Kami memiliki dua blog khusus untuk buku sastra, terutama buku-buku sastra yang tak ada di toko buku:

1. http://pustakapelabuhan.blogspot.com/ -berisi info2 buku sastra yang bisa dipesan langsung ke penulisnya. Anda bisa memberikan info buku2 sastra yang sedang terbit lewat dinding Indrian Koto atau Jualan Buku Sastra.

2. http://jualbukusastra.blogspot.com/. Berisi daftar buku yang bisa dipesan kepada kami secara langsung. Anda bisa bekerjasama dengan kami dalam distribusi kecil-kecilan.

Wednesday, January 23, 2008

catatan seorang kawan:Alangkah Tololnya Patung Ini



Puisi sebagai Diskursus Minor

Judul Buku : (Antologi Puisi)”Alangkah Tolol Patung Ini”
Pengarang : Faisal Kamandobat
Penerbit :Olongia-Yogyakarta
Cetakan : I, Agustus 2007
Tebal : 134 halaman.
Peresensi : Ridwan Munawwar*)


Menulis ulasan tentang antologi puisi “Alangkah Tolol Patung Ini” (Olongia-Yogyakarta, September 2007) yang dikarang penyair muda Faisal Kamandobat ini saya awali dengan hambatan; saya kenal akrab dengan penyairnya. Hambatan yang sederhana kelihatannya, namun sesungguhnya menjadi kesulitan yang cukup serius ketika kita masuk pada tindak penafsiran secara utuh. Keakraban intim dengan sang pengarang, yang berarti itu sedikit banyak mengetahui detail kesehariannya, mengetahui latar belakang fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa yang menjadi inspirator puisi-puisinya, ternyata memberikan batasan yang amat menyempitkan dalam pembacaan dan penafsiran atas puisi-puisi karangannya.
Dengan mengenal pengarang, secara tidak sengaja saya melakukan kekerasan semiotik terhadap teks dimana setiap kali imajinasi penafsiran saya hendak memulai terbang mencari kemungkinan paling baru dari penemuan makna, ia selalu tersedot kembali kepada ingatan yang profan dan banal tentang keseharian sang pengarang. Walhasil, teks puisi kehilangan keliarannya, kehilangan keluasan multi-interpretasi yang mana merupakan watak paling hakiki dari puisi itu sendiri. Reduksi makna semacam itu jelas merupakan suatu hal yang tak terampunkan dan melanggar etos dan etika penafsiran karya sastra.
Maka dari itu, mati-matian saya berusaha “membunuh sang pengarang” yang kehadirannya selalu membayang dalam ingatan. Dengan memutuskan pergaulan dengan sang pengarang untuk sementara waktu, lama-kelamaan akhirnya tak urung berhasil juga. Kemudian saya memilah dengan hati-hati, sisi mana saja dari ingatan terhadap sang pengarang yang layak untuk saya pakai dalam menafsirkan puisinya. Lalu, puisi-puisi itu pun kembali hadir dalam kemurniannya yang asing dan dalam keasingannya yang murni dalam pembacaan saya.
Ternyata, menjadi pembaca yang dekat dengan pengarang memerlukan suatu “keahlian melupakan” dan bahwa “kematian pengarang” bukan saja suatu hal yang alamiah, namun juga menjadi prasayarat utama dari proses penafsiran yang optimal.


***
Prinsip puitika yang khas dari Faisal Kamandobat adalah disiplin olah semantik yang ketat. Ini tampak dari nuansa kelugasan kata, kesederhanaan imaji dan nuansa filosofis yang mendalam yang akan segera membawa pembaca pada kenikmatan kognitif yang estetis.
Bila puisi Faisal ada yang ‘sulit dimengerti’, itu bukan lantaran bahasanya yang gelap, atau imajinasinya yang super-aneh, melainkan karena energi filosofis yang menyihir di balik kata-kata. Pembaca diajak berfikir dengan detail dan subtil terhadap masalah-masalah mendasar dalam kehidupan, dan bukannya diajak menyusuri labirin kata-kata yang gelap dan absurd.
Faisal lebih menekankan bahasa puisi pada unsur metonimi yang merupakan dimensi logis dari bahasa. Namun meski demikian itu tidak berarti estetika visual dan estetika musikal dari puisinya hilang begitu saja, bahkan pada beberapa puisi yang ia tulis pada periode tahun 2003-2004 musikalitas dari puisi-puisinya nampak terjaga apik.
Dilihat dari hubungannya dengan struktur bahasa umum, Faisal tampak menjaga hubungan itu dengan mempertahankan nilai komunikatif dalam bahasa puisinya. Namun pada saat yang sama, energi estetika telah membuat bahasa puisi menciptakan kekhasan linguistik pada dirinya sendiri. Suatu langue (aksiomatika bahasa) personal yang tak ada duanya. Puisi pun menjadi bahasa soliter yang imanen di tengah struktur bahasa umum. Soliter karena ia menjaga jarak ontologis dengan struktur bahasa umum, imanen karena ia tidak sepenuhnya terlepas darinya, tetapi bergerak dalam irama dialektis dengan laju sejarah dan kebudayaan yang melingkupinya.
Puisi pembukaan dari antologi ini berjudul Bahasa Alam Benda” yang berisi tentang refleksi atas hubungan paling misterius antara manusia dengan alam benda yang bermoduskan bahasa;

kita lahir menetaskan suara
di bumi yang sunyi
menggaung abadi
pada sungai dan pohonan
senyap terdengar bahasa samaran hati
(“Bahasa Alam Benda” hlm. 11, 2004)

Pada mulanya, alam semesta adalah kenyataan yang sunyi, sepi dan tak terpermanai. Dunia manusia datang tercipta utuk membahasakannya, menandainya. Kata demi kata, warna demi warna hingga dalam skala dan level dan tatanan yang besar dan masif, bahasa manusia mewujud dalam bentuk peradaban dan kebudayaan.
Dan bahasa, yang pada mulanya begitu liar dan semena-mena dalam menandai, sedikit demi sedikit menata serta membentuk dirinya menjadi struktur konvensional yang mengikat kesadaran setiap subjek yang hidup di dunia. Bahasa merupakan formula fundamental dari sistem nilai, pengetahuan dan muatan ideologi dari suatu kebudayaan. Melalui bahasa itu pula domain-domain kebudayaan tadi bergerak secara serentak dan masif dan menterakan dirinya sebagai bagian dari sejarah dunia.
Masifitas nilai-nilai kebudayaan dapat ditemukan dalam progresi sistem diskurus ilmu pengetahuan. Sistem pengetahuan pada akhirnya menjadi suatu nilai mayoritas (grand value) ketika masyarakat mengakuinya sebagai bagian paling mendasar dari hidup setiap individu. Ketika sampai pada level ini, ilmu pengetahuan akhirnya menjadi suatu norma—bahkan mungkin dogma—yang lengkap dengan konsekuensi-konsekuensi tertentu ketika seseorang mulai ‘melanggar’ batasan-batasannya. Kuasa pengetahuan telah menjadi hegemoni yang mengikat setiap subjek untuk tunduk padanya.
Penyair, dengan puisinya yang tak lain adalah bahasa estetis personal yang dimilikinya, berdiri di pinggir semua gerak kolektif dan kolosal dari peradaban dalam suatu pembacaan kritis yang tak hentinya merefleksikan dan mempertanyakan dari semua kemapanan sistem-sistem tersebut. Di sini puisi pun bukan sekedar estetika bahasa, tapi menjadi epistemologi alternatif yang melakukan penjelajahan lebih luas dan membawakan sudut pandang yang berbeda atas batasan-batasan kemungkinan dari tindak dan diskursus pengetahuan umum. Puisi menjadi diskursus minor yang mempertanyakan ulang seluruh kemapanan diskursus mayor.
Faisal melakukan pembacaan kritis lewat puisi ini antara lain terhadap kemapanan ingatan sejarah serta pelbagai diskursus historiografi yang berdiri di belakangnya.

darah dari garis ras
yang dikuduskan
mengangkat impian terkubur
dan berlayar ke benua jauh
demi mencari surga
yang dijanjikan
kitab-kitab junjungan
....
ketika para laut bertolak
dari pulau yang poranda
dunia tampak begitu polos
seakan sejarah baru saja di mulai
(“Penemuan Dunia” hlm. 36-38, 2004)\

Kita bisa langsung membayangkan ketika bangsa-bangsa Eropa Tengah pada sekitar tahun 1492 M, masa-masa ketika mereka mulai melancarkan ekspansi kolonial ke berbagai penjuru dunia. Ketika benua-benua dengan masyarakat arkaik-primitif yang diklaim sebagai benua baru yang polos oleh orang-orang Eropa. Dan peradaban arkaik hancur serta bungkam oleh tindak kolonialisme itu.
Kebudayaan Eropa selanjutnya melakukan klaim historis yang cenderung hegemonik dengan mengukuhkan wacana dirinya sebagai suatu narasi utama (grand narrative) atas pembacaan sejarah. Ingatan kita tentang sejarah suku-suku arkaik di pedalaman Amerika misalnya, lebih ditentukan wacana historiografi versi kolonial-Eropa (bahkan, kita tidak tahu nama asli dari suku asli Amerika yang ditaklukan Columbus).
Secara implisit, puisi ini membawa kita pada suatu kesadaran kritis akan pembacaan sejarah; tidakkah sejarah adalah suatu hal yang terlampau kompleks untuk sekedar ‘diikat’ oleh satu versi wacana? Tidakkah begitu mungkin ada banyak narasi sejarah yang lain, yang minor, yang mungkin diberangus oleh tangan-tangan kekuasaan kolonial karena dianggap subversi terhadap kekuasaan itu?
Selain kritik radikal terhadap diskursus mayor, puisi pun bisa menjadi semacam media apresiasi ilmu pengetahuan yang bersifat interpretatif-konstruktif dan afirmatif. Puisi Faisal diantaranya merefleksikan pengetahuan sistematis dalam pengalaman dan penghayatan keseharian yang menghasilkan suatu interpretasi yang unik atas hukum-hukum baku diskursus pengetahuan mayor. Puisi yang berjudul “Sajak Oedipus Kepada Ibunya” (hlm.51), contohnya, adalah suatu interpretasi puitik akan mitologi Oedipus dari Yunani yang kelak menjadi dasar filosofis dari ilmu psikoanalisis. Karena ditulis dalam pergesekan dengan kosmos ke-indonesiaan, faham psikoanalisis yang datang dari kultur yang berbeda itu menjadi dekat dengan karakter manusia Indonesia.
Setiap ilmu pengetahuan terlahir dari suatu kondisi eksistensial tertentu (Hans Albert,”Risalah Pemikiran Kritis”, hlm. Pustaka Pelajar Jogjakarta, 2003) antara lain seperti kondisi sejarah, latar psikologis dan sosio-kultural yang menjadi konteksnya, bahkan pada sisi tertentu sejarah mengkonstitusi suatu paradigma dengan kadar determinasi tertentu. Maka seiring dengan perubahan alamiah yang misterius dari zaman dunia, setiap diskursus ilmu pengetahuan sesungguhnya memiliki keniscayaan untuk berbagai pergeseran paradigmatik dan perubahan dekonstruktif, baik yang datang secara internal maupun secara eksternal dari diskursus tersebut. Maka puisi memiliki keleluasaan untuk menghadirkan diri pada retakan pergeseran paradigmatik ini dengan ide dan kemungkinan dasar filosofi baru yang dibawanya.
Puisi sebagai teks pembawa ide memiliki kekuatan pada sisi ke-mantra-an-nya. Mantra adalah minimalitas bahasa yang menyedot perenungan pada relung paling sublim dan esoteris dalam unsur paling atomik dari bahasa, yakni kata. Bila ilmu filsafat akademis ditulis dalam suatu metodologi dan sistematika yang baku, ketat dan ‘prosaik’, maka puisi dengan ke-mantra-an-nya mengembalikan cakrawala filosofi kepada sifatnya yang murni, intiutif, spontan, eksperiental, jernih sekaligus kelabu.
Puisi di bawah ini justru membawakan jawaban kritis bagi salah satu filsafat yang paling menjadi rujukan dalam tradisi filsafat Barat;


dunia ini rumah
untuk hidup dan mati
kata-kata ini rumah
untuk hidup dan mati
(“Rumah Untuk Hidup dan Mati”, hlm.27, 2004)

Adalah filsuf Jerman, Martin Heidegger yang menuliskan tesis bahwa ‘bahasa merupakan rumah meng-ada’, dimana melalui dan dalam bahasa-lah manusia mengenali dunia, menghayati eksistensinya dan merasakan pertemuan dengan yang-lain. Dan bahkan bahasa menjadi jalan bagi aletheia (transendensi) sang subjek. Bahasa bergerak secara kongruen dengan gerak keberlangsungan eksistensi subjek yang tak lain adalah kehidupannya sendiri.
Dalam filsafat Heideggerian, sejarah dan riwayat eksistensi/pengada (being) ada akan berakhir ketika kematian menjemput subjek. Namun, puisi di atas memberikan sudut pandang lain; bahwa kematian merupakan bagian tak terpisahkan dari eksistensi subjek, yang dalam psikoanalisis disebut energi thanatos. Ada pencerahan eskatologis dalam puisi ini; bahwa kematian pun adalah salah satu jalan eksistensial yang lain lagi, yang memiliki karakteristik dan aturan-aturan kosmik yang berbeda dengan kehidupan. Dan mungkin kematian memiliki bahasanya tersendiri. Sesunyi puisi.
***

Ridwan Munawwar, adalah penggiat sastra, aktif di Rumah Poetika Jogjakarta dan I;boekoe (Indonesia Buku) di kota yang sama. esainya yang berjudul “Sastra dan Imajinasi Saintifik” menjadi nominator Lomba Cipta Esai Bulan Bahasa Oktober 2006 yang diadakan Bale Bahasa Yogyakarta. Karya Tulis Ilmiahnya, “Memajukan Universitas dengan Perpustakaan bertaraf Internasional” menjadi nominator Lomba Karya Tulis Ilmiah dalam rangka HUT Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Desember 2006.
CP: 08170418187
e-mail: ridwanmunawwar@yahoo.co.id

No comments: