Kami memiliki dua blog khusus untuk buku sastra, terutama buku-buku sastra yang tak ada di toko buku:

1. http://pustakapelabuhan.blogspot.com/ -berisi info2 buku sastra yang bisa dipesan langsung ke penulisnya. Anda bisa memberikan info buku2 sastra yang sedang terbit lewat dinding Indrian Koto atau Jualan Buku Sastra.

2. http://jualbukusastra.blogspot.com/. Berisi daftar buku yang bisa dipesan kepada kami secara langsung. Anda bisa bekerjasama dengan kami dalam distribusi kecil-kecilan.

Monday, June 2, 2008

Silangan: Jender dalam Teks Indonesia

Pola dan Silangan: Jender dalam Teks Indonesia*

oleh Katrin Bandel**

Sering dikeluhkan bahwa di Indonesia tulisan di bidang kritik sastra, kritik film, dan kritik seni-seni lain maupun di bidang kajian gender masih terlalu sedikit dan kurang bermutu. Maka tentu amat menggembirakan bila ada lembaga yang berusaha memperbaiki kondisi yang mengenaskan tersebut. Kerjasama antara sebuah jurnal sastra yang cukup terpandang dan sebuah lembaga funding internasional, yaitu Kalam dan Hivos, seharusnya bisa menghasilkan buku yang bermutu dan bermanfaat. Meskipun dapat diduga bahwa Kalam sebagai bagian dari Komunitas Utan Kayu (KUK) mungkin saja memilih tulisan dengan tema dan agenda politis yang sesuai dengan ideologi komunitas tersebut, paling tidak kita dapat mengharapkan bahwa standar mutu tertentu akan dijaga, baik sebagai wujud tanggung jawab kepada pemberi funding, maupun karena kedua lembaga ternama itu perlu menjaga reputasi mereka sehingga mereka akan malu mengeluarkan buku yang bermutu rendah. Namun ternyata dalam kasus buku Pola dan Silangan: Jender dalam Teks Indonesia (2007) harapan itu tidak terpenuhi. Meskipun, seperti yang pasti diketahui sebagian pembaca, saya sama sekali bukan termasuk pemuja KUK, saya tetap kaget bahwa Kalam berani mengeluarkan buku dengan kualitas seburuk itu, baik dari segi isi maupun dari segi penampilan (terutama sampul).

Dari segi konsep buku saja, Pola dan Silangan sudah sangat meragukan. Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang terdiri dari lima esei, ditambah pengantar Lisabona Rahman selaku penyunting. Menurut keterangan Lisabona dalam tulisan pengantarnya, "dasar tematis yang ditentukan sangat luas, yakni tulisan-tulisan yang mengulas persoalan jender dalam teks (yang diproduksi di) Indonesia" (hlm. 1), dan dengan tema tersebut Lisabona kemudian "meminta tulisan kepada beberapa penulis yang aktif menulis dengan menggunakan analisis jender" (ibid.). "Beberapa di antara tulisan itu sudah pernah terbit dalam bahasa Inggris" (hlm. 1-2), begitu keterangan Lisabosa selanjutnya – tapi dia "lupa" menerangkan tulisan yang mana dan di mana tulisan dimaksud diterbitkan. Hanya pada salah satu tulisan, yaitu esei Intan Paramaditha tentang film Pasir Berbisik, lewat catatan kaki kita diberi informasi di mana versi Inggris esei itu pernah dimuat. Tidak jelas ketiga esei lain yang juga diterjemahkan dari bahasa Inggris ditulis dalam rangka apa, dan pernah diterbitkan atau tidak. Terjemahan dikerjakan bukan oleh para penulisnya sendiri melainkan oleh penerjemah (Idaman Andarmosoko, Bambang Agung, Rani Elsanti dan Setiaji Purnasatmoko) , dan esei yang ditulis untuk pembaca di luar Indonesia itu tampaknya sama sekali tidak diubah untuk diterbitkan di Indonesia. Di beberapa tempat terdapat penjelasan yang sama sekali tidak dibutuhkan oleh pembaca Indonesia, misalnya keterangan panjang lebar tentang sejarah Indonesia sebagai latar belakang pelarangan novel Pramoedya Ananta Toer (sampai – entah apa relevansinya – menceritakan pembredelan Tempo dan beberapa media lain, hlm. 68).

Kelihatannya setelah dimintai tulisan tentang apa saja, asal berkaitan dengan jender dan teks Indonesia, para penulis yang dihubungi Lisabona itu memang menyerahkan apa saja yang kebetulan tersedia – tulisan berbahasa Inggris yang tidak jelas statusnya itu mungkin merupakan tugas kuliah mereka di luar negeri, atau makalah seminar yang tidak digarap dengan serius. Bahkan untuk mengindonesiakan tulisan mereka sendiri dan menyesuaikannya dengan kebutuhan pembaca Indonesia mereka tidak bersedia, meskipun mereka semua orang Indonesia. Hasilnya adalah sebuah buku yang, meski dibiayai dengan funding yang pasti tidak kecil jumlahnya, tampak benar-benar "asal jadi"!

Kelima tulisan dalam Pola dan Silangan demikian penuh dengan kesalahan, kejanggalan, asumsi tidak berdasar, argumentasi yang tidak masuk akal dan hal-hal lain yang mengganggu, sehingga seandainya semua yang pantas dikritik dibicarakan di sini, tulisan ini bisa jadi akan lebih panjang daripada buku Pola dan Silangan itu sendiri. Maka saya akan membatasi diri dengan sekadar membicarakan persoalan-persoalan pokok yang menurut saya menjadi kekurangan masing-masing tulisan.

Esei pertama adalah tulisan Diana Teresa Pakasi berjudul "Tubuh, Hasrat, Relasi: Konstruksi Seksualitas Perempuan dalam Majalah Laki-Laki". (Esei ini adalah satu-satunya tulisan yang bukan terjemahan dari bahasa Inggris.) Yang dibahas dalam esei tersebut adalah majalah laki-laki Popular, terutama sebuah rubrik berjudul "Mimpi Bersama" dalam majalah tersebut. Meskipun rujukan buku teorinya sangat beragam – dari Simone de Beauvoir sampai Michel Foucault, dari Catherine McKinnon sampai Ien Ang – ternyata Diana berangkat dari asumsi yang sangat sederhana dan ketinggalan zaman, yaitu bahwa "tubuh dan seksualitas perempuan dirumuskan oleh dan untuk laki-laki" (hlm. 13). Dengan asumsi tersebut, teks dan gambar dalam
majalah Popular yang ditelitinya dipahaminya secara stereotipikal sebagai objektifikasi perempuan yang dilakukan oleh laki-laki demi kesenangan laki-laki, dan, lebih jauh, sebagai contoh atau bukti betapa seksualitas perempuan dikonstruksi hanya demi kepuasan laki-laki. Selain tidak menawarkan pemahaman baru pada pembacanya – bahwa sebuah rubrik majalah laki-laki yang terdiri terutama dari foto perempuan cantik berpakaian minim dalam pose menantang bertujuan terutama untuk menyenangkan laki-laki tentu bukan penemuan yang mengherankan sedikit pun! – asumsi tersebut ternyata justru menyulitkan Diana sendiri dalam memahami teks yang dibacanya. Diana misalnya mengutip sebuah tulisan berjudul "Pria Perlu Tahu Lebih Dalam Soal Mrs. V" (Popular Desember 2004) yang membicarakan fungsi "cairan pelumas" yang "membuat Mrs. V makin elastis": "Memang pada umumnya, bagi laki-laki semakin seret, semakin menambah kenikmatan. Namun, sayangnya bila ini terjadi, hanya pihak laki-laki yang merasakan kenikmatan. Sementara sang wanita tidak bisa menikmati dan justru merasakan kesakitan." (hlm. 31-32)

Bukankah sangat jelas di sini bahwa lewat tulisan tersebut majalah Popular menganjurkan pada pembacanya (laki-laki) untuk lebih memperhatikan perasaan perempuan ketika berhubungan seks, dan tidak sekadar mementingkan kepuasannya sendiri saja? Tapi Diana tampaknya tidak ingin melihat hal itu. Menurut Diana "[t]eks ini mencerminkan kode-kode kultural dalam masyarakat kita bahwa semakin kesat vagina, semakin besar kenikmatan yang diperoleh laki-laki" (hlm. 32), tanpa sedikitpun mengomentari bahwa tulisan yang dikutipnya justru mengkritik "kode-kode kultural" tersebut!

Esei kedua, yaitu "'Identitas Antara' dalam Novel-Novel Nh. Dini" oleh Intan Paramaditha, membahas dua novel Nh. Dini, yaitu Keberangkatan dan Pada Sebuah Kapal. Intan menggambarkan perjuangan tokoh utama kedua novel itu, yaitu seorang perempuan Indo yang ingin diterima sebagai "orang Indonesia" dalam Keberangkatan dan seorang perempuan Jawa yang menikah dengan laki-laki Perancis dalam Pada Sebuah Kapal, untuk mencari posisi dan identitas diri yang nyaman di tengah-tengah imaji stereotipikal tentang diri mereka: stereotipe perempuan Indo yang berperilaku seksual terlalu bebas di mata orang Indonesia, stereotipe perempuan Indonesia yang lugu, bodoh dan penurut di mata orang Barat, stereotipe perempuan Indonesia sebagai penjaga "moralitas Timur" di mata orang Indonesia sendiri, dan seterusnya. Meskipun tema tersebut menurut pandangan saya cukup menarik, asumsi-asumsi dasar Intan yang baru diungkapkan di alineaterakhir eseinya, membuat pembahasannya sulit diterima:
"Para [protagonis] perempuan ini merumuskan ulang kebangsaan dan menemukan identitasnya sebagai perempuan di luar kerangka nasional yang kaku. Namun identitas yang lebih cair ini tetap menyisakan persoalan karena tak mampu menyelesaikan jarak yang terbentang antara kaum perempuan sendiri. Para protagonis masih belum berhasil menghapus sekat antara citra perempuan Indonesia, seberapapun lentur identitas itu, dengan penggambaran perempuan Barat/Indo sebagai liyan yang negatif." (hlm. 61)

Kata siapa bahwa jarak antara perempuan harus "diselesaikan" (maksudnya "dihilangkan" ?) dan "sekat" antara "citra perempuan Indonesia" dan "penggambaran perempuan Barat/Indo" harus dihapus? Atas dasar apa Intan berasumsi demikian? Menurut pembacaan saya kedua novel itu memperlihatkan betapa interaksi antara konstruksi jender, nasionalitas dan etnisitas menghasilkan posisi yang sulit dan serba salah bagi kedua tokoh utama. Karena posisi serba salah itu berkaitan dengan relasi kekuasaan pascakolonial, tentu tidak mungkin persoalannya begitu saja "diselesaikan" dan segala stereotipe "dihapus". Juga, tidak mungkin perbedaan antara perempuan, misalnya antara perempuan Indonesia dan perempuan Barat, begitu saja dihilangkan. Maka bagi saya alinea terakhir esei Intan sangat mengecewakan karena di situ terungkap dengan jelas betapa Intan sama sekali tidak punya kesadaran akan pascakolonialitas.

Esei ketiga, yaitu esei "`Tetralogi Buru', Kecantikan Perempuan dan Maskulinitas Pascakolonial" yang ditulis Luh Ayu Saraswati P. berangkat dari sebuah asumsi yang lebih janggal lagi. Di awal eseinya Luh Ayu sekilas mengutip tulisan Ann Stoler tentang "demaskulinisasi para lelaki bangsa jajahan" (hlm. 64). Demaskulinisasi semacam itu merupakan bagian dari cara pandang Orientalis: Orang Barat (selaku penjajah) memandang penghuni tanah jajahan (dan bahkan juga tanah jajahan itu sendiri) sebagai makhluk rendah serupa perempuan yang perlu dan pantas ditundukkan dan dibimbing atau dibentuk.

Adanya stereotipe dalam pemikiran orang Barat tersebut tentu saja tidak serta merta membuat orang terjajah, terutama laki-lakinya, merasa diri mereka "didemaskulinisasi" alias bukan laki-laki lagi. Namun Luh Ayu tidak mempedulikan hal itu. Dengan dasar rujukan pada tulisan Stoler dan beberapa tulisan penulis Barat lain mengenai "demaskulinisasi" , dia mengasumsikan begitu saja bahwa tokoh Minke dalam Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer merupakan laki-laki terjajah yang kehilangan maskulinitasnya. Selanjutnya, begitu penjelasan Luh Ayu, tulisannya bertujuan untuk "menganalisis tokoh Minke dan perempuan-perempuan nya yang cantik mengingat hal ini menjelaskan bagaimana hubungan dia dengan perempuan-perempuan cantik ini menegakkan kembali maskulinitasnya" (hlm. 76). Luh Ayu rupanya tidak merasa perlu menunjukkan di mana teks novel Pramoedya menggambarkan Minke sebagai laki-laki yang kehilangan maskulinitasnya. Yang dikutipnya justru adegan dari awal novel Bumi Manusia dimana Minke, seorang pemuda yang baru mulai beranjak dewasa, ditantang oleh teman sekolahnya untuk membuktikan "kejantanannya" dalam pertemuan dengan seorang perempuan (hlm. 72-73) – sama sekali bukan imaji seorang laki-laki yang kehilangan maskulinitas, melainkan imaji seorang pemuda yang baru mulai bereksperimentasi dengan seksualitas/ maskulinitasnya!

Berangkat dari asumsi itu, Luh Ayu kemudian sampai pada kesimpulan bahwa "menggagas kembali maskulinitas melalui kepemilikan perempuan cantik adalah usaha yang memiliki pembawaan seksis" (hlm. 91), dan bahwa Tetralogi Buru merupakan "teks yang maskulinis" yang "perlu dipertanyakan" (ibid.). Selain berangkat dari asumsi yang salah, argumentasinya pun berdasar pada pembacaan teks novel Pramoedya yang sangat ceroboh. Saya akan menunjukkan salah satu contoh saja. Menurut Luh Ayu, "[k]etidakmampuan Annelies [i.e. istri pertama Minke dalam Bumi Manusia] hidup tanpa Minke memperlihatan bagaimana teks-teks itu membangun maskulinitas Minke melalui kepemilikan perempuan" (hlm.78). Padahal bukankah novel Bumi Manusia menawarkan penjelasan lain tentang perilaku ganjil Annelies yang sangat menggantungkan diri pada Minke, yaitu bahwa perilaku tersebut disebabkan oleh pemerkosaan yang dialami Annelies sebelum bertemu dengan Minke dan oleh hubungannya yang problematis dengan ibunya! Dan bukankah Minke sendiri sama sekali tidak digambarkan mengharapkan, apalagi sengaja menciptakan, ketergantungan itu – sebaliknya, Minke sendiri pun bingung menghadapi perilaku Annelies yang ganjil tersebut!

Esei yang keempat, yaitu esei kedua Intan Paramaditha berjudul "Pasir Berbisik dan Estetika-Perempuan Baru dalam Sinema Indonesia", bagi saya kurang memuaskan terutama disebabkan pendekatan teoritisnya, yaitu Psikoanalisis, yang digunakan dengan cara yang sulit diterima. Menurut Intan, film Pasir Berbisik "menawarkan suatu estetika feminin baru" karena

"Pasir Berbisik menjelajahi dimensi-dimensi tatapan perempuan dan voyeurisme perempuan, serta melakukan reapropriasi terhadap struktur naratif Oedipal." (hlm. 99)

"Voyeurisme" perempuan menurut Intan terjadi pada adegan ketika tokoh Daya mengintip ibunya bekerja, yaitu membuat jamu dan menolong orang melahirkan. Namun saya tidak menemukan argumentasi mengapa "voyeurisme [yang] lebih didasarkan pada hasrat untuk tahu
ketimbang kecabulan" (hlm. 122) itu tetap bisa disebut "voyeurisme" ? Bukankah kata "voyeurisme" , terutama dalam konteks Psikoanalisis, didefinisikan sebagai tindakan memandang/mengintip yang memberi kenikmatan seksual (misalnya mengintip orang membuka pakaian atau melakukan hubungan seks)? Kalau orang sekadar memandang/mengintip tanpa ada unsur rangsangan seksual, bukankah orang itu memang sekadar memandang saja, bukan menjadi voyeur?!

"Pembalikan drama Oedipus" menurut Intan berupa "[p]ergeseran dari hasrat terhadap sang ayah menjadi hasrat terhadap sang ibu" (hlm.123), disebabkan oleh kesadaran Daya pada akhir film bahwa ayah yang dulu selalu dirindukannya ternyata tega mengkhianatinya dan ibunya sangat menyayanginya, meskipun selalu bersikap keras. Interpretasi ini bagi saya terkesan sangat sembrono dan dangkal – bukankah Kompleks Oedipus dalam Psikoanalisis dipahami sebagai bagian dari pengalaman masa kecil yang kemudian masuk ke alam bawah sadar kita sehingga tidak mungkin begitu saja dibalik dengan mudah melalui narasi sederhana semacam itu?

Disamping itu, pendekatan Psikoanalisis yang digunakan Intan membuatnya melihat drama keluarga dalam film Pasir Berbisik dengan cara yang sama sekali tidak kontekstual – sebuah drama keluarga kelas menengah di kota akan bisa dianalisis dengan cara yang tidak jauh berbeda. Sang ibu bersikap restriktif terhadap anak perempuannya, kemudian ayah yang lama menghilang tiba-tiba muncul kembali dan merebut perhatian sang anak, tapi pada akhirnya sang ibu membalas dendam dan "memperoleh kembali kekuasaannya dari tangan sang ayah" (hlm. 123) – sebuah skenario yang dapat terjadi di mana saja. Yang tidak diperhatikan oleh Intan adalah konteks sosial yang membuat sikap sang ibu terasa sangat beralasan dalam film tersebut. Daya adalah seorang gadis remaja cantik yang hidup dalam kemiskinan di tengah kekerasan akibat Peristiwa 65, awalnya tanpa ayah tapi kemudian dengan ayah yang tega menjual anaknya sendiri, tanpa pendidikan sekolah sama sekali, dengan seorang bibi yang menjadi pelacur. Bukankah sangat wajar kalau sang ibu khawatir akan nasib anaknya, apalagi anak itu tampaknya sangat lugu dan tidak menyadari daya tarik seksualnya di mata laki-laki?

Tapi mungkin memang tidak masuk akal kalau kita mengharapkan sikap seorang ibu yang ingin melindungi anaknya dari pelecehan seksual dan khawatir anaknya terjerumus ke dalam pelacuran akan bisa dipahami penulis semacam Intan Paramaditha yang menyebut pelacur sebagai "perempuan yang terbebaskan secara seksual" (hlm. 118)!

Seperti keempat esei sebelumnya, esei terakhir, yaitu esei Manneke Budiman berjudul "Mencari Ruang Simbolik dalam Laluba, Kuda Terbang Maria Pinto, dan Sihir Perempuan", juga berdasar pada asumsi yang sangat janggal. Setelah membuat klaim bombastis bahwa novel Saman karya Ayu Utami telah menjadi "trend-setter" (hlm. 128) yang bukan hanya membuat "mata perempuan muda Indonesia mulai terbuka pada fakta bahwa menulis bisa menjadi wahana yang menjanjikan bagi aktualisasi diri" (hlm. 127), tapi juga memicu "ledakan produksi di bidang sastra" secara umum – betapa tidak berdasar dan tidak masuk akalnya klaim tersebut tidak perlu dibahas lagi di sini – Manneke menyatakan bahwa "keterpukauan pada dimensi seksual" dalam karya Ayu Utami dan beberapa rekannya "menyebabkan sejumlah penulis perempuan lain jadi agak terlewat dari perhatian". Penulis perempuan lain yang dimaksudnya itu "antara lain, adalah Nukila Amal, Linda Christanty, dan Intan Paramaditha" (hlm. 129). Atas dasar pengamatan tersebut, Manneke kemudian membaca karya mereka sebagai karya pengarang yang "marjinal" atau "terpinggirkan" dalam sastra Indonesia. Di sisi lain, sebagai bukti mutu karya mereka, Manneke menyebut bahwa kumpulan cerpen Linda Christanty memenangkan "Penghargaan Sastra Khatulistiwa" (hlm. 129), bahwa Sihir Perempuan karya Intan Paramaditha dipuji "dua orang kritikus terkemuka, Melani Budianta dan Nirwan Dewanto" (ibid.), dan kumpulan cerpen Laluba karya Nukila Amal "oleh majalah Tempo didaulat sebagai karya sastra terbaik tahun2005" (hlm. 137).

Pemetaan pengarang perempuan Indonesia yang dilakukan Manneke Budiman bagi saya terkesan sangat mengada-ada dan tidak masuk akal. Kalau mainstream terdiri dari segelintir pengarang perempuan yang menjadi selebriti karena menulis tentang seks – nama yang disebut Manneke hanya Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu dan Dinar Rahayu – dan "pinggiran" alias "marjin" (begitulah istilah yang dipakai, sepertinya sebagai terjemahan kata Inggris "margin") terdiri dari segelintir pengarang lain yang tidak menulis tentang seks tapi mendapat apresiasi tinggi lewat penghargaan dan pujian pengamat di media massa, lantas di manakah tempat pengarang-pengarang perempuan yang lain? Di mana misalnya tempat Maria Bo Niok, Putu Vivi Lestari, Nur Wahida Idris, Diah Hadaning, Helvy Tiana Rosa, Medy Loekito, Clara Ng? Di pinggirannya pinggiran?

Penyunting buku saja tampaknya tak sepenuhnya bisa menerima argumentasi Manneke tersebut: Lisabona memilih untuk tidak mengadopsi kata "pinggiran" atau "marjin" ketika dalam pengantarnya dia menjelaskan bahwa Manneke dalam eseinya melakukan perbandingan antara karya "penulis perempuan yang dianggap dominan dengan yang kurang dominan" (hlm. 5).

Sebagai "dasar teoritis" pemetaan yang amburadul tersebut Manneke membicarakan "marjin" dengan merujuk pada tulisan bell hooks dan Ien Ang. Hooks dan Ang membicarakan posisi kelompok marjinal/tertindas dalam konteks politik identitas etnisitas/ras di negara Barat (Amerika Serikat dan Australia). Namun begitu saja Manneke mengadopsi konsep itu, seakan-akan situasi yang dibicarakan hooks dan Ang dimana kelompok tertentu terpinggirkan berdasarkan warna kulit mereka, bisa disamakan dengan situasi Nukila Amal, Intan Paramaditha dan Linda Christanty yang "terpinggirkan" karena karya mereka tidak dihebohkan
seperti karya Ayu Utami atau Djenar Maesa Ayu! Dan ungkapan bell hooks bahwa pinggiran dapat dijadikan pilihan dan digunakan untuk melakukan kritik terhadap sistem dominan ternyata dipahami Manneke sebagai ajakan untuk seenaknya menobatkan penulis mainstream yang sedikit "kurang dominan" sebagai wakil "pinggiran" yang subversif! Bukan main!

Tapi mungkin dengan memfokuskan kritik saya pada persoalan-persoalan utama dalam argumentasi setiap esei, saya menimbulkan kesan yang terlalu positif tentang buku Pola dan Silangan, yaitu kesan seakan-akan dalam setiap esei di buku tersebut paling tidak terdapat sebuahargumentasi yang jelas, runut dan enak dibaca, meskipun sulit diterima. Sama sekali bukan demikian kenyataannya. Sebagai contoh saja: Saking tidak jelasnya deskripsi rubrik majalah Popular yang dibahas Diana Teresa Pakasi, saya terpaksa membeli edisi terbaru majalah tersebut untuk memahami apa yang dikatakannya. Setelah menjelaskan bahwa "[r]ubrik `Mimpi Bersama' menampilkan wawancara artis perempuan yang disertai gambar sang artis mengenakan baju tidur" (hlm. 17), Diana kemudian membahas tulisan dalam rubrik itu yang ternyata tidak terdiri hanya dari wawancara saja, tapi juga dari semacam teks pengantar. Teks pengantar tersebut dibicarakannya antara lain dengan mengatakan bahwa kalimat "Karina mengenakan balutan lingerie Nico-Nico yang seksi" berfungsi membuat pembaca "membayangkan Karina mengenakan pakaian tidur" (hlm. 21 – dan pada halaman sebelumnya (hlm. 20) terdapat ungkapan serupa yang juga menggunakan kata "membayangkan" ). Saya menjadi bingung – bukankah sebelumnya dia mengatakan ada foto sang model mengenakan pakaian tidur? Lalu mengapa teks pengantarnya dibaca sebagai ajakan untuk "membayangkan" sesuatu yang sudah jelas terlihat pada foto itu? (Setelah membeli majalah Popular yang ternyata lumayan mahal itu, menjadi jelas bahwa memang pilihan kata Diana sangat tidak masuk akal. Rubrik "Mimpi Bersama" dihias foto-foto sang model dengan pakaian minim yang mungkin lebih tepat disebut "pakaian dalam" daripada "pakaian tidur", sehingga tidak dibutuhkan deskripsi tertulis untuk "membayangkan" tubuh mereka!)

Teks pengantar tersebut oleh Diana dibahas panjang lebar dengan komentar yang serupa dengan komentar berikut (tentang teks "Mimpi Bersama" yang mendeskripsikan dada model sebagai sesuatu yang "membuat silau mata telanjang menatapnya, membakar darah para pria normal menyaksikannya" , lihat hlm. 19) :
"`Membuat silau mata' bermakna bahwa dada tersebut sangat menonjol di antara yang lain. Sedemikian menonjolnya sehingga mata dapat menjadi silau. `Membakar darah' menandakan bahwa dada itu dapat membangkitkan gairah seks laki-laki yang melihatnya. Kode-kode tersebut menunjukkan bahwa dada merupakan daya tarik seks perempuan yang cukup penting."(hlm. 20)

Kalau seperti itu mutu tulisan yang disuguhkan Kalam dan Hivos kepada kita, siapa yang tidak akan merasa kesal, kecewa atau geli membacanya? Lisabona saja dalam pengantarnya hanya berani mengatakanbahwa buku Pola dan Silangan memberi "sumbangan terhadap perkembangan kajian atas teks dalam hal definisi dan operasi jender di dalam teks" – bukan, misalnya "sumbangan berarti"!

Meskipun demikian, klaim Lisabona tersebut bagi saya tetap berlebihan. Pola dan Silangan tidak memberikan sumbangan apa-apa terhadap Studi Gender di Indonesia. Sebaliknya, untuk orang yang ingin belajar tentang Studi Gender buku itu malah menyesatkan, sedangkan untuk orang yang tahu sedikit tentang Studi Gender, Pola dan Silangan paling-paling cuma bisa menjadi bahan tertawaan!

Mengapa menyesatkan? Selain pembacaan yang konon dilakukan sebagai pembacaan "feminis" dalam masing-masing esei sangat tidak memuaskan sehingga tidak pantas dijadikan contoh oleh penulis lain, buku itu juga memberikan banyak informasi yang salah tentang Teori Gender. Yang paling parah dalam hal ini adalah esei Diana Teresa Pakasi. Selain membicarakan "perempuan" seakan-akan ada semacam identitas perempuan yang universal yang sama di mana saja dan kapan saja, pembahasannya juga menimbulkan kesan seakan-akan semua penulis yang dikutipnya memiliki pandangan yang seragam tentang seksualitas, yaitu pandangan yang sesuai dengan Feminisme ketinggalan zaman dan salah kaprah yang dianut Diana sendiri. Orang yang awam di bidang studi gender tidak akan menangkap sama sekali bahwa mereka yang dikutip Diana punya pandangan yang sangat beragam dan berlawanan satu sama lain tentang seksualitas. Simak misalnya komentarnya bahwa menurut Foucault "seksualitas, terutama berkaitan dengan perempuan, menjadi obyek pengaturan dan penataan" (hlm. 15). Padahal dalam ketiga jilid History of Sexuality yang jilid pertamanya dikutip Diana, Foucault jarang sekali membicarakan seksualitas perempuan secara khusus tapimalah lebih sering membicarakan seksualitas laki-laki! Dan yang menjadi "obyek pengaturan dan penataan" menurut Foucault bukan hanya,apalagi "terutama", seksualitas perempuan!

Contoh kesalahan lain yang cukup fatal adalah penggunaan kata "phallus" dalam keterangan bahwa perempuan merasakan kenikmatan "pada bagian G spot dan klitoris, sedang laki-laki pada phallus-nya" (hlm. 32-33). Bukankan perbedaan antara "penis" (alat kelamin laki-laki secara biologis) dan "phallus" (simbol yang menyerupai kelamin laki-laki) seharusnya sudah menjadi bagian dari pengetahuan dasar setiap penulis di bidang Studi Gender! Di samping itu, terhadap mitos "G-spot" pun bukankah seharusnya seorang penulis "feminis" bersikap kritis!

Sejak saya pertama kali mendengar tentang penerbitan buku Pola dan Silangan dan buku-buku lain yang menjadi bagian dari seri yang sama yang didanai Hivos, ada sebuah pertanyaan yang mengganggu saya: Mengapa Hivos memilih bekerjasama dengan sebuah komunitas yang sudah begitu mapan dan kaya? Benarkah Kalam/KUK membutuhkan funding Hivoshanya untuk membuat seri buku semacam ini? Bukankah pasti banyak komunitas lain yang mempunyai niat dan kemampuan untuk melakukan proyek penulisan dan penerbitan yang serupa tapi benar-benar tidak mampu secara finansial?

Seandainya pun kerjasama antara Kalam dan Hivos menghasilkan buku yang bermutu, pertanyaan itu tetap akan saya anggap relevan. Tapi keadaan ternyata lebih parah lagi daripada yang saya bayangkan sebelumnya: Kalam menggunakan funding yang sebetulnya tidak dibutuhkannya itu untuk menerbitkan buku yang benar-benar "asal jadi" alias bermutu buruk sekali. Tidakkah Komunitas Utan Kayu merasa malu sedikitpun mempertontonkan penyalahgunaan funding serupa itu di depanm umum?
____________ _

*Makalah dalam bedah buku "Pola dan Silangan: Jender dalam Teks
Indonesia" pada Kamis 24 April 2008, di Gedung Pascasarjana IRB,
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
**Katrin Bandel, kritikus sastra, tinggal di Jogjakarta

catatan: tulisanini di ambil dari milis apresiasisastra

No comments: