Kami memiliki dua blog khusus untuk buku sastra, terutama buku-buku sastra yang tak ada di toko buku:

1. http://pustakapelabuhan.blogspot.com/ -berisi info2 buku sastra yang bisa dipesan langsung ke penulisnya. Anda bisa memberikan info buku2 sastra yang sedang terbit lewat dinding Indrian Koto atau Jualan Buku Sastra.

2. http://jualbukusastra.blogspot.com/. Berisi daftar buku yang bisa dipesan kepada kami secara langsung. Anda bisa bekerjasama dengan kami dalam distribusi kecil-kecilan.

Sunday, August 19, 2007

Saya, Pembaca yang Kampungan

Saya ingat ketika datang pertama kali ke Yogya awal tahun 2004, saya kaget melihat begitu banyaknya buku dikoleksi secara pribadi. Setiap orang yang saya kunjungi memiliki rak-rak buku yang tertata rapi dengan kemasan yang menggoda minat saya. Rasa kaget itu berubah panik begitu melihat ada beberapa buku yang pernah saya dengar judulnya, pernah disebut-sebut pengarangnya. Keinginan saya meledak-ledak untuk segera membacanya. Keinginan semacam itu menjadikan saya seorang yang rakus; menumpuk sebanyak-banyaknya buku tanpa ada selera untuk membacanya.



Tragis memang, justru dalam kondisi seperti itu saya jadi kehilangan selera membaca. Kerakusan saya mengamati dan mencomot buku-buku tidak serta-merta diikuti keinginan membaca yang kuat. Begitu saya baca beberapa lembar buku yang ini, saya tergoda pula dengan buku yang itu. Untuk menyiasatinya saya kadangkala hanya membaca pengantarnya saja.


"Nanti kalau punya waktu kan bisa dibaca serius." Janji saya dalam hati. Janji yang sampai kini kadangkala sering terlupakan. Penyakit apa yang menimpa saya ini?


Di kampung, saya hanya mengenal pustaka sekolah sebagai tempat bersarangnya buku-buku pelajaran dan sedikit buku sastra. Di rumah saya memiliki beberapa buku dan majalah-majalah bekas. Teman-teman saya sering berkunjung ke rumah untuk numpang membaca.


Sejak kecil saya terbiasa dengan buku. Saya membacai buku-buku yang dipinjam dua kakak saya dari sekolahnya. Kebetulan mereka orang yang suka dengan bacaan. Waktu itu saya masih bocah kelas tiga SD yang tersedu membaca puisi "Karangan Bunga" Taufik Ismail. Saya terisak-isak membaca beberapa cerpen-cerpen sedih dari majalah remaja dan mencuri-curi kesempatan membacai novel Fredy S. yang dipunyainya. Setiap kali dia melarang, setiap kali itu pula muncul keinginan saya mengetahuinya.


Kakak sulung saya pindah ke kota provinsi dan saya yang masih tetap bocah yang sering dioleh-olehi komik dan buku-buku cerita. Bukunya bagus-bagus dan lucu-lucu. Ada Petruk-Gareng, ada cerita-cerita silat, ada bundelan majalah Bobo dan Donal Bebek, ada beberapa novel-novel ringan petualangan. Sebulan sekali saya menunggu oleh-oleh itu. Katanya dipinjam dari taman bacaan. Satu yang tersisa di kepala saya adalah, taman bacaan itu ternyata memiliki buku yang banyak, jauh lebih banyak dari perpustakaan sekolah. Di SD saya rata-rata buku-buku yang bertuliskan "milik negara, tidak diperdagangkan" di mana buku-buku itu rasanya terlalu membosankan dan banyak nasehat. Bayangkan, dia mengajarkan cara menanam singkong, membikin kolam ikan, menjaga hutan, melindungi satwa dalam buku panduan yang diisi cerita kepada anak desa semacam saya. Ah...!!


Taman bacaan bermain-main di kepala saya. Saya belum pernah ke sana, sekedar meliatnya pun belum. Saya hanya ingat stempel-stempel yang dipasang di hampir tiap bab buku yang kubaca, "TB Agung", "TB Dewasa", "TB Indah", misalnya. Kesempatan itu datang begitu saya dapat kesempatan sekolah di kota. Nyaris setiap hari saya mengunjungi taman bacaan yang terletak di kompleks Padang Theater yang terkenal banyak salon itu. Nyaris setahun saya hanya bolak balik dari kos ke taman bacaan, tempat imajiner di kala saya kanak dulu.


Di sini minat bacaku tumbuh semakin pesat. Aku membacai apa saja, membeli koran dan majalah apa saja. Saya mulai pula mendatangi toko buku dan numpang baca pula di sana. Di kos kamarku dipenuhi buku dan majalah hingga seorang kawan memberikan beberapa kotak kayu untuk dijadikan tempat buku-bukuku bersarang. "Jangan terlalu sering ke taman bacaan. Tidak bagus!" Kata saudara sulung saya yang baru pulang dari Yogya. Saya kaget juga tetapi saya mulai tersadarkan, bacaan itu ternyata tak melulu komik, cerita petualangan, buku pelajaran dan novel misteri. Saya hanya bisa setahun di kota, tidak naik kelas, lantaran jarang datang ke sekolah.


Di kampung saya kembali tak bisa berbuat banyak. Beberapa buku yang kupunya dibaca berulang-ulang sampai saya bisa menghapal detail peristiwa apa yang terjadi di halaman berapa dan seterusnya. Buku-buku itu kebanyakan tulisan tangan kakak saya yang dikemas dengan jilid yang rapi.


Dan tiga tahun kemudian saya tiba di Yogya. Apa yang selama ini saya baca dan saya koleksi, di sini tak satu pun saya temukan. Buku-buku mereka tebal, berat dan serius. Dan untuk beberapa bulan pertama saya tetaplah seorang yang rakus mengacak-acak buku dan tak berselera membacanya. Setiap tempat yang datangi selalu memiliki banyak buku yang berbeda anatara satu dengan lainnya. Kadang saya berpikir, seandainya dulu tidak terbiasa dengan buku mungkin tak ada beban apa-apa ketika melihat buku-buku sebanyak itu. Sebab, sampai saat ini saya tetaplah pembaca yang payah.


Jika dulu di desa saya penakluk buku, di kota saya takluk oleh buku.


Yogyakarta, 2007

No comments: