Kami memiliki dua blog khusus untuk buku sastra, terutama buku-buku sastra yang tak ada di toko buku:

1. http://pustakapelabuhan.blogspot.com/ -berisi info2 buku sastra yang bisa dipesan langsung ke penulisnya. Anda bisa memberikan info buku2 sastra yang sedang terbit lewat dinding Indrian Koto atau Jualan Buku Sastra.

2. http://jualbukusastra.blogspot.com/. Berisi daftar buku yang bisa dipesan kepada kami secara langsung. Anda bisa bekerjasama dengan kami dalam distribusi kecil-kecilan.

Wednesday, January 23, 2008


Temu Sastra Tiga Kota, Lebih Dari Sekedar Silaturahmi


Sastra pada dasarnya tidak mengenal tempat untuk lahir. Ia bisa hadir di tengah hingar-bingar kota, di antara rutinitas kerja manusia. Sastra juga bisa lahir dari ruang paling ‘pinggiran’ sekalipun. Kegiatan sastra yang diadakan di wilayah yang jauh dari keriuhan wacana pun kadangkala terasa lebih menarik dan berkesan. Hal ini terlihat dari acara Temu Sastra Tiga Kota (Purworejo – Kulon Progo – Yogyakarta) yang berlangsung pada hari Minggu 13 Januari 2008 di Gedung PCNU, km 1 Wates Kulon Progo. Acara yang diselenggarakan oleh Komunitas Lumbung Aksara bekerjasama dengan Sangsisaku ini berlangsung dari pagi hingga sore hari.

Marwanto dalam tulisannya di halaman koran ini (KR, Minggu 13 Januari 2008) mengatakan, acara tersebut tercetus dari obrolan ringan di sebuah sore, pada bulan ramadhan tahun lalu. Dlontarkan oleh salah seorang ‘sesepuh’ penyair Kulon Progo, Papi Sadewa. Menurut Marwanto rencana itu langsung mereka sepakati mengingat perlunya kebangkitan regenerasi sastra di Kulon Progo sendiri. Selain itu, acara ini juga merupakan ruang silaturahmi antar penyair lintas daerah. Mengingat Kulon Progo terletak di tengah-tengah kota Yogyakarta dan Purworejo. Karenanya, lanjut Marwanto, hubungan yang dulu pernah terjalin, perlu kembali dipertautkan agar muncul gairah kesastraan yang lebih ramai juga sebuah mediasi antar sastrawan.

Lumbung Aksara, sebagai penyelenggara merupakan salah satu komunitas sastra di antara salah dua —atau lebih— komunitas sastra di Kulon Progo. Agenda pasti mereka adalah menerbitkan buletin bulanan bernama Lontar. Buletin gratis yang tampil delapan halaman yang memuat cerpen, puisi dan agenda sastra di Kulon Progo, khususnya.

Dalam acara ini, mereka juga menerbitkan sebuah Antologi yang berisi puisi, geguritan dan cerpen dari para peserta yang diberi judul Antariksa Dada. Skitar 41 peserta yang tercatat, 5 dari Purworejo, sembilan dari Yogya, selebihnya berasal dari Kulon Progo sendiri. Ini belum termasuk peserta yang tidak tercatat dalam antologi ini, disebabkan naskah mereka belum masuk sampai deadline yang ditetapkan.

Peserta yang diundang berasal dari beragam usia. Mulai dari mereka yang memiliki jam terbang tinggi hingga yang masih aktif di bangku sekolah. Menurut panitia, hal ini diharapkan bisa memberi dinamika, sebuah momen di mana ada interaksi, komunikasi, sharing dan belajar. Acara dan antologi semacam ini tentu sangat membantu kawan-kawan sastrawan muda –usia dan pengalaman– untuk ikut terlibat dan ter‘peta’kan di jagad kepenyairan yang besar ini.

Acara yang berlangsung sampai sore ini, diselingi dengan diskusi singkat dengan pembicara Joko Sumantri dan Siho, peneliti dari Jepang. Apresiasi peserta asyik. Terbukti dari pagi sampai sore mereka masih terus mengikuti acara, meski dengan energi yang sudah nyaris habis. Kejenuhan ini tentu disebabkan waktu yang panjang. Selama acara berlangsung panggung terlihat lebih banyak kosong. Tak direspon. Belum lagi acaranya berlangsung dalam satu hari yang otomatis banyak jadwal yang terpaksa dipadatkan. Panitia saya kira, sudah dipertimbangkannya dengan matang. Acara ‘terpaksa’ dilakukan sekali jalan. Kita bisa maklumi ini. Acara sastra nyaris jauh dari bantuan dan sponsor.

Banyaknya penyair muda –usia dan pengalaman– yang terlibat memperlihatkan bahwa Kulon Progo memiliki embrio sastra yang luar biasa. Kesadaran semacam ini tentu tak lepas dari peran Lumbung Aksara sebagai ruang apresiatif dan Lontar sebagai wadah penampung karya. Kita selalu berharap acara sastra semacam ini tak berhenti di jalan. Sebenarnya, kawan-kawan yang masih dalam tahap ‘belajar’ untuk sementara lebih baik berada di posisi penikmat. Mereka bukan tak boleh tampil, tapi harus melewati tahap penyeleksian, agar terasa adanya semacam ‘persaingan’ bagi mereka. Ini akan memicu mereka untuk berkarya dan terus belajar. Siasat lainnya, mereka yang tampil bisa mewakili komunitas atau kelompok tertentu. Penyeleksian ini tentu tak tertutup kemungkinan bagi peserta dari Yogyakarta maupun Purworejo agar bisa memancing animo dan apresiasi yang lebih. Tapi lagi-lagi saya pikir panitia sudah sampai pula pada pemikiran ini, dengan segala kemungkinannya.

Persoalan selanjutnya tentu saja what nexs? Apa setelah ini? kita tentu tak ingin acara semacam ini, setelah kemunculannya segera mati, bukan? Setidaknya ada kemungkinan peristiwa berikutnya. Kita tentu berharap setelah ini akan ada respon kreatif yang tak kalah ‘gagahnya’. Kulon Proga sudah saatnya memiliki acara semacam ini. Atau setidaknya, ini menjadi agenda rutin Lumbung Aksara, misalnya atau memang harus saling di‘lempar’ ke masing-masing kota agar semangat totalitas dan rasa memilikinya lebih terasa. Tugas Marwanto dan Lumbung Aksara (LA), Papi Sadewa dan komunitas Sangsisaku untuk terus menemukan, mengaah dan mendidik regenerasi ini.

Lalu satu hal yang tak kalah pentingnya adalah rumusan acara yang rasanya masih belum matang. Mestinya ada kosentrasi yang lebih jelas dan fokus. Jika temu sastra, mestinya cerpen juga mendapat porsi yang besar. Tidak menjadi berdosa mendudukan penyair, cerpenis dalam satu ruang yang sama, bukan? Begitu juga dengan geguritan sebagai salah satu warisan kebudayaan Jawa. Dan sastra bukan hanya melulu puisi. Tetapi, yang awal tak selalu sempurna, bukan? Selalu ada waktu untuk memperbaikinya.

Di luar itu semua, acara ini merupakan kejutan yang luar biasa. Kegiatan konkrit yang bisa dirasakan langsung, nitibang kita mesti bertualang jauh ke belakang. Tidakkah saat ini kita bisa menciptakan sebuah iklim baru dalam bersastra dan bukan tidak mungkin akan menjadi luar biasa. Dan soal ingatan, biarlah sejarah yang mencatat. Bukankah hari ini pun akan menjadi masa lampau? Di sini akan lahir kemungkinan baru, sebuah energi baru dan ruang kreatif baru yang lebih dasyat. Sebagai pembuka, acara semacam ini perlu diacungi jempol.

Bagaimana pun, acara yang sudah berlangsung ini harus diapresiasi dan dicatat. Ini merupakan sebuah mediasi yang kita harap akan selalu ada dan terus ada di tengah kondisi kusustraan yang semerawut ini. acara sastra tak hanya milik orang ‘kota’. Ia tak melulu hadir di lembaga-lembaga resmi, diadakan oleh komunitas besar dan mapan. Tetapi ia bisa juga lahir dari sebuah ‘tempat sepi’, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk, jauh dari ‘pesta’ dan diselenggarakan komunitas ‘lokal’ pula.

Sastra lahir dari mana saja dan bisa hadir di mana saja. Temu Sastra Tiga Kota yang berlangsung di Kulon Progo ini telah membuktikannya. Selebihnya kita serahkan kepada waktu.

15 Januari 2008