juga, puisi-puisi yang mengutip nama-nama penyair dan seniman lain sebagai sumber rujukan, tetapi tak perlulah saya komentari lagi.

Sementara puisi-puisi Nirwan yang menyerap khasanah nusantara (seperti pantun dan gurindam) hadir kepada saya sebagai percobaan yang terseok-seok. Para pendahulunya justru jauh lebih rileks dan tanpa pretensi. Tentu saja, “Gandrung Campuhan” atau “Kancing Gaya Lama” tidak bisa selancar dan selicin “Sajak Gadis Itali” atau “Si Anak Hilang” Sitor Situmorang. Nirwan memang tidak lagi memakai sampiran dan isi sebagai model, tetapi kita mendapatkan permainan bunyi dengan ketukan yang lebih ketat ketimbang sajak-sajak serupa kita hari ini. Ya begitulah nasib puisi modern, sajak bebas, yang mencoba tetap waras di bawah sihir puisi lama.

Jika, menyaru sebagai puisi lama membuat puisi-puisi Nirwan tampak pretensius dan tidak rileks lagi, maka puisi yang membebaskan diri dari model kuna itu justru bisa tampil lebih wajar. Apalagi pada sajak-sajak yang memaksimalkan personifikasi, yang membubuhkan nalar, rasa, dan keperibadian sebagaimana dimiliki manusia. Pada “Gerabah” atau “Kopi” misalnya Nirwan mampu menghadirkan cakrawala yang lebih luas lagi tentang dunia benda-benda—sebagaimana Vasco Popa memanusiakan dan meluaskan cakrawala sebuah kotak kecil dalam puisi “The Small Box”.

Saya kira, kita membutuhkan sikap rileks dalam arti yang seluas-luasnya, Bung. ***


Zen Hae, menulis puisi, cerita (pendek dan panjang), sesekali tinjauan sastra.

1 comment:

bangga surya nagara said...

salam kenal mas..........
mampir ke: banggasurya.blogspot.com