Kami memiliki dua blog khusus untuk buku sastra, terutama buku-buku sastra yang tak ada di toko buku:

1. http://pustakapelabuhan.blogspot.com/ -berisi info2 buku sastra yang bisa dipesan langsung ke penulisnya. Anda bisa memberikan info buku2 sastra yang sedang terbit lewat dinding Indrian Koto atau Jualan Buku Sastra.

2. http://jualbukusastra.blogspot.com/. Berisi daftar buku yang bisa dipesan kepada kami secara langsung. Anda bisa bekerjasama dengan kami dalam distribusi kecil-kecilan.

Sunday, July 3, 2011

Katalog Buku yang Bisa Dipesan Sekarang

Untuk pembelian bisa menghubungi Indrian Koto di 081802717528. Pembelian buku diatas 5 eksemplar tidak dikenai biaya kirim. buku akan dikirim jika anda sudah mentransfer uang ke No rekening 0117443522 BNI Cabang UGM Atas Nama Indrian Toni bisa juga pemesanan melalui email: indriankoto@gmail.com terima kasih.


Penerbit AKAR Indonesia
 
1. Mati Baik-baik, Kawan (Kumpulan Cerpen)
Pengarang       : Martin Aleida
Penyunting      : Raudal Tanjung Banua
Kata Penutup  : Katrin Bandel
Tebal               : 144 halaman
Ukuran                        : 13,5 x 20 cm
Penerbit           : Akar Indonesia, 2009

Harga             : Rp. 27.000

Buku ini merupakan pilihan dari karya Martin Aleida yang khusus berlatar Peristiwa ’65. Martin Aleida, pengarang yang lahir di Tanjung Balai, Sumatera Utara, 31 Desember 1943 ini, memang sangat intens dan konsisten menggarap tema peristiwa huru-hara politik tersebut. Konsistensi ini sampai-sampai memunculkan konsep kepengarangannya yang ia sebut sebagai ”sastra bersaksi”.

Ya, sebagai salah seorang yang mengalami langsung tragedi kemanusiaan itu, Martin tidak hanya dimasukkan ke penjara tanpa pengadilan, tetapi juga disiksa dan setelah dibebaskan pun tak kunjung luput dimata-matai. Ia yang sejak awal berprofesi sebagai jurnalis dan pengarang, melanjutkan profesinya ini, namun dengan tantangan yang lebih besar: mengolah tragedi dari persfektif korban dan pelaku kekerasan. Tujuannya jelas: kemanusiaan. Katrin Bandel, dalam ”Catatan Penutup” menyatakan bahwa Martin Aleida adalah pengarang yang menulis ulang sejarah Indonesia dalam versi yang sama sekali berseberangan dengan versi Orde-Baru. Tampak dengan jelas bahwa ia bukan sekadar ingin menceritakan Peristiwa 65 dari persfektif yang berbeda, tapi bahwa ia punya misi untuk melawan pemalsuan sejarah dengan memberikan sejumlah fakta (yang diolah ke dalam cerita) yang selama ini tidak diketahui secara umum oleh masyarakat Indonesia.**


2. Dongeng-dongeng Tua (Kumpulan Puisi)
Pengarang       : Iyut Fitra
Penyunting      : Raudal Tanjung Banua
Tebal               : 138 halaman
Ukuran                        : 14 x 21 cm
Penerbit           : Akar Indonesia, 2009

Harga             : Rp. 27.000

Puisi-puisi Iyut merupakan gabungan melankoli dan pemberontakan tersembunyi, bersumber dari khazanah kampung-halaman, Minangkabau, yang kaya tradisi bakaba (dongeng, cerita), dan meluas ke tataran ”kampung nasional”, jika bukan ”kampung global”.  Oleh karena itu, kegelisahan personal berhasil diperkayanya dengan persoalan kolektif, dalam bangunan bahasa yang indah. Sapardi Djoko Damono memberi catatan,”Penggunaan sejumlah kearifan setempat dalam puisi Iyut tidak sekadar memoleskan warna dan suasana, tetapi menggarisbawahi makna cinta, perjuangan hidup, dan rasa sunyi yang bisa dibaca di antara larik-lariknya.” Sedangkan Acep Zamzam Noor, penyair yang juga pelukis menyatakan,”Bagi saya puisi-puisi Iyut Fitra mempunyai kesan visual yang kuat. Ia mempunyai kesabaran dalam menyusun detail sehingga apa yang digambarkan begitu kaya dan berwarna.”

3. Gema Secuil Batu (Kumpulan Puisi) 

Pengarang       : Iswadi Pratama
Penyunting      : Raudal Tanjung Banua
Tebal               : 95 halaman
Ukuran                        : 13 x 19,5 cm
Penerbit           : Akar Indonesia, 2008

Harga             : Rp. 23.000

Berisi 49 judul puisi pilihan Iswadi Pratama, penyair kelahiran Lampung, 8 April 1971. Penyair yang juga seorang sutradara ini relatif tenang, tidak meledak-ledak dalam mengungkapkan peristiwa dan pengalaman puitiknya, sekalipun yang diungkapkan itu adalah tema-tema sosial dan ketersisihan yang akut. Justru, dengan mengambil sikap tenang, puisi-puisi Iswadi menyimpan geram yang dalam, kesunyian yang dingin dan perasaan ngelangut. Kita dibuat terhanyut dalam metafora yang dirangkai secara sederhana dan bersahaja, namun benar-benar sangat khas dan personal. Ini cocok dengan konsepsi Iswadi dalam pengantar singkatnya, yang mengibaratkan proses kreatifnya sebagai orang yang melempar secuil batu ke dalam kolam dan menimbulkan pendar di permukaan air, namun terasa hendak mengabarkan kedalaman.


4. Penunggang Kuda Negeri Malam (Kumpulan Puisi)
Pengarang       : Ahda Imran
Kata pembuka : Miranda Risang Ayu
Kata penutup  : I Bambang Sugiharto
Tebal               : 148 halaman
Ukuran                        : 13 x 19,5 cm

Harga             : Rp. 30.000

Buku kumpulan puisi tunggal perdana Ahda Imran ini berisi 70 sajak terpilih periode 1995-2008 atau sekitar 13 tahun proses kepenyairannya. Selain menyair, Ahda dikenal luas sebagai penulis tetap rubrik seni budaya (”Khazanah”) di Harian Pikiran Rakyat, Bandung. Liputannya tentang seni pertunjukan, pameran lukisan dan fenomena kebudayaan yang muncul saban pekan, meninggalkan jejak tersendiri dalam penciptaan. Ada persentuhannya yang khas dengan realitas, dan diterjemahkan kembali lewat pencandraan interpretasi. Jadilah persoalan sosial di sekitar menyusup halus dan menghanyutkan. Ibarat penunggang kuda di negeri yang selalu malam (gelap), Ahda bersaksi dan mendedahkan kesaksiannya itu kepada kita.

Bambang Sugiharto mengakui, membaca puisi Ahda adalah membaca realitas sebagai suasana, suasana kecemasan yang panjang dan mencekam: menatap wajah dengan “seekor anjing bermata satu  mengintai  dari bayang di genang air tenang” (puisi “Penghujung Tahun “). Dalam melukiskan kecemasan itu,  puisi-puisi Ahda adalah imaji-imaji yang tepat, padat dan kuat. “Sesuatu sedang terjadi”, katanya, “Bayi-bayi lahir dengan lidah bersisik, dan ibu mereka adalah burung-burung gagak”.

Sementara Miranda Risang Ayu, seorang ibu rumah tangga di Bandung, yang didaulat memberi semacam kata pengantar menyatakan bahwa ia menemukan proses, aneka peristiwa dan kesunyian dalam buku ini. Semua itu memberi kekuatan untuk mencerna realitas di sekitarnya.

Buku ini kian menarik lantaran dihiasi drawing sejumlah pelukis tenar kota Bandung yang khusus dibuat untuk merespon puisi-puisi Ahda. Mereka adalah Tisna Sanjaya, Isa Perkasa dan Diyanto. Sementara desain cover dikerjakan oleh Sunaryo. **

5. Ratusan Mata di Mana-mana (Jurnal Cerpen # 09)
Pengarang       : Frans Nadjira, Martin Aleida, Yanusa Nugroho, Zulkarnaen Ishak,
  Kiswondo, Shiho Sawai, dll.
Tebal               : XVIII + 182 halaman
Ukuran                        : 14 x 21 cm

Harga             : Rp. 38.000

Jurnal Cerpen Indonesia (JCI) terbit sejak tahun 2002, bersamaan dengan berlangsungnya Kongres Cerpen Indonesia di berbagai kota di Indonesia secara rutin. JCI digawangi oleh Ahmad Tohari, Bakdi Soemanto, Maman S. Mahayana, Joni Ariadinata dan Raudal Tanjung Banua.

JCI edisi 09 boleh dikatakan edisi “ideal” sebab memuat cerita pendek dan esai relatif seimbang. Ada 7 cerpen dengan berbagai gaya dan tema. Ada yang kontemplatif, liris, dan ada pula yang berbentuk memoar. Para penulis cerpen edisi ini adalah Frans Nadjira, Martin Aleida, Mezra E. Pellondou, Gde Agung Lontar, Fahrudin Nasrulloh, Hery Sudiono, Yanusa Nugroho dan Zulkarnaen Ishak.

Sementara itu, ada tiga esei yang bertolak dari akar persoalan yang relatif sama, yakni jejak konflik, seperti Harris Effendi Thahar yang menulis konflik PRRI dalam cerpen-cerpen Soewardi Idris; Kiswondo meneliti konflik 1965 dalam empat cerpen Indonesia dan Shiho Sawai yang menulis konflik pasca-kolonial dalam cerpen-cerpen perempuan buruh migran di Hongkong.**

6. Regenerasi dan Panggung Muda Cerpen Indonesia (Jurnal Cerpen # 10, edisi
    khusus cerpenis muda pilihan)

Pengarang       : Fahrudin Nasrulloh, dkk.
Pengantar        : Joni Ariadinata
Pengulas          : Nenden Lilis A
Tebal               : XII + 296 halaman
Ukuran                        : 14 x 21 cm

Harga             : Rp. 45.000
                                     
Ini merupakan Edisi Khusus cerpenis mutakhir tanah air yang diundang secara khusus dan terbuka. Redaksi kemudian memilih ratusan karya yang masuk, dan akhirnya didapatkan 19 cerpen dari para cerpenis muda yang tersebar dari berbagai kota di tanah air. Tema-tema yang mereka usung relatif beragam, dengan bahasa ekspresi yang kuat dan menampilkan estetika terkini dari cerpen Indonesia. Menariknya, jika selama ini muncul kekhawatiran atas minimnya perempuan penulis, maka dalam edisi ini keberadaan mereka cukup berimbang. Tak kalah menariknya pula, banyak nama yang muncul bukan nama yang dikenal secara “popular” di media mainstream, katakanlah sastra koran, namun muncul nama-nama yang selama ini memilih prosesnya sendiri.

Penulis dalam edisi ini ialah Fahrudin Nasrulloh (Jombang), Wa Ode Wulan Ratna (Jakarta), Kadek Sonia Piscayanti (Singaraja), Fina Sato (Bandung), Hasan Al-Banna (Medan), Nurul Hanafi (Bantul), Azizah Hefni (Malang), Yuni Kristianingsih (Ponorogo), Dyah Merta (Yogyakarta), Sandi Firly (Banjarbaru), Sunlie Thomas Alexander (Bangka), Ahmad Muchlis Amrin (Madura), Mahwi Air Tawar (Yogyakarta), Dalih Sembiring (Jakarta), Pandapotan MT Siallagan (Pematangsiantar), Ragdi F. Daye (Padang), Hendra Kasmi (Aceh), Jusuf AN (Wonosobo) dan Bramantio (Surabaya). Untuk melihat capaian mereka, Redaksi mengundang khusus kritikus sastra dari UPI, Bandung, Nenden Lilis A.  

7. AKIB: Penyair Cakrawala Sastra Indonesia (Kumpulan Telaah Puisi) 

Pengarang       : Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, dkk.
Penyelenggara : Joni Ariadinata
Tebal               : xxviii + 214 halaman
Ukuran                        : 15 x 23 cm
Penerbit           : Akar Indonesia, 2008

Harga             : Rp. 50.000

Buku ini merupakan telaah puisi yang dikerjakan oleh para pengamat, kritikus dan kreator atas puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim (AKIB), khususnya yang terhimpun dalam antologi Negeri Airmata. Bahan itu ada yang berasal dari makalah diskusi, notulensi, maupun wawancara khusus. Penyair asal Tanjungpinang, kelahiran Natuna, Kepulauan Riau ini, sejatinya juga mengeksplorasi mantra, pantun dan berbagai khazanah rakyat Melayu dalam karya-karya kreatifnya. Hal ini setidaknya mengingatkan kita, bahwa bukan hanya Sutardji Calzoum Bachri yang berasyik-masyuk dengan akar Melayunya, tetapi juga ada sederet penyair lain yang tidak kalah kuat, seperti Abdul Kadir Ibrahim ini atau Ibrahim Sattah (alm) dari Tarempa. Setidaknya itulah yang diungkapkan oleh sejumlah penulis telaah dalam buku ini, mulai dari Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, Maman S. Mahayana, Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, UU Hamidy, MA, Dr. Irwan Djamaluddin, Hasanuddin WS, Jose Rizal Manua, Korrie Layun Rampan, Hamsad Rangkuti dan lain-lain. Sementara Joni Ariadinata dan Jamal D. Rahman dalam pengantar menyebut bahwa upaya penerbitan buku ini merupakan ”strategi budaya” yang menghasilkan telaah kritis atas buku puisi sekaligus kebudayaan Melayu.**

8. Di Lengkung Alis Matamu (Kumpulan Puisi)
Pengarang       : Johannes Sugianto
Pengantar        : Joko Pinurbo
Tebal               : x + 110
Ukuran                        : 13 x 20 cm
ISBN               : 979-99839-3-2
Cetakan           : I, November 2006

Harga             : Rp. 20.000

Kumpulan puisi ini dapat dikatakan khas, setidaknya dilihat dari proses kelahirannya, yakni dari dunia maya. Penyairnya memang dikenal luas sebagai salah seorang aktivis sastra cyber, khususnya dalam blog www.blue4gie.com yang dikelolanya dengan intensif. Puisi-puisinya yang renyah, enak dinikmati, namun tanpa kehilangan contens sosialnya, menjadi garansi tersendiri untuk menyelusuri ranah kreatif Johannes. Untuk semua itu, penyair Joko Pinurbo merasa perlu menulis sepucuk surat yang disertakan sebagai kata pembuka dalam buku ini. Tulis Joko,”Jo, sajak-sajakmu seperti si bijak yang sedang membawakan renungan atau piwulang...”

9. Nyanyian Batanghari (Novel)
Pengarang       : Hary B. Kori’un
Tebal               : xx + 258
Ukuran                        : 14 x 20 cm
ISBN               : 979-99838-0-0
Cetakan           : I, Agustus 2005

Harga             : Rp. 35.000

Sebuah novel yang sarat dengan ekspose peristiwa nyata, dipadukan dengan keliaran imajinasi, dalam ranah sejarah kontemporer Indonesia. Bercerita tentang seorang jurnalis bernama Martinus Amin yang menjalani pahit-getir perjuangannya sebagai aktivis bawah tanah. Berbagai gejolak sosial seperti kericuhan petani di Tongar, Pasaman, pembakaran kelapa sawit di Pangkalan Kerinci sampai peristiwa Mei 1998 dialami Martinus, yang membuatnya terpisah dari orang-orang yang mencintainya: Sari, Katrin, Sari!

Sastrawan Ahmad Tohari mengomentari buku ini sebagai berikut: ”Keberanian Hary B. Kori’un mendokumentasikan gerakan mahasiswa dan dampak kerusuhan Mei 1998 dalam novel ini, patut dihargai. Ditambah peristiwa-peristiwa penting lainnya yang terjadi di tanah air, dengan dilandasi riset yang cukup lengkap, membuat novel ini menjadi penting.Sangat menarik!”

10. Sebatang Ceri di Serambi (Kumpulan Cerpen)

Pengarang       : Fakhrunnas MA Jabbar
Pengantar        : Maman S. Mahayana
Penutup           : Prof. Dr. Harry Aveling
Tebal               : xxii + 168
Ukuran                        : 13 x 20 cm
Cetakan           : I, November 2005
                          II, Juni 2007
ISBN               : 979-9983-91-6
Penghargaan    : Anugerah Sagang, 2006 dan 10 besar KLA

Harga             : Rp. 27.000

Cerpen-cerpen yang terkandung dalam buku Sebatang ceri di Serambi ini bertema sederhana, peristiwa keseharian, denyut kehidupan orang-orang yang terluka hatinya karena nestapa yang sebagian besar berangkat dari setting kehidupan orang-orang Melayu. Tema-tema saemacam ini masih selalu tersedia di lubuk imajinasi para pengarang di saat mereka sangat dekat dengan realitas sosial. Cerpen-cerpen Fakhrunnas MA Jabbar merupakan representasi persoalan-persoalan masyarakat Melayu.

Menurut Maman S. Mahayana, Fakhrunnas MA Jabbar berada dalam posisi yang khas. Ia tak hanyut pada ingatan kolektif tentang keagungan puak Melayu, dan tak berpretensi menggugat pemerintah pusat yang mengambil bahasanya dan menguras kekayaan alamnya. Ia lebih memusatkan diri pada perilaku dan cara berpikir puaknya, dengan menyajikan cara pandang dunia melayu yang tidak hitam-putih. Buku cerpen ini bisa sebagai bukti: kaya akan simbol-simbol kultural yang diolah dengan cerdas.

11. Latopajoko dan Anjing Kasmaran (Kumpulan Cerpen)
Pengarang       : Badaruddin Amir
Pengantar        : Joni Ariadinata
Tebal               : xii + 258 halaman
Ukuran                        : 13 x 20 cm
Cetakan           : I, Februari 2007
ISBN               : 979-998-382-7

Harga             : Rp. 30.000

Dalam kumpulan cerpen ini terlihat kematangan Badaruddin Amir mengolah cerita yang ditulisnya. Ia mampu meramu mitologi khas Bugis dengan realitas keseharian, sembari menyelipkan dunia penciptaan kreatif. Referensinya luas, baik yang berangkat dari pengalaman nyata, hal-hal yang faktual, yang mampu memperkuat struktur cerita yang dibangun. Kita dibuat hanyut dalam bahasa yang mengalir dengan lancar, tegang dan mengasyikkan...

Menurut Joni Ariadinata, Badaruddin Amir telah memilih jalur yang tegas dalam dunia kepenulisannya. Ia memiliki tema yang jelas, karakter tokoh yang kuat serta tegasnya ”tujuan” apa yang hendak disampaikan. Maka, cerpen-cerpennya dalam Latopajoko dan Anjing kasmaran ini bisa dibaca dengan mudah, ditangkap maksud dan isinya dengan jelas, dengan bahasa yang tak rumit serta alur yang terang-benderang.


12. Emas Sebesar Kuda (Kumpulan Cerpen)
Pengarang       : Ode Barta Ananda
Tebal               : xii + 172 halaman
Ukuran                        : 13 x 19,5 cm
Cetakan           : I, Oktober 2007
ISBN               : 979-1684-81-2

Harga             : Rp. 28.000

Ode Barta Ananda merupakan sastrawan yang produktif yang mewariskan karya-karya kreatif, terutama cerpen, kepada dunia sastra Indonesia hingga akhir hayatnya, 5 maret 2005. cerpen-cerpen Ode merupakan cerpen-cerpen yang parodik, karikatural, unik, nakal, dan terkadang simbolik, terhadap berbagai hal. Mulai dari kebudayaan lokal (Minang) hingga situasi Indonesia kotemporer legkap dengan elitnya yang jadi sasran empuk ketajaman pena si sastrawan yang juga jurnalis ini.

Cara Ode membangun suasana dan latar cerita sangatlah lihat. Ia mampu menghidupkan kosakata Melayu-Minang, tak ragu memasukkan bahasa sehari-hari dan umpatan lokal ke dalam ceritanya, tanpa harus menghalus-haluskan ungkapan.

13. Paus Merah Jambu (Kumpulan puisi)

Pengarang       : Zen Hae
Tebal               : x + 115 halaman
Ukuran                        : 13 x 19,5 cm

Harga             : Rp. 23.000

Semua sajak dalam kumpulan ini pernah terbit di sejumlah koran, majalah sastra, dan jurnal kebudayaan. Namun, demi kepentingan buku ini sajak-sajak tersebut telah mengalami penyunting di sana-sini. Malah, saking asyiknya si pengarang menyunting, mengobrak-abrik larik dan bait, menambah larik dan bait baru, mengubah tipografi, ada satu-dua sajak yang berubah jadi sajak yang baru.


14. Ciuman Bibirku yang Kelabu (Kumpulan puisi)
(hard cover)

Pengarang       : Mardi Luhung
Tebal               : xii + 168 halaman
Ukuran                        : 14 x 21 cm

Harga             : Rp. 30.000

Mardi Luhung memiliki bahasa ungkap yang cukup unik dalam puisi-puisinya. Ia mencoba keluar dari pakem atau mainstream bahasa liris yang merajai ranah estetik puisi mutakhir tanah air. Puinya khas suara-suara pesisir yang berbicara secara terbuka, dan langsung apa adanya.

Ia dengan enak menulis “tukang jagal”, “kelamin yang dikerat”, “mayat gembong”, “kencing” dan “tai”, serta sederet ungkapan khas lainnya dengan logikanya sendiri, yang mampu membentangkan panorama kehidupan soisla pesisir yang keras. Barangkali hidup di sebuah kota pelabuhan yang panas, mendorong Mardi Luhung mengakrabi kehidupan masyarakat pesisir tidak hanya dalam gerak-gerik aktivitas pelabuhan yang sibuk, namun yang paling penting menangkap spirit “bahasa” mereka; bahasa yang menolak keseragaman logika dan keindahan irama.

15. Tragika Sang Pecinta, Gayutan Sufistik Sajak-sajak Ajamuddin Tifani.
Pengarang       : Jamal T. Suryanata
Tebal               : xviii + 178
Ukuran                        : 15,5 x 23,5 cm
ISBN               : 978-979-99838-6-2
Cetakan           : I, Oktober 2010

Pembicaraan ihwal sastra sufistik mash relatif kurang diminati dan karenanya juga relatif jarang menjadi perhatian para pengamat dan pengkaji sastra di Indonesia. Hal ini mendorong Jamal T. Suryanata memilih sejumlah sajak Ajamuddin Tifani—penyair kelahiran Banjarmasin, 23 September 1951—yang diasumsikan khas berkecenderungan sufistik. Di samping sebagai upaya untuk memperkaya kepustakaan entang sastra sufistik yang masih tergolong langka di tanah air, pilihan ini juga merupakan upaya untuk menjaga orisinalitas tema atau pokok kajian. Ihwal ini diharapkan dapat menyatukan seluruh pokok kajian, setidak-tidaknya mempresentasikan ide sentral yang terkandung dalam kebanyakan sajak Ajamuddin, sekaligus menjadi bandingan bagi karya-karya sejenis. Kecuali itu pula, pembicaraan sastra sufistik selama ini terbatas pada nama dan karya-karya mainstream, sehingga seperti menutup potensi yang sama dari berbagai pelosok Indonesia.

16. Jurnal Cerpen Edisi 11 Cerita, Sosok, Kota. Harga: 27.000
Pengarang       : K. L. Junandharu, dkk.
Pengantar        : Raudal Tanjung Banua
Tebal               : viii + 125 halaman
Ukuran                        : 14 x 21 cm

Harga             : Rp. 45.000

Bukan kebetulan jika Jurnal cerpen mencoba mengemas tiga hal ke dalam satu tema: sosok, cerita, kota. Ketiganya memiliki hubungan yang cukup unik, menantang, dan yang pasti menarik. Sebagai contoh sederhana, apabila kita membaca biografi para pengarang, maka nama kota atau tempat kelahiran menjadi satu rangkaian yang tak terpisahkan dengan hal penting lainnya seperti tanggal lahir, pendidikan dan karya-karyanya. Kota di sini merujuk ke berbagai keadaan, apakah kota besar, kota kecil atau hanya sebuah kecamatan. Bagi sebagian pengarang, hal ini menjadi penting untuk menegaskan identitas dan latar belakang, yang tak jarang menjadi faktor utama yang mewarnai karya-karyanya.

Dalam jurnal cerpen edisi 11 ini ditampilkan lima buah cerpen karya penulis K. L. Junandharu, Benny Arnaz, Nurul Hanafi, Emil Akbar dan Hamsad Rangkuti. Simaklah bagaimana cerita, sosok, kota hadir dalam pribadi para pengarang dan bagaimana ia merasuk dalam karya sastra. Ada tiga esai yang  lagi-lagi mencoba menampilkan tiga sosok yang menjadi tema mendasar JCI 11 ini. Imam Muhtarom membicarakan tentang Kota dan Eksprimentasi Penyangkalan, Zulkarnaen Ishak mengupas Imaji dan Citra Fotografis dalam Cerita Kota Italo Calvino dan Aguk Irawan mengupas dan Membaca Karya-karya Najib Mahfudh.

17. Karena Saya Ingin Berlari (Kumpulan Cerpen)

Pengarang       : Kadek Sonia Piscayanti
Pengantar        : Putu Wijaya
Tebal               : xxiv + 176 halaman
Ukuran             : 13 x 19,5 cm
Cetakan           : I, Maret 2007
ISBN               : 979-99839-5-9

Harga             : Rp. 30.000


18. Para Pecinta Selat Phillips (Kumpulan Cerpen)
Pengarang       : Hasan Aspahani, Samson Rambah Pasir, Ramon Damora, dkk.
Tebal               : 144 halaman
Ukuran                        : 13 x 19,5 cm
ISBN               : 979-998390-8
Cetakan           : I, Maret 2007

Harga             : Rp. 22.000

19. Hujan Meminang Badai (Kumpulan Puisi)

Pengarang       : Tri Astoto Kodarie
Pengantar        : Maman S. Mahayana
Tebal               : xxviii + 124 halaman
Ukuran             : 13 x 19,5 cm
Cetakan           : I, Maret 2007
ISBN               : 979-9983-88-6

Harga             : Rp. 20.000

20. Cucu Tukang Perang (Kumpulan cerpen)
Pengarang       : Soeprijadi Tomodihardjo
Tebal               : xxvii + 130 halaman
Ukuran                        : 13 x 19,5 cm
Cetakan           : I, Januari 2011
ISBN               : 978-979-99838-7-9

Harga             : Rp. 28.000

Soeprijadi Tomodihardjo merupakan pengarang eksil Indonesia yang cukup menarik. Ia yang sampai hari ini menetap di paran, jerman, bukan hanya seorang pengarang yang produktif, tetapi juga karya-karyanya memperlihatkan semacam perkembangan: meluasnya cakrawala si pengarang sehingga ia mampu menghasilkan karya-karya yang bervariasi.

Cucu Tukang Perang berisi 14 cerpen yang dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama memuat kisah-kisah yang mengambil latar luar negeri, bagian kedua memiat cerita-cerita yang berlatar Indonesia sebagai tanah asal sang pengarang. Karya-karya Soeprijadi Tomodihardjo tidak melulu bisa dikategorikan sebagai ”kendaraan ideolgis” belaka, tetapi telah menjelma menjadi karya sastra itu sendiri, sastra sebagai pertaruhan pertama dan terakhir seorang pengarang.

Framepublishing:

1. Pinangan Orang Ladang (Kumpulan Puisi)
Pengarang       : Esha Tegar Putra
Tebal               :123 halaman
Ukuran                        :13,5 x 20 cm

Harga             : Rp. 25.000

... dengan puisi, saya mulai menemu ’rumah’ di jalanan rantau yang lain, menemu hunian untuk kediaman peristiwa-peristiwa yang saya tangkap; pantulan hari lampau, kini, dan bayangan esok...

Buku puisi ini adalah bagian dari proses saya itu. Di dalamnya terdapat puisi-puisi dari tahun 2006-2008. ada pun puisi sebelumnya masih terendap di sebuah ruang isolasi yang mungkin suatu kesempatan akan pembaca nikmati (Esha Tegar Putra, dalam Catatan penyair)

2. Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami (Kumpulan Cerpen)
Pengarang       : Hajriansyah
Tebal               :
Ukuran              : 13,5 x 19, 5 cm

Harga             : Rp. 30. 000

Cerpen-cerpen Hajriansyah masih menyisakan aroma tanah, percakapan yang intim, keakraban alam dan kebersahajaan kampung halaman. Sebaliknya, di beebrapa cerpennya yang lain, ia mencoba membuat jarak dengan segala sumber harmoni itu; dan berhasil mengaduk-aduk suasana lewat percakapan batin yang berbau filosofis, pergulatan eksistensial serta kegelisahan personal tokoh-tokohnya. Di tangan penulis kelahiran Banjarmasin, 10 Oktober 1979 ini, lokalitas dan modernitas saling melintas.

3. Elegi Angin Pagi (Novel)

Penulis             : Hary PR
Tebal               : 237 halaman
Ukuran                        : 13 x 19,5 cm

Harga             : Rp. 33.000

... Dan angin, sebagai tokoh utama dalam cerita ini, pada akhirnya menapak puncak nasib getitrnya. Bukan nasib getir karena percintaan yang gagal, tetapi, justru saat ia, seorang sarjana muda, mantan aktivis, dipinang masyarakat untuk mengabdi di tanah kelahirannya sebagai calon kepala desa, diculik dan dilepaskan setelah hampir setengah gila. Sebuah novel yang menampilkan politik dalam konsep masyarakat yang paling bawah.

4. Nama Saya Tawwe Kabota (Novelet)

Pengarang       : Mezra E. Pollandou
Penyunting      : Raudal Tanjung Banua
Tebal               : 120 halaman
Ukuran              : 12 x 17 cm

Harga             : Rp. 23.000

Nama Saya Tawwe Kabota merupakan kisah yang unik dari timur tanah air. Bersetting Tanah Sumba dengan padang-padang prairi, kuda, batu, madu dan tradisi Merapu, kisah terjalin lincah antara Kalli yang tegar dengan Bullu yang modern. Meski modern, toh Kalli memilih melakukan ritual suci, tawwe kabota, sebuah ritual tradisi Sumba untuk menyucikan aib. Persoalannya, semua itu dilakukan Bullu bukan lantaran ingin menikahi Kalli, orang yang dihamilinya, tetapi memilih menikahi gadis lain yang lugu dan sederhana, Ghole. Pada Ghole cinta sejati Bulu berlabuh, meski di sisi lain ia tak bisa lepas dari bayang-bayang Kalli. Pergulatan batin dengan segala kelok-likunya terus membayangi Bulu, sampai akhirnya ia bertemu seorang perempuan muda bernama Tawwe Kabota. Ternyata itulah anak yang dulu dikandung Kalli, dan nyaris terlupakan dalam hidup Bulu.  Selain Tawwe Kabota, Mezra E. Polloandou sebelumnya juga sudah menerbitkan Loge, sebuah novel pendek.**

5. Pesta Hujan di Mata Shinta (Kumpulan Cerpen) 

Pengarang       : Iqbal Baraas
Penyunting      : Indrian Koto
Tebal               : 138 halaman
Ukuran                        : 13 x 19,5 cm

Harga             : Rp. 25.000

Berisi 12 cerpen Iqbal Baraas, dari rentang waktu hampir 10 (sepuluh) tahun. Di tengah kecenderungan cerpen yang mengalun liris, Iqbal memilih ungkapan yang lugas sebagai sebuah ciri khas. Ceritanya melingkar dan tak tertebak akhirnya. Ia memasang ranjau pada setiap bagian ceritanya, dan dengan lihai membelokkannya jauh pada peristiwa lain. Berbagai tema direngkuhnya, mulai dari percintaan yang banal, romantika kehidupan wong cilik dan soal-soal personal seperti kehidupan rumah tangga. Gaya berceritanya yang mengalir, memadukan realitas dengan absurdisme, membawa kita ke wilayah ”dongeng modern” yang tanpa batas, mengingatkan pada mistisme Jawa ala Danarto dan teror menghentak ala Putu Wijaya.**

6. rumahlebah, ruang puisi Edisi 01

Penulis             : Ahmad Nurullah, dkk.
Redaksi           : Umbu Landu Paranggi, Frans Nadjira, Raudal Tanjung Banua, Nur
  Wahida Idris, Faisal kamandobat
Tebal               : 168 halaman
Ukuran                        : 14 x 21 cm

Harga             : Rp. 27.000

rumahlebah ruang puisi, merupakan media alternatif—semacam jurnal-- yang memuat khusus puisi dan segala hal yang menyangkut puisi seperti esei, resensi buku puisi, dan perbincangan dengan penyair. Dikelola oleh Komunitas Rumahlebah Yogyakarta, dan bekerja sama dengan Penerbit Framepublishing, jurnal ini akan terbit berkala sebagaimana halnya Jurnal Cerpen. Bedanya, jika Jurnal Cerpen khusus menerima karya asli (bukan terjemahan), rumahlebah menerima puisi dan esei terjemahan. Yang menggembirakan, di jajaran redaksi duduk penyair Umbu Landu Paranggi dan Frans Nadjira, dua penyair kawakan yang tinggal di Bali, dan selama ini tidak mudah menerima tawaran untuk duduk di suatu sidang redaksi. rumahlebah edisi perdana ini memuat puisi Ahmad Nurulah, Riki Dhamparan Putra, Badrudin Emce, Y. Thendra BP, Sindu Putra, Syaifudin Gani, Saut Situmorang, IOA Suwati Sedeman, Bode Riswandi dan Walt Whitman (terjemahan Tia setiadi). Esei ditulis oleh Arie MP Tamba, Terry Eagleton (terjemahan Ari Widjaja), dan I Fahmi Panimbang. Sedangkan perbincangan penyair dilakukan dengan Aslan A. Abidin, penyair yang bermukim di Makassar.**

7. Rumah Hujan (Kumpulan Puisi)
Pengarang       : Budy Utamy
Pengantar        : Hasan Junus
Tebal               : 101 halaman
Ukuran                        :  13 x 19,5 cm
Cetakan           : I, Maret 2008
ISBN               : 978-979-168491-x

Harga             : Rp. 22.000

Filsuf Martin Meidegger ketika membicarakan sajak-sajak Friedrich Holderlin mengatakan bahwa puisi ialah istilah institusi makhluk bernama kata-kata. Jadi dari pernyaaan itu dapatlah disimpulkan bagaimana penting dan kardinalnya kedudukan kata-kata dalam kehidupan ini. Institusi atau pelembagaan yang terdiri dan bernama kata-kata itulah yang membina seluruh rumah yang diberi nama oleh penyairnya, Budy Utamy sebagai Rumah Hujan.
(Hasan Junus, Budayawan)

8. Loge (Novelet)

Pengarang       : Mezra E. Pollandou
Tebal               : 80 halaman
Ukuran                        : 12 x 18 cm
Cetakan           : I, April 2008
ISBN               : 979-168492-8

Harga             : Rp. 15.000

9. Elegi Negeri Seribu Ombak, Kumpulan Sajak 
Pengarang       : Eko Suryadi WS
Prolog              : Jamal T. Suryanata
Epilog              : Faruk
Tebal               : xxxiv + 84 halaman
Ukuran                        : 13,5 x 20,5 cm
Cetakan           : I, Maret 2010
ISBN               : 978-979-16848-2-8

Harga             : 23.000

Kendati secara historis aku dan kau berbeda, tetapi dalam konteks personalitas sajak-sajak Eko Suryadi WS esensinya “sama” dan “setara”. Keduanya dapat luluh atau beransformasi dalam kekuatan sosiokultural baru (kami atau kita) sebagai penanda kekerabatan yang intim.
(Jamal T. Suryanata)

Kumpulan Puisi ini, memperlihatkan kecenderungan orang Banjar mengalami, memahami, dan mengratikulasikan pengalaman kehidupan mereka. Hutan, pohon dan sungai merupakan kosa kata yang tampak sangat akrab dengan penulisnya, seperti sudah menyatu dengan dirinya, sehingga leluasa ia gunakan untuk merepresentasikan dan memaknai pengalaman kesehariannya, misalnya pengalaman yang menyangkut persoalan pembalakan hutan dan penambangan batu bara, yang merusak habitat orang Banjar.
(Faruk)

10. Buton, Ibu dan Sekantong Luka. Kumpulan Sajak
Pengarang       : Irianto Ibrahim
Tebal               : 90 halaman
Ukuran                        : 13,5 x 20 cm
Cetakan           : I, mei 2010
ISBN               : 978-979-16848-4-2

Harga             : 23.000

Irianto Ibrahim merupakan penyair kelahiran Buton, Sulawesi tenggara,s ebuah tempat di timur tanah air yang menyimpan banyak kisah dan sejarah, juga prahara. Buton menjadi jalur Rempah antara timur dan barat Nusantara.

Sajak Irianto Ibrahim liris-romantik yang getir dan muram. Sajaknya mencerminkan kegelisahan personal dan kesemrawutan sosial. Baginya, “rumah dan kenangan sama-sama telah usang”, mencerminkan kehilangan jalan pulang dan kembali. (Syaifuddin gani, Penyair).

11. rumahlebah ruangpuisi #2. Harga: 27.000


Carangbook:

1. Sepasang Sepatu Sendiri dalam Hujan (Kumpulan Puisi)
Pengarang       : Maulana Achmad, Inez Dikara, Dedy T. Riyadi
Penyunting      : T.S. Pinang
Pengantar        : Hasan Aspahani
Tebal               : xx + 118 halaman
Ukuran                        : 13,5 x 20 cm
Jumlah             : 400 eksemplar

Harga             : Rp. 25.000

Buku ini merupakan kumpulan puisi bertiga dari penyair aktivis bungamatahari, sebuah kelompok milis yang cukup populer di Jakarta dan dunia maya umumnya. Disunting dan diberi pengantar juga oleh dua sosok yang sudah lama malang-melintang di dunia cyber, yakni T.S. Pinang dan Hasan Aspahani.

Akmal Nasery Basral, jurnalis dan penulis, memberi komentar bahwa buku ini bukanlah sebuah karnaval kata-kata, meski digarap tiga kepala. Ketiga penyair justru berlomba memurnikan diri melalui gorong-gorong diksi, sebelum akhirnya bertemu kembali di dunia sunyi. **


[sic]:

1. otobiografi (kumpulan puisi)
 
 Pengarang       : Saut Situmorang
Tebal               : 282 halaman
Ukuran                        : 15 x  23 cm

Harga             : Rp. 50.000

Ini merupakan buku antologi puisi Saut Situmorang terlengkap. Selain dipilih dari dua antologi puisinya terdahulu, saut kecil bicara dengan tuhan dan catatan subversif, buku ini juga memuat puisi-puisi terbarunya serta puisi lama yang belum dipublikasikan (termasuk dalam bahasa Inggris). Puisi-puisi Saut mengusung beragam tema, mulai dari persoalan keseharian aku-lirik, sampai kepada persoalan bangsa yang ia sajikan secara kritis. Bahasanya jernih, tanpa pretensi mencanggih-canggihkan bahasa. Saut justru berusaha ”mencairkan” sakralitas puisi lewat konsepsi pastice. Yakni mengolah dan merespon puisi orang lain yang sudah dikenal,  dan menciptakan teks baru di situ. Sebuah esei yang ia tulis sendiri, tentang bakat dan tradisi, menjadi semacam kata pembuka yang sangat kritis dan memotret realitas sastra Indonesia. **

2. Mata Air Akar Pohon (kumpulan puisi)

Pengarang       : Nur Wahida Idris
Tebal               : 99 halaman
Ukuran                        : 13,5 x 20 cm

Harga             : Rp. 23.000

Merupakan antologi puisi perdana Nur Wahida Idris, yang dihimpun dari kurun waktu lebih 14 tahun masa kepenyairannya. Ia bukan penyair yang produktif dan publikatif, dan karena itu ia justru memiliki ruang kontemplatif yang lebih panjang. Intensitas  pengendapan melahirkan metafor serta ungkapan yang kuat, seperti ”buah tangan matang sebelum kupersembahkan”, ”air muka kembali ke hulu” dan seterusnya. Puisi-puisi Nur Wahida pun bernas berisi, sebab tidak hanya melulu berpusar pada soal-soal rintih-curhat perempuan kasmaran! Sebuah pertanggungjawaban kreatif, diterakannya pada pembuka buku ini.**

3. Politik Sastra (kumpulan esei)
 Pengarang      : Saut Situmorang
Tebal               : 204 halaman
Ukuran                        : 15 x 23 cm

Harga             : Rp. 35.000

Berisi 25 esei Saut Situmorang, baik yang sudah dipublikasikan di media atau dipresentasikan di sejumlah forum. Menariknya, selain esei, Saut juga menyertakan manifesto politik boemipoetra (sebuah jurnal perlawanan yang ikut ia kelola), wawancara, pernyataan sikap sastrwan Ode Kampung dan Penolakannya atas KLA. Ini semua memperlangkap (atau menegaskan) benang merah keseluruhan eseinya yang sangat kritis dalam mengungkap ”malpraktek” dalam sastra Indonesia. Ia melihat misalnya fenomena kritikus sastra yang asal-bicara, tidak bertanggung jawab, dan berlindung di balik komunitas yang mendominasi lalu-lintas wacana, jaringan dan tebar pesona. Saut menegaskan kepada kita, bahwa politik (dalam) sastra tidaklah haram, sebab politik bagian dari seni yang mesti dikuasai dan diterapkan.

Persoalannya, selama lebih 32 tahun, Orde Baru telah menciptakan ketakutan menyeluruh terhadap segala sesuatu yang berbau politik, apalagi yang berhubungan dengan seni/sastra. Dengan memisahkan politik dan seni, seniman/sastrawan menjadi terpisah dari persoalan keseharian, seni menjadi sebatas menara gading. Maka ”seni untuk seni” bagi Saut tampaknya sungguh tak relevan. Tentu, sebagai orang yang berlatar pendidikan sastra, Saut punya landasan yang kuat dalam merilis pernyataan dan gerakannya. Ia menguasai literatur dengan baik, sebaik ia menerapkannya di lapangan politik kebudayaan.**

I:boekoe

Ibumi. Kisah-kisah dari Tanah di Bawah Pelangi, 
Antologi Puisi Kisah Nusantara. 
Penerbit: I:BOEKOE (Indonesia Buku)
Penanggung jawab Program: Taufik Rahzen
Editor: AN Ismanto
Penyair: Indrian Koto, Ndika Mahrendra, Jusuf AN, Mujibur Rohman, Mahwi Air Tawar, Dwi Rahariyoso, Iman Romanshah, Ahmad Muhlish Amrin, Iggoy El Fitria, Dian Hartati, Sri Handayaningsih, Moh Fahmi Amrulloh, Muchlish Zya Aufa, Retno Iswandari, AN Ismanto, Komang Ira Puspitaningsih, I Kadek Surya Kencana, Pinto Anugrah, dan Fina Sato.

Harga: 70.000

Ke-100 puisi dalam buku ini merupakan puisi lirik yang secara tak langsung berbeda dengan puisi tunggal. Puisi tunggal ialah ekspresi individual atau puisi murni. Ia juga bukan folklor yang merupakan narasi atau kisahan. Puisi lirik berdiri di antara puisi individual dan pengisahan folklor.

Dalam puisi aku-lirik yang umum, si aku-lirik menceritakan pengalaman-pengalamannya yang kemudian mewujud dalam karya (aku-lirik-personal) sebagaimana, misalnya, dalam karya-karyanya Sapardi Djoko Damono.

Dalam "Puisi Kisah Nusantara" ini aku-lirik tak hanya berterus-terang dengan aku-nya. Sebab, selain bercerita tentang dirinya, ia juga kadang bercerita atas nama yang lain dan mengandaikan sesuatu yang kolektif. Itulah bedanya dengan aku-lirik-nya WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, maupun Chairil Anwar yang berhenti untuk menceritakan tentang dirinya sendiri.

Aku-individual dan aku-kolektif yang berjalan bersamaan dan bertukaran inilah menjadi ciri utama dari "Puisi Kisah Nusantara" ini. (Taufik Rahzen)
 
Scripta Manent 

Kabar Buruk dari Langit, 
novel Muhidin M Dahlan

Kabar Buruk dari Langit, novel  
Pengarang       : Muhidin M Dahlan
Tebal               : 562 halaman
Ukuran                        : 12 x 19 cm
Penerbit           : Scripta Manent
ISBN               :

Harga             : 52.000

Novel ini sejatinya adalah novel ihwal pencarian Tuhan. Sebuah ritus pengembaraan sepi. Dalam pengelanaan itu sang tokoh temui ragam peristiwa ganjil dan dengar pelbagai kabar buruk dari lapisan langit yang gelap.

Mula-mula dua peristiwa yang membuatnya terguncang. Satu, masuknya atiga anjing besar serupa bulan dalam tubuhnya dalam perjalanan menuju Haraiman-Makkah. Dua, tatkala Jibril datang membawakannya ganja di malam 17 ramadhan. Dua peristiwa itu yang mengantarnya pada sikap-sikap berlawanan dengan paham keagamaan normal yang dipancangkan Dewan Ulama (semacam MUI) di Kota Kudus.

Novel ini kemudian mengabadikan perseteruan yang panjang antara paham keagamaan yang pernah memerahkan tanah Jawa. Juga dunia. Ia hendak menegaskan bahwa agama bukan tanya bagian dari penyembuh dunia yang sakit-sakitan, justru bagian dari masalah yang harus diselesaikan.

Novel ini mengabarkan kembali keyakinan yang hanya rindu rupa rindu bentuk adalah sebentuk keyakinan penjahat yang pura-pura terlihat seperti malaikat.



Tuhan, Izinkan Aku Jadi pelacur, 
Novel Muhidin M Dahlan. 

Tuhan, Izinkan Aku Jadi pelacur, novel
Pengarang       : Muhidin M Dahlan
Tebal               : 264 halaman
Ukuran                        : 12 x 19 cm
Penerbit           : Scripta Manent
Cetakan           : 15,  Januari 2011
ISBN               : 979-99461-1-5

Harga             : 32.000

Dia seorang muslimah yang taat. Tubuhnya dihijabi oleh jubah dan jilbab besar. Hampir semua waktunya dihabiskan untuk shalat, baca Al-Quran, dan berzikir. Dia memilih hidup yang sufistik yang demi ghibah kezuhudannya kerap dia hanya mengomsumsi roti ala kadarnya di sebuah pesantren mahasiswa. Cita-citanya hanya satu: untuk menjadi muslimah yang beragama secara kaffah.

Tapi ditengah jalan ia diterpa badai kekecewaan. Organisasi garis keras yang mencita-citakan tegaknya syariat Islam di Indonesia yang diidealkannya bisa mengantarkannya ber-islam secara kaffah, ternyata malah merampas nalar kritis sekaligus imannya. Setiap tanya yang ida ajukan dijawab dengan dogma yang tertutup. Berkali-kali digugatnya kondisi itu, tapi hanya kehampaan yang hadir. Bahkan Tuhan yang selama ini dia agung-agungkan seperti ”lari dari tanggung jawab” dan ”emoh” menjawab keluhannya.

Dalam keadaan kosong itulah ia terjerembab dalam dunia hitam. Ia lampiaskan frustasinya dengan free sex dan mengkonsumsi obat-obat terlarang. Dari situlah terungkap topeng-topeng kemunafikan dari para aktivis yang meniduri dan ditiduri yang selama ini lantang meneriakkan tegaknya moralitas. Lalu bagaimanakah?

Jalan Sunyi Seorang Penulis atawa Aku, Buku dan sepotong Sajak Cinta, 
Novel Muhidin M Dahlan
Jalan Sunyi Seorang Penulis, Novel

Pengarang       : Muhidin M Dahlan
Tebal               : 325 halaman
Ukuran                        : 12 x 19 cm
Penerbit           : Scripta Manent

Harga              : 34.000

”Ingat-ingatlah kalian hai penulis-penulis belia; bila kalian memilih jalan sunyi ini maka kalian camkan baik-baik dalah terus membaca, terus menulis, terus bekerja, dan bersiap hidup miskin. Bila empat jlan itu kalian terima dengan lapang dada sebagai jalan hidup, niscaya kalian tak akan berpikir untuk bunuh diri secepatnya.”

Manifesto itu adalah kesunyian di sebuah malam yang lapar. Dan jalan sunyi adalah jalan kemestian yang dihadapi setiap penulis. Setiap penulis amat sadar akan beban kesunyian yang menggigilkan itu. Ada yang terbunuh di tengah jalan. Mereka yang sadar memilih jalan kepenulisan, kesunyian bisa jadi jembatan lintasan panjang untuk mereguk limpahan gagasan untuk menemukan eksistensi diri.

Bacalah buku ini supaya anda tahu bagaimana penulis itu berjuang hidup mati melahirkan sebuah tulisan. Perjuangan yang lebih banyak berhenti di seribu eksemplar saja.


Interlude: 
Ciuman Hujan, 
100 Soneta Cinta Pablo Neruda. 

Penyair: Pablo Neruda
Penyulih: Tia Setiadi
Penerbit: Interlude


Harga: 25.000
Apa yang tersirat dalam seratus soneta cinta ini, seakan-akan menggambarkan bahwa keagungan sudah terjelma begitu sempurna dalam diri Matilde, sehingga tak berlebihan memang jika Tia Setiadi sebagai penyulih sekaligus penulis esai pendamping yang bertajuk “Neruda dan Keabadian sebuah Ciuman” mengatakan bahwa bagi Pablo Neruda, jagad raya adalah mikrokosmos sementara Matilde Urrutia adalah makrokosmos.

Dalam soneta XVI, Pablo Neruda menulis: “Aku mencintai segenggam bumi yang tak lain adalah Engkau./ Sebab padang-padang rumputnya, meluas laksana planet,/ Aku tak punya bintang lain. Engkaulah tiruanku/ Atas semesta yang berlipat ganda.
Esai pendamping yang ditulis oleh Tia Setiadi itu, memang patut dijadikan perhatian, sebab memuat pula ikhwal hayat dan karya Neruda yang dapat membuat pembaca menjadi akrab dengan sosok dan perjalanan kepenyairan Neruda. Sekaligus juga dapat difungsikan oleh pembaca untuk membantu upaya-upaya penafsiran.
(Abdul Aziz Rasjid http://indonesiabuku.com/?p=6996)
 
Indie Book Corner (IBC) 

Manusia Utama, Antologi Puisi Y. Thendra BP.
Judul Buku: Manusia Utama
Penulis: karya Y. Thendra BP
Kumpulan Puisi

Harga: 30.000 
Antologi ini diberi judul Manusia Utama, judul yang sama dengan salah satu puisi di dalamnya. Sebagai judul antologi, sangat menarik, puisinya pun asyik. Saya mencoba memahaminya, meski tidak mudah. Puisi ini mengajak pembaca untuk mencari literatur tentang Amungme, Nemangkawi, dan istilah lainnya supaya benar-benar bisa menikmatinya. (Sarabunis Mubarok)

Barangkali Thendra termasuk penyair yang mengutamakan kualitas sebuah karya daripada sekedar menyelam dalam kuantitas. Dalam artian, Thendra tak lagi risau dengan pertanyaan banyak penyair ‘senior’ yang selalu ribut soal kuantitas ketika muncul penyair baru yang masih muda belia: “sudah berapa banyak puisi yang kau tulis?” “Sudah berapa banyak puisimu yang dimuat di Koran nasional?” Sebaliknya dengan buku puisi tipis itu ia hendak menampik semua pertanyaan itu bahwa seorang penyair yang berhasil tidak ditentukan oleh seberapa banyak puisi dibuat dan diorbitkan, melainkan seberapa dalam puisi dibuat, dibongkar, digali, dirombak, direvisi untuk mampu menyentuh sisi terdalam kemanusiaan (Edy Firmansyah).
 
Kiblat Buku Utama: 

Di Atas Viaduct, Bandung dalam Puisi Indonesia. 
Judul : Di Atas Viaduct (Bandung dalam Puisi Indonesia)
Editor : Ahda Imran
Penerbit : Forum Sastra Bandung
Terbit : I, Mei 2009
Halaman : 293 Halaman
 
Harga: 60.000

Hasil refleksi inilah yang kemudian dapat dituangkan ke dalam sebuah karya seni, misalnya saja puisi.

Begitu juga dengan antologi puisi Di Atas Viaduct ini. Di dalam buku ini termuat puisi-puisi dari sejumlah penyair. Saya sangat percaya, kehadiran puisi-puisi ini merupakan buah relasi penyairnya dengan lingkungan, atmosfer, dinamika masyarakat dan segala hiruk pikuk Kota Bandung.

Sebagian penyair mengungkapkan keprihatinannya terhadap Kota Bandung yang terus mengalami perubahan. Perubahan sosial yang berimbas kepada perubahan-perubahan lingkungan dan sosial, telah membuat penyair merasa roh dan wajah Bandung hilang.
 
Perahu Berlayar Sampai Bintang. 
Kumpulan Sajak Cecep Syamsul Hari. 

Harga: 20.000

Picnic. Kumpulan Sajak Karno Kartadibrata. Harga: 13.000

Peneguk Sunyi. 
Antologi Puisi Soni Farid Maulana. 

Harga: 20.000

Pemetik Bintang. 
Sajak-sajak Soni Farid Maulana. 
Harga: 20.000

Sepucuk Pesan Ungu. 
Dua Kumpulan Sajak Ready Susanto. 
Harga: 18.500

Surat-Surat Dari Kota. 
Dua Kumpulan Sajak Ready Susanto. 
Harga: 18.500

ININNAWA 

Bahaya Laten Malam Pengantin, 
Antologi Puisi Aslan Abidin.

Judul: Bahaya Laten Malam Pengantin, Kumpulan Puisi Aslan Abidin
Penulis: Aslan Abidin
Kolasi, Tebal: I, Juni 2008. 13x19cm, xv+114 hlm.
Penerbit: ININNAWA

Harga: Rp. 22.500

Bahaya Laten Malam Pengantin merupakan antologi sajak-sajak Aslan Abidin sepanjang 13 Tahun masa kepenyairannya. Antologi BLMP berisi 112 sajak-sajak Aslan Abidin dalam rentang tahun 1993 sampai tahun 2006. Dalam keseluruhan sajak-sajaknya, Aslan Abidin, menggunakan pola estetika yang cenderung “cabul”. Berbagai istilah cabul akan sangat mudah dijumpai dalam sajak-sajak Aslan Abidin seperti “buah dada”, “kemaluan”, dan “zakar”, sehingga beberapa pembicaraan terhadap sajak-sajak Aslan Abidin dihubungkan dengan karya-karya Djoko Pinurbo. Tetapi jika ditelisik lebih renik lagi, sesungguhnya Aslan Abidin sedang membangun dongeng eksistensial secara puitik. Dalam sajak-sajaknya pada BLMP, Aslan Abidin, mengajak pembaca untuk menelusuri kompleksitas eksistensial diri dalam “aku”,”engkau”, “kami”, dan “kita”. Siapakah “aku”, “engkau”, “kami”, dan “kita” ? hanya mungkin dipahami dengan membelah struktur dongeng yang dibangun oleh penyair. (Ahyar Anwar)


OLONGIA 

Alangkah Tolol Patung Ini, 
antologi puisi Faisal Kamandobat. 

Harga: 20.000
Faisal Kamandobat, boleh dibilang penyair cengengesan, tapi ia menawarkan sajak-sajak yang kuat dan mendalam dengan karakter logika yang ketat dan fantasi yang segar, beda dengan corak umum puisi sekarang yang demi mengejar permainan irama rela mengorbankan kedalaman makna dan kekuatan struktur.

Namanya makin diperbincangkan banyak orang sejak mengeluarkan surat terbuka pengunduran dirinya dari Nominasi Puisi Terbaik Pena Kencana Award 2008. Faisal Kamandobat, lahir di Majenang, Cilacap, 31 Desember 1980. Dunia pendidikan membuat ia menjalani hidupnya sejak kecil di sejumlah pesantren di beberapa daerah: Magelang, Kediri, Tasikmalaya, dan Yogyakarta. Sejumlah puisi, esai dan prosanya sesekali dijumpai di beberapa media massa, majalah, dan jurnal sastra serta sejumlah antologi bersama.

Azhar Risalah 
Tarian Ranjang Kyai, Novel Yan Zavin Aundjand.

Harga: 30.000 

Sebuah Novel yang ditulis oleh Yan Zavin Aundjand yang berasal dari Madura  yang lahir di Desa Banjar Talelah, Camplong Sampang. Menceritakan sebuah kisah nyata tentang kehidupan masyarakat di Madura yang jauh dari kemajuan dan dengan tradisinya yang masih sangat kental. Banyak orang menikah diusia dini dan melakukan perantauan ke luar daerah sampai juga ke luar negeri supaya dikenal sebagai orang yang bermateri meski sementara waktu harus meninggalkan anak dan isterinya. Sebab mereka baru bisa dianggap sukses jika sudah berhasil di tempat perantauan, pulang dengan membawa sejuta kebahagiaan dan mencukupi segala kebutuhan keluarga.

Dalam kehidupan masyarakat seperti itu, salah satu wanita yang ditinggal merantau oleh suaminya selama bertahun-tahun lamanya dan bahkan sang suami telah diisukan meninggal dunia diperantauan, mengalami kehamilan selama 16 tahun lamanya yang diyakini karena perselingkuhannya dengan tokoh masyarakat setempat. Tidak ada satu pun orang yang dapat mengatasi kehamilannya, bahkan pihak rumah sakit pun tidak menemukan ke janggalan dalam kandungannya itu. Janin dalam kandungannya tampak normal.
 
Pustaka puJAngga 

Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri. 
Judul: Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Penulis: Nurel Javissyarqi
Penerbit: Pustaka Pujangga
Terbit: Mei 2011
Tebal: 100 halaman

Harga: 18.000

Tidak asing lagi, nama Sutardji Calzoum Bachri di belantika kesusastraan Indonesia atas Kredo Puisinya. “Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri”.

Kemunculan tekat sebagai pengamat, penikmat, pengkritik, dan juga sebagai pelaku sastra terus bermunculan dan benar-benar ditunjukkan Nurel Javissyarqi dalam web http://sastra-indonesia.com/ salah satunya adalah tanggapan untuk esai Sutardji Calzoum Bachri berjudul Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair orasi budayanya di dalam acara Pekan Presiden Penyair, yang dimuat Republika, 9 September 2007.

Dalam tulisan itu Sutardji Calzoum Bachri menyatakan teks Sumpah Pemuda sebagai puisi, yang dilandasi faham Ibnu Arabi mengenai kun fayakun, kemudian dikembangkan frasa-frasa berikut: “Peran penyair menjadi unik, karena sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya secara ekstrim boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.”

Dilanjutkan dengan keberanian Nurel Javissyarqi dalam mengamati eksistensi puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang lain dan kaitannya dengan beberapa ayat di dalam surat Asy Syu’ara. Nurel Javissyarqi berbicara panjang lebar mengamati mulai dari putih, hitam, coklat, riang ke remang.

Kemudian Nurel Javissyarqi mengungkap dengan dua esai Sutardji Calzoum Bachri sebagai lampiran yang menurutnya sudah cukup untuk mengidentifikasi anatominya di wilayah susastra yang mungusung “mantra” sebagai tradisi.
(Heri Listianto)
 
Seligi Press

1. Mimpi-mimpi May (Novel)

Pengarang       : Ellyzan Katan
Tebal               : 315 halaman
Ukuran                        : 14 x 21 cm
Cetakan           : I, Juni 2011
ISBN               : 978-602-95683-2-9

Harga             : Rp. 40.000

“… Saya sedang menyaksikan dengan mata merah menyala, jejak-jejak kaki “melayu” yang bergerak terseok-seok dalam jejaring kusut mimpi-mimpi may…” (Marhalim Zaini, Sastrawan).

Di situlah kami bertemu dengan May, seorang budak kampong yang begitu sempurna untuk dijadikan persembahan kepada Mr. Lie. Dia pasti senang. Dan kalau Mr. Lie sudah senang, dia pasti akan memberikan berapa saja duit yang kami minta. Dia kan orang besar, orang kaya pula. Uang sejumlah itu tidak ada apa-apanya.
….
Aku dan Puan kini telah menggenggam hampir seluruh kehidupan May. Aku katakan pada Puan untuk membawa dia ke Malaysia atau pun juga ke Singaporel. Di sana kelak, May akan aku biayai sebagai seorang anak angkat. Dia akan bisa menikmati sekolah sebagaimana lazimnya anak seusia dia. Selain itu, dia juga bisa jalan. Kepada puan aku tekankan lagi jangan sesekali mengeluarkan kata-kata yang sangat memaksa. Biarkan May mencernanya sebagai suatu itikad baik yang tidak mesti ditolak.

Diva Press

Mimpi Rasul
Kisah Bibir yang Ingin Dicium Rasulullah Saw. 

Pengarang       : Jusuf An
Tebal               : 315 halaman
Cetakan           : I, Juli 2011
ISBN               : 978-602-978-750-4

Harga              :50.000

Sebuah novel yang penuh kejutan, membuat pembaca diburu rasa penasaran dari awal hingga akhir kisah. Cerita mengalir dengan lancar dan manis. Pembaca akan sering berhadapan dengan tipuan-tipuan kecil dan menjebak.

Novel ini berkisah tentang perjalanan hidup Umar yang keluarganya menjadi korban sebuah fitnah yang dilemparkan oleh seseorang. Kehilangan yang besar terjadi dalam satu waktu, membuatnya diburu amarah dan rasa dendam.

Malam ketika keluarganya hancur, Umar bermimpi didatangi oleh seseorang dengan cahayanya yang luar biasa. Dia berpesan kepada umar untuk berhati-hati terhadap Harta dan Wanita. Umar baru sadar, ia telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. Seorang nabi besar penutup zaman.

Sungguh, tidak setiap orang mendapatkan berkah bertemu dengan seorang nabi Allah di dalam mimpinya. Bertemu dengan seorang nabi di dalam mimpi bukanlah sesuatu yang main-main. Banyak orang berharap bisa menemui berkah ini sekali dalam seumur hidupnya, tetapi tak jarang orang-orang ini tak sekali pun didatangi oleh Nabi Allah yang luar biasa itu. Apa yang membuat Umar bisa bermimpi bertemu dengan nabi?

Lalu perjalanan hidup Umar setelah keluarganya saling terpisah. Dari Jakarta ia berniat pindah ke Semarang untuk memulai hidup baru dan menata kembali bagian dirinya yang sedang retak. Di sini ia bertemu Syam, seorang lelaki mapan dan kaya namun punya keteguhan hati dan iman yang luar biasa. Syam adalah perjalanan spritual Umar. Dengan Syam pula ia mulai bisa menatap masa depan yang lebih baik, namun di sini pula tantangan besar dalam hidup Umar dimulai: harta dan wanita. Di sini, kini, Umar memiliki itu semua.

Umar sedang diuji dan terus diuji. Di Semarang ia kembali dihadapkan dengan amarah masa lalunya. Dia juga menjadi korban kecemburuan seseorang. Umar, sebagai hamba Allah yang diberi kekuatan berpikir mulai kembali diingatkan dengan peristiwa besarnya dahulu. Perjalanan sulit dalam hidupnya adalah bagian dari ujian yang mesti ia lalui. Harta dan wanita tak membuat ia nyaman. Ia ingin bertemu dengan Rasulullah. Ia ingin bermimpi bertemu rasul. Ia ingin Rasulullah mencium bibirnya sebagai mana tertulis di dalam sebuah hadist. Ia ingin dicium Rasul karena iman. 

Sangat luar biasa, membuat anda tercengang hingga halaman paling ujung.  

Bagi pembeli novel Mimpi rasul karya Jusuf AN ini, akan mendapatkan sebuah kupon Umrah 1012. siapa tahu anda beruntung. Setelah menyelami halaman demi halaman novel yang menggugah kesadaran ini, siapa tahu anda diberkahi mimpi yang luar biasa: bertemu rasul. Dan bisa pula umrah gratis. Semoga kita selalu diberi keteguhan iman. Amin!

No comments: