Kami memiliki dua blog khusus untuk buku sastra, terutama buku-buku sastra yang tak ada di toko buku:

1. http://pustakapelabuhan.blogspot.com/ -berisi info2 buku sastra yang bisa dipesan langsung ke penulisnya. Anda bisa memberikan info buku2 sastra yang sedang terbit lewat dinding Indrian Koto atau Jualan Buku Sastra.

2. http://jualbukusastra.blogspot.com/. Berisi daftar buku yang bisa dipesan kepada kami secara langsung. Anda bisa bekerjasama dengan kami dalam distribusi kecil-kecilan.

Tuesday, August 14, 2007

Jalan yang Menelan Hantu dan Politikus

 











Jalan yang Menelan Hantu dan Politikus

Judul: The Famished Road
Penulis: Ben Okri
Penerjemah: Salahuddien Gz
Penerbit: Serambi, Jakarta, Juni 2007
Tebal: 846 halaman

“Ada banyak jalan masuk ke Afrika, tetapi hanya ada satu jalan keluar... satu-satunya jalan keluar dari Afrika adalah menjadi orang Afrika.” (813).



Ben Okri mencoba menipu anda dengan menawarkan roh dan hantu dalam ceritanya. Pada kenyataannya dia sedang berbicara kehidupan Afrika yang menderita dan lapar dicekcoki politik-politik busuk. Politik yang membuat orang-orang miskin dan terbelakang itu menjadi saling bermusuh. Politik pula yang membuat orang-orang yang masih percaya kepada roh-roh, cenayang, hantu, tukang santet dan dukun harus saling bercuriga satu sama lain. Di dalam kisah politik yang bohong dan jahat itulah Azaro si abiku (anak roh) hidup di antara dia dunia - dunia roh dan dunia manusia– yang terus menerus menerus mengombang-ambingkannya.

Dalam novelnya Okri mengajak kita menyusuri pedalaman kepercayaan Nigeria sekaligus menyaksikan kehidupan yang berjalan dengan buruk. Di hutan yang ditumbuhi iroko, baubalo, obeche dipenuhi makhluk aneh dan menakutkan. Keseharian mereka yang bergantung kepada dukun dan orang sakti. Di sana, di wilayah yang ‘sempit’ itu tumbuh modernisasi dari warung Mak Koto, perempuan yang disegani penduduk, lewat suguhan agogoro dan sop ladanya. Dari warung itu pula kemolekan dunia terpancar; cahaya listrik yang membuat orang-orang takjub dan tercengang, gramofon yang dianggap sebagai permainan sihir. Di sana pula berkumpul para politikus busuk, preman, pemabuk, lonte, orang kulit putih dan pengemis. Di sana berserak muntah manusia, segala sumpah dan kutukan juga kalender coca-cola. Di sana pula bertempat roh-roh bermata juling dan bengkak, berbibir besar dan lebam roh albino dan hantu berkepala tiga juga berkepala empat yang siap menyeret Azaro kembali ke ‘alamnya’..
***
Dalam kehidupan yang sulit sebagai orang terjajah, mereka disodori dengan pilihan politik yang kejam. Di tempat inilah Azaro lahir dan ‘mengalir’ seperti ‘kelokan sungai’. Ia tumbuh pada kehidupan Nigeria yang keras dan kasar, remeh dan absurd. Orang-orang terbiasa dengan perkelahian dan nasib buruk sebagaimana mereka terbiasa dengan serbuan nyamuk dan lalat.

Azaro hilang setelah terjadi kebakaran dan huru-hara di tempat tinggalnya. Ia berhasil dibawa pulang oleh kekuatan Mak Koto dan kasih ibunya. Sejak itu pula dia tidak bisa melepaskan diri dari pandangan pandangan ‘aneh’nya tentang makhluk-makhluk halus yang menampakkan diri padanya dan memburunya untuk segera di ajak pulang – ke kampung roh.

Sejak itu ia bekerja pada Mak Koto di warungnya yang kecil dan sumpek, warung yang selalu penuh dengan perkelahian dan bekas muntahan. Warung yang kemudian menjadi tempat berkumpulnya orang-orang partai. Semula Mak Koto membenci politik dan segala obrolan tentangnya, tapi perkelahian di sebuah malam yang membuat hidupnya sengsara dia berubah pikiran. Malam itu segalanya menjadi lain bagi Mak Koto, untuk pertama kalinya dia menangis dan Mak Koto, juga kedainya tak akan pernah sama lagi (384). Ia berubah Menjadi Mak Koto yang lain, Mak Koto yang membuka ‘pintu’ seluas-luasnya untuk ‘segala yang baru’ masuk ke dalam warungnya.

Sejak itulah hidup berubah semakin keras. Mak Koto yang berperan sebagai batas antara tradisi dan modern kini memilih jalan aman dengan membiarkan politik dan kebaruan masuk ke dalam kedainya. Maka dengarlah rintihan perih dukun mabuk ini. “Terlalu banyak jalan! Berbagai hal berubah terlalu cepat! Tak ada kehendak baru. Kepengecutan ada di mana-mana. Keangkuhan sedang menguntal dunia. Mereka menghancurkan Afrika! Mereka membinasakan dunia dan kuil-kuil dan dewa-dewa! Mereka juga membunuh cinta. (642)”

Azaro hidup dalam keterombang-ambingan antara dunia yang berjalan perih atau dunia roh tempat kawan-kawannya menunggu. Meninggalkan dunia adalah meninggalkan ibu dan bapaknya yang berharap banyak kepadanya. Sang bapak yang sudah letih dengan kemelaratan mulai mewujudkan cita-citanya menjadi seorang petinju. Dia sibuk latihan dan berkelahi dengan berbagai manusia dan para hantu.

Kesibukannya yang ‘berbeda’ itu menimbulkan kerisauan di hati politikus yang punya telinga di mana-mana. Suatu hari diantarkan pada sang bapak seorang petinju yang disokong oleh salah satu partai. Tapi si bapak adalah orang yang mulai cuek dengan dunia dan segala hiruk-pikuknya. Ketika orang-orang sudah berkerumunan dan ingin melihat aksi duel si Bapak dengan seorang petinju yang menunggu di depan rumahnya,dia malah tertidur dengan nyaman di kamarnya yang bau, penuh lalat, nyamuk dan tikus (663). Barangkali penantian orang-orang ini, sesuai dengan apa yang ia katakan. “Ketika orang tidak percaya kamu bisa melakukan sesuatu, namun kamu sanggup melakukannya, itulah titik awal mereka hormat padamu... waktu berlalu. Mereka lelah denganmu. Mereka bosan menantikanmu. Lalu mereka tak lagi meyakinimu. Itulah saatnya bagimu untuk unjuk gigi lagi pada mereka (648).”

Kelakuan si Bapak berubah setelah itu. Ketika bangun dari ‘kematian’nya selama lima hari, dia mulai sibuk mencericaukan bahasa politik. Dia memimpikan dirinya menjadi Kepala Negara mengenyahkan bangsa kulit putih dari tanah mereka (688). Dia mulai membeli buku-buku apa saja dari uang hasil bertinjunya dan memaksa Azaro membacakan untuknya sepanjang hari. Setelah itu ia mendatangi semua orang dan meminta mereka memilihnya saat pemilu berlangsung. Dia seorang politikus miskin yang jujur dan hanya memiliki 7 orang pengemis sebagi pengikut setianya. Dia seorang yang merindukan politik yang bersih, mendambakan sebuah negara yang aman untuk bangsanya dan mengajarkan kepada mereka hal-hal kecil yang mengejutkan. “Kita harus membersihkan sampah dari jalan kita sebelum membersihkan sampah dari pikiran kita (690).” Dan dia tetaplah seorang calon Kepala Negara dengan 7 orang pengikutnya. Impian seorang miskin yang bersih dan tertindas.

Barangkali. Hidup serupa jalan yang lapar, menelan apa pun tanpa berniat mengembalikannya ke asal-mula. Jalan yang juga serupa ‘perut’ kapitalis yang tak pernah kenyang dan memburui apa pun untuk melengkapi rasa lapar yang “perutnya seluas danau”. Atau katakanlah “sekelok sungai” yang bercabang ke seluruh dunia, memaksa imprealis masuk ke seluruh penjuru, tak terkecuali bangsa “berkulit sehitam malam” yang hidup nyaman dengan segala kemiskinan mereka.
Impian terakhir mereka, bangsa Afrika itu hanyalah menunggu kelahiran Sang Juru Selamat baru yang terdapat dalam diri Azaro. Dan kemiskinan tetap berjalan dengan semestinya. Tak ada jalan keluar dari sana, sebab satu-satunya jalan keluar hanyalah “menjadi seorang Afrika”.
***
The Famished Road ini memenangi Booker Prize tahun 1991. Ben Okri pengarangnya membangun cerita ini dengan bahasa-bahasa pendek yang mengejutkan. Dia bertutur seperti seorang pendongeng. Kita diajak memasuki wilayah pedalaman yang tergusur oleh penjajahan dan kemajuan dengan hentakan-hentakan bahasa yang singkat yang mengejutkan. Okri bertutur tentang nasib kelam bangsanya yang hidup dalam distorsi bangsa eropa dengan cara yang liris, detail, pelan dan lamban seakan takut menyeret siapapun ke “jalan”nya yang “lapar”. Pertentangan ras yang keras dan gesekan tradisi dan modernitas diceritakan secara halus, membuat kita ikut merintih dalam kesakitan hidup yang menghimpit. Dia menulis novel ini dalam bahasa Inggris, seakan mengesampingkan John Knappet yang mengatakan bahwa “tidak mungkin ada sastra Afrika yang lain kecuali sastra dalam bahasa Afrika.”

Ben Okri membuktikan, The Famashed Road ditulis dalam bahasa yang menurut I.N.C. Aniebo –novelis yang juga berbangsa Nigeria– sebagai milik “orang-orang bodoh yang ke sini dan memaksa kami menggunakannya.”

Sekali anda memasuki halaman buku ini anda akan tersesat di mulut jalan yang serupa labirin itu dan tak akan bisa keluar dari sana, sebagaimana mereka – orang Afrika – hidup dalam kekelaman nasib buruk dan penjajahan.

No comments: